Kamis, 08 Januari 2009

Kidung Kelepasan Patanjali

Kidung Kelepasan Patanjali

dipaparKan Sri Swami Sivananda—Pendiri The Divine Life Society—Tentang Yoga.

Alih Bahasa oleh : Anatta Gottama

Daftar Isi.
PENGANTAR.......................... i.
PENDAHULUAN.................... iii.
Samãdhi Pãda — Hakekat Penyatuan Agung.
Memasuki Yoga Sutra...................1.
Kiat Mengatasi Modifikasi-modifikasi Pikiran....................4.
Samãdhi, Tahap Pencapaiannya dan Keampuhan Isvarapranidhana....................... 6.
Isvara sebagai Guru Semesta dan Pranava Japa.........................8.
Pelebur Penderitaan......................11.
Sinar Kebijaksanaan lahir dari Samãdhi.........................15.
Sãdhana Pãda — Paparan Praktis Praktek Spiritual.
Kriya Yoga, Mengawali Pendakian Spiritual........................ 18.
Hambatan Utama dan Kiat Memusnahkannya......................... 22.
Musnahnya Identitas-diri dalam Pencerahan........................ 25.
Delapan Langkah Pendakian dan Tujuh Langkah Penyatuan......................27.
Disiplin Moral dan Jurus Ampuh Mengatasi Insting Destruktif....................31.
Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung (1)........................33.
Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung (2)........................ 35.
Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung (3)..........................37.
Pelatihan Tubuh dan Pembentukan Sikap Mental....................... 39.
Regulasi Nafas dan Pengendalian Daya Vital.......................... 41.
Terminal Pendakian......................44.
Vibhuti Pãda — Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan.
Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan...................... 46.
Memanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan dan Tiga Bentuk Transformasi Citta......48.
Mengerti Suara, Maksud, Asal dan Kehidupan Lampau Makhluk Hidup................50.
Mengetahui tanda-tanda Kematian......................52.
Kemampuan Intuitif dan Bahaya Siddhi-siddhi.....................54.
Posisi sentral Viveka dan Vairagya di dalam Pemanfaatan Samyama.................... 56.
Tercapainya cita-cita Sang Yogi.......................59.
Kaivalya Pãda — Menggapai Kebebasan Sejati.
Menggapai Kebebasan Sejati..................... 61.
Evolusi Kosmis dan Tujuan......................63.
Yang Mengahalangi Pencerahan Sempurna.........................65.
Dharmamegha Samãdhi dan Sampainya di Puncak....................67.
PENUTUP ~ Jalan Kelepasan dan juga Jalan Kesucian....................69.
Appendiks:
• Raja Yoga..............72.
• Butir-butir mutiara Yoga-Samãdhi yang tercecer.........................81.
Kidung Kelepasan Patanjali

PENGANTAR

Hadirnya kitab kecil ini sebetulnya hanya dari kenekatan penulis, yang tidak menguasai bahasa Sanskerta, ibu bahasa-bahasa dunia itu. Kenekatan ini semakin menjadi-jadi tatkala penulis menyimak sebuah terjemahan lengkap Yoga Sutra Patanjali dalam bahasa Inggris pada sebuah website.
Sebelumnya terjemahan dan ulasan parsial seringkali penulis temukan, namun terjemahan lengkapnya ke dalam bahasa Inggris masih relatif jarang. Besar dugaan penulis bahwa dalam terjemahan itu, gaya bahasanya sengaja dibuat sesederhana mungkin; mungkin maksudnya agar mudah dimengerti dan tidak terkesan menakutkan. Dasar pemikiran yang amat mengena, mengingat belakangan kehausan generasi muda terhadap teks-teks kuno spiritual ke-timur-an semakin tampak marak di berbagai belahan dunia.
Terjemahan dan ulasannya dalam Indonesia dari bahasa Inggris memang sudah ada. Namun agaknya masih langka yang langsung diterjemahkan dari bahasa aslinya dan diulas oleh peminat dan penekun jalan spiritual Indonesia. Kebanyakan, bahkan mungkin semua, masih merupakan terjemahan atau ulasan 'second-handed'. Kenyataan ini semakin menyulut kenekatan penulis untuk mencobanya. 'Kenapa tidak saya coba saja?', pertanyaan inilah yang terlintas di benak penulis ketika memulainya.
Secara kebetulan, penulis mewarisi sebuah kitab Yoga Sutra Patanjali berbahasa 'melajoe' peninggalan orang tua kami. Ditambah dengan bacaan-bacaan lain—kecuali yang tercantum dalam daftar bacaan—yang kebanyakan terbitan The Divine Life Society, serta petunjuk-petunjuk dari mereka yang amat penulis hormati, maka dicobalah menyusun kitab kecil ini. Tanpa penguasaan yang baik atas bahasa Sanskerta, penulis berusaha menterjemahkannya secara bebas, sesuai kemampuan yang amat terbatas ini.
Dimaklumi bahwa Yoga Sutra adalah teks kuno yang amat dihormati oleh segenap Yogi paska Patanjali. Sebagai pokok Yoga Darsana, keagungannya bahkan dapat didudukkan sejajar dengan Sruti, Bhagavad Gita dan Upanisad-upanisad yang suci, yang disebut-sebut sebagai diwahyukan langsung maupun tak-langsung oleh Tuhan sendiri. Ulasan-ulasan terhadapnya selama ini, (mungkin) hanya diberikan oleh para Yogi besar, yang tak diragukan lagi pengetahuan, pengalaman dan kesucian batin beliau. Tak kurang Vedavyasa sendiri, menurunkan ulasan khusus beliau dalam Yogabhasya.
Dalam sebuah tulisan karyanya, Sri Swami Sivananda memperingatkan: “Sistem Yoga dari Patanjali tertuang dalam bentuk sutra-sutra. Sebuah sutra berupa sebuah aphorisma pendek padat makna. Ia berupa ungkapan-ungkapan aphoristis. Ia mengandung kedalaman makna, serta signifikansi yang tersembunyi. Para Rshi di jaman dahulukala memiliki suatu tradisi dalam mengekspresikan ide-ide filosofis maupun realisasinya hanya dalam bentuk sutra-sutra saja. Adalah amat sulit untuk mengertikan maksud yang terkandung di dalam sutra-sutra tersebut tanpa bantuan komentar atau penjelasan seorang pembimbing atau Guru yang telah memahami Yoga dengan baik”.
Jadi, kembali harus penulis kemukakan bahwa memang semua ini hanyalah dari kenekatan, hasrat untuk berbuat dan minat yang besar terhadap kehidupan dan jalan spiritual. Amat banyak kekurangannya disana-sini. Semoga ia bermanfaat bagi sahabat peminat dan penekun yang bersungguh-sungguh dan lewat perantara tulisan ini, semoga Sang Maharshi berkenan memaparkannya secara langsung kepada pembaca sekalian.

Denpasar, 9 Nopember 2000.
ANATTA GOTTAMA
 
PENDAHULUAN.

Yoga Sutra yang disusun oleh Maharshi Patanjali ini adalah teks klasik terbesar dan terutama dalam aliran filsafat Yoga India. Ia dinyana telah ditulis 2500 tahun lalu; jadi kurang lebih sejaman dengan Buddha Gotama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa teks ini telah disusun tak kurang dari abad ke-2 SM. Di dalamnya, sutra-sutra tentang Yoga atau penyatuan universal benar-benar pendek dan akurat; menegaskan secara lengkap, rinci dan akurat bagian-bagian yang esensial. Mengingat kepadatan dan kepekatan kandungan makna spiritual-filosofisnya, Yoga Sutra dianjurkan untuk dijelaskan dan di-interpretasikan oleh seorang Guru Yoga melalui komentar-komentar. Praktek Yoga dipandang sebagai pelengkap dari dan dalam satu kesatuan pandang dengan filsafat Sankhya. Tujuan-pokoknya adalah merealisasikan kebebasan Jiva dari kungkungan Maya.

Ketidak-cukupan informasi tentang Yoga telah mengundang tak sedikit persepsi keliru di kalangan awam tentangnya. Yoga seringkali dikacaukan dengan Tapa, atau bahkan dengan sesuatu yang berbau klenik yang mendekati takhyul, atau memandangnya hanya dari sudut-pandang kegaiban-kegaiban dan kanuragan saja, telah menggugah penulis untuk menghadirkan buku ini di tengah-tengah kita semua. 

Untuk ini, ada baiknya diketengahkan paparan Sri Swami Sivananda—pendiri The Divine Life Society—tentang Yoga.

“Yoga bukanlah mengurung diri di dalam gua-gua, bukan pula berkelana di hutan-hutan lebat sekitar pegunungan Himalaya. Ia juga bukan hanya memakan jenis makanan yang berupa sayur-mayur dari pegunungan. Brahman bukanlah pengecut yang lari dari hiruk-pikuknya komunitas dan pemukiman manusia. Praktekkan sajalah Yoga di rumah Anda sendiri. Manakala hasrat untuk mempraktekkannya muncul, ini berarti bahwa kebebasan telah berada dalam jangkauan Anda, oleh karenanya manfaatkanlah peluang ini sebaik-baiknya.....Menjalani kehidupan sebagai seorang Yogi, tidaklah mesti menelantarkan siapapun juga atau mengabaikan kewajiban-kewajiban melekat Anda. Ia bermakna merubah sikap hidup dari kebiasaan mengerjakan sesuatu yang sia-sia, menuju jalur yang secara pasti mengantarkan langsung kepada Tuhan. Ia dibarengi dengan perubahan prilaku dalam menjalani kehidupan serta metode-metodenya guna membebaskan diri Anda dari berbagai belenggu dan kemelekatan. Kebenaran dan pengabaian keakuan, sebenarnya merupakan masalah sikap-batin”. 

Sesuai sistematika dari teks aslinya, Kidung Kelepasan Patanjali inipun disajikan dalam 4 bagian (pãda), masing-masing adalah:
•Samãdhi Pãda.
•Sãdhana Pãda.
•Vibhuti Pãda.
•Kaivalya Pãda.

Samãdhi Pãda —Hakekat Penyatuan Agung. 

Pãda yang tersusun dalam 51 sutra ini memaparkan tentang landasan spiritual-filosofis Yoga, hakekat dari penyatuan dan hakekat ketuhanan dalam Yoga. Dalam bagian ini akan banyak kita temukan paparan yang menyangkut intisari keimanan Hindu, yang juga berhampiran dengan Buddha, serta penerangan yang amat bersesuaian dengan Upanishad-upanishad dan Veda Sruti. Dari bagian ini pula, bila kita cermati, kesinambungan antara Sanhkya Darsana dan Vedanta terjembatani dengan Shastrãgama-shastrãgama lain. Pãda ini merupakan pembuka yang berisikan pembekalan dalam tahap persiapan, sebagai landasan pijak dan kerangka dasar seorang sadhaka, seorang penekun di jalan spiritual.
Samãdhi Pãda terutama menjelaskan beberapa jenis Samãdhi sesuai dengan tersisa atau tidaknya objek di dalam Samãdhi, yang dicapai bersama dengan terhentinya pusaran-pusaran pikiran. Kaivalya, yang merupakan isu sentral dari Yoga Sutra ini, hanya dicapai melalui Nirvikalpa atau Nirbija Samãdhi. Walaupun demikian, jenis pencapaian lain tetap merupakan pencapaian tinggi yang merupakan penghampiran pra yang tertinggi. Pembekalan mendasar, seperti ketidak-melekatan (vairagya) dan pembiasaan laku-spiritual (abhyasa) juga diberikan, sebelum seorang sadhaka benar-benar terjun dalam praktek kehidupan spiritual secara intens. 

Sãdhana Pãda — Paparan Praktis Praktek Spiritual. 

Pãda yang tersusun dari 55 sutra ini memberikan paparan praktis bagi seorang sadhaka. Disini mulai diperkenalkan Yama, Niyama, Pranayama dan Pratyahara, serta persiapan untuk memasuki tiga-serangkai Samyama —Dharana-Dhyana-Samadhi. Samyama baru dipaparkan secara panjang lebar pada Vibhuti Pãda. Metode pembebasan psikologis dan spiritual yang terdiri dari delapan tahapan ini, juga dikenal dengan Ashtanga Yoga. 

Disini juga diingatkan akan bahaya dari siddhi bagi seorang sadhaka sejati. Secara keseluruhan prinsip-prinsip praktis dari Yoga dapat ditemukan disini dalam paparan yang lugas. Sebagai paparan praktis, di dalam mengikuti Sãdhana Pãda ini kita juga acapkali seakan-akan sedikit ‘dipaksa’ untuk mengerti tentang sistem Yoga praktis tertentu, terutama Hatha Yoga dan Laya Yoga atau Kundalini Yoga. 

Vibhuti Pãda — Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan. 

Disini dipaparkan tuntunan praktis yang lebih tinggi, terutama tentang tiga-serangkai Samyama, melalui mana kekuatan-kekuatan spiritual, kegaiban-kegaiban, hingga kesempurnaan Yoga bisa dicapai. 

Bagi yang mempunyai naluri mistis yang kuat, bagian yang tersusun oleh 56 sutra ini, bisa merupakan bagian yang paling menarik. Disini juga disampaikan peringatan-peringatan untuk tidak melaksanaan Yoga hanya demi perolehan kekuatan-kekuatan dan kegaiban-kegaiban itu, apalagi terikat padanya. Ini dapat dengan mudah menjatuhkan sang penekun. 

Kaivalya Pãda — Menggapai Kebebasan Sejati.

Di antara ke-empat Pãda, Kaivalya Pãda inilah yang tersingkat. Disini paparan terasa padat, yang utamanya difokuskan pada pencapaian Kaivalya dan tentang bagaimana seorang Yogi yang telah mencapai status itu. Disini Patanjali tak lupa menyelipkan lagi tatanan etika-moral luhur dari seorang Yogi Sempurna —yang dalam ajaran Vedanta kita kenal sebagai Jivanmukta, ia yang telah terbebaskan dari siklus Samsara dan tak terlahirkan kembali di alam manapun —di antara 34 sutra pembentuknya. 

Jadi, secara keseluruhan, ke-empat Pãda benar-benar membentuk satu kesatuan integral, yang kait-mengait satu sama lain, mengalir dan berlanjut, saling memperjelas dan mempertegas. Ini juga berarti meminta praktisi mempelajari Yoga Sutra —guna memperoleh pemahaman yang baik tentang praktek Yoga itu sendiri— secara berulang-ulang, bolak-balik ke depan dan kembali ke belakang. Ia memang merupakan manual-praktis yang tersaji dalam satu kesatuan bahasan komprehensif, menyeluruh dan terpadu. Guna menunjang bahasan-bahasan, dengan segala kerendahan hati, di akhir buku ini penyusun sajikan sebuah tulisan lepas sebagai appendiks.
Dalam kesempatan yang bersahaja ini, kiranya pada tempatnyalah kita bersyukur dan bersujud dengan penuh hormat kepada Maharshi Patanjali, atas kemurahan hati beliau yang tanpa pamerih telah menyusun sistematika praktis serta melahirkan satu aliran filsafat (darsana) agung yang tiada duanya, yang dapat mengantarkan manusia menuju Kebebasan Sejati.

 
MEMASUKI YOGA SUTRA

Konstelasi batin manusia dan Ideal Patanjali 
Sekarang dijelaskan tentang Yoga. 
Yoga adalah penghentian pusaran-pusaran batin yang menghalangi pancaran cahaya kesadaran (citta vritti nirodha). 
Dengan demikian citta —yang bertindak sebagai si pengamat— hanya bersandar pada kondisinya sendiri (svarupa) yang jernih; 
sedangkan, pada waktu-waktu lainnya, si pengamat umumnya justru mempersamakan dirinya dengan pusaran-pusaran tersebut. 
[YS I.1 - I.4] 

Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.

Manusia, makhluk berakal-budi, teranugrahi manas dalam kelahirannya. Dari manas inilah lahir kata manussa atau manusya yang kemudian diadopsi menjadi manusia, dalam bahasa Indonesia dan human atau man dalam bahasa Inggris. Jadi, bagi keberadaan manusia, manas menduduki posisi sentral yang merupakan esensi dari keberadaanya. Ia merupakan prabot ampuh manusia untuk bertahan hidup, yang membedakannya dengan makhluk bumi lainnya.

Upanishad menegaskan: “mana eva manushyãnam kãranam bandha mokshayoh —bagi manusia, manas-lah yang menyebabkan perbudakan maupun pencapaian Moksha.” Dalam hirarki Sankhya, manas menduduki posisi kunci di bawah keakuan, yang disini disebut asmita. Vedanta menyebutnya ahamkara. Intelek, nalar, kecerdasan atau buddhi berada pada tataran yang lebih tinggi dari pikiran, dan sejajar dengan keakuan. Sedangkan citta —kesadaran atau batin jernih — berada di atas buddhi dan asmita. Citta masih terbilang sejajar dengan triguna (sattvam, rajas dan tamas) —tiga kekuatan Prakriti —namun belum terpengaruhi olehnya. Citta turunan langsung dari Purusa —yang merupakan hakekat yang berlawanan dengan Pradhana atau Prakriti — semesta material. Dari Pradhana inilah triguna berasal. Oleh karenanya, triguna juga disebut ‘tiga kekuatan Prakriti’. 

Segera setelah citta terpengaruh oleh triguna dan didominasi oleh sattvam, maka ia tidak lagi sebagai kesadaran yang jernih, melainkan menjadi buddhi, intelijensia. Dan bila citta dipengaruhi dan didominasi oleh rajas dan tamas, maka terlahirlah asmita atau ahamkara. Ahamkara inilah yang membawahi dan menggerakkan manas. Relatif amat jarang buddhi ikut-campur dalam pemerintahan ini. Dalam melayani ahamkara, manas menjadi sibuk, bergolak, berpusar, berubah-ubah, terombang-ambing, menimbulkan berbagai bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan; inilah kondisinya dalam pusaran-pusaran batin itu. 

Konyolnya adalah, dalam ketidak-tahuannya manusia justru mengidentifikasikan-dirinya sebagai pikiran dan perasaan atau vritti itu sendiri —vritti sarupya. Hanya manakala dominasi asmita terhadap pikiran dapat direbut oleh buddhi, kondisi atau sifat sattvik yang kedewataan mulai menyinarinya. Buddhi mendekati kondisi citta, sehingga jauh lebih mudah menerima pancaran kesadaran murni, lewat mana Purusa memancarkan cahayanya di dalam batin manusia. Demikianlah ideal pemurnian citta Patanjali yang dipaparkan pada awal mokshashastra ini. 

Lima Jenis Modifikasi Batin dan Tiga Proses Penalaran 

Modifikasi-modifikasi batin (vritti) ada lima jenis, ada yang menyedihkan dan ada yang tidak menyedihkan: penalaran (pramana), kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa), tidur (nidra) dan ingatan (smrti). 
Praktek langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik. 
[YS I.5 - I.7] 
  
Pengetahuan luhur (jñana) yang diperoleh tanpa mengabaikan terlebih dahulu kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa) serta ingatan-ingatan (smrti) yang samar dan terbatas, tidak layak dipercaya sebagai suatu pengetahuan yang sahih (vidya), yang dapat dipertanggung-jawabkan objektivitas dan kebenarannya. Ia tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan samasekali (avidya), apalagi jñana. Sutra-sutra ini menekankan hal ini. Sementara jñana diperoleh lewat tiga rangkaian proses yang masing-masing daripadanya disebut pramana. Sebagai suatu rangkaian proses, yang satu dilanjutkan dan dilengkapi oleh yang berikutnya, demikian seterusnya. Dalam mengamati, mencermati guna memperoleh jñana, tri pramana adalah jalannya.

Mempraktekkan langsung dengan cermat fenomena-fenomena di luar ataupun di dalam, melahirkan pengalaman. Melalui praktek yang sama secara berulang-ulang, banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman disini bisa berupa pengalaman fisik, non-fisik maupun meta-fisik. Endapan pengalaman-pengalaman inilah yang tersimpan sebagai bagian dari ingatan (smrti), mereka serupa dengan kesan-kesan mental (samskara). Smrti semakin kuat bila pengalaman yang sama dialami secara berulang-ulang. Dari fenomena batiniah inilah terlahir laku Japa, pelafalan sebait mantra pendek secara berulang-ulang. Semua proses empiris inilah yang disebut pratyaksa pramana. Besar kemungkinannya kalau kata ‘praktek’ maupun ‘praktis’ yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata pratyaksa ini.
Pengetahuan juga bisa diperoleh dari mendengar penjelasan sumber-sumber yang otentik dan layak dipercaya maupun kitab-kitab yang terpercaya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara inilah yang disebut agama atau sabda pramana —perolehan pengetahuan melalui mendengarkan sabda-sabda suci para Guru-guru suci dan kitab-kitab suci.
Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi, dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i) subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti) dan (iv) cara mengetahuinya (pramana).
Kekeliruan (viparyaya) merupakan pengetahuan keliru (mithya-jñana), yang tidak tersusun dari realitas. 
Pengetahuan yang dimunculkan oleh ‘citra kata-kata’, namun tanpa didukung objektivitas adalah angan-angan atau imajinasi (vikalpa) semata; modifikasi-modifikasi batin yang terjadi tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) adalah tidur (nidra); dan kehadiran kembali objek sensasi yang pernah dialami dalam pikiran adalah ingatan (smrti) yang terbatas, merupakan pengetahuan yang keliru itu. 
[YS I.8 - I.11] 

Disebutkan adanya lima pemicu kekeliruan (panca viparyaya) dalam Wrhaspati Tattwa; masing-masing adalah: (i) Tamah, pikiran yang selalu ingin memperoleh kesenangan duniawi; (ii) Moha, keinginan untuk memperoleh delapan kemampuan adi-kodrati (asta aiswarya); (iii) Mahamoha, keinginan untuk mendapatkan kesenangan niskala disamping asta aiswarya tadi; (iv) Tamisra, berharap untuk memperoleh kesenangan —sebagai buah perbuatan— di kemudian hari; dan (v) Andhatamisra, menangisi milik yang telah hilang. Kelima kekeliruan inilah yang berandil besar dalam kesengsaraan manusia.

Nidra, tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) —seperti yang disebutkan dalam sutra I.10—bukanlah tidur pulas tanpa mimpi —yang disebut sushupti. Dalam sushupti, Ibunda Semesta, Rajesvari, membawa jiva kembali kepada-Nya; memeluknya dalam dekapan kasih-Nya, menyusuinya lagi dengan segarnya kedamaian, gairah baru, vitalitas dan kekuatan baru serta menjadikannya cukup prima untuk menghadapi ‘peperangan’ keesokan harinya. Demikian Sri Swami Sivananda menggambarkannya.

Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif tanpa hadirnya keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang tersembunyi.

Pengetahuan akan lebih lengkap dan terpercaya, bila diperoleh melalui pratyaksa, sabda atau agama, anumana serta upamana, yang bekerja sedemikian rupa saling menunjang dan menguatkan, sebelum menarik suatu kesimpulan akhir. Disinilah subjektivitas yang terbentuk oleh pengalaman pribadi yang terbatas, berupa: kekeliruan (viparyaya), angan-angan atau imajinasi-imajinasi subjektif (vikalpa), serta kehadiran objek-objek indriawi yang menyesatkan (vishaya) maupun kelemahan dan keterbatasan ingatan (smrti) ditiadakan. 

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana menyingkirkan modifikasi-modifikasi pikiran yang menyesatkan, yang menjadi biang dari mithya-jñana ini? Inilah yang dipaparkan secara panjang lebar dalam sutra-sutra berikutnya.

oOo
 
MEMASUKI YOGA SUTRA

Konstelasi batin manusia dan Ideal Patanjali 
Sekarang dijelaskan tentang Yoga. 
Yoga adalah penghentian pusaran-pusaran batin yang menghalangi pancaran cahaya kesadaran (citta vritti nirodha). 
Dengan demikian citta —yang bertindak sebagai si pengamat— hanya bersandar pada kondisinya sendiri (svarupa) yang jernih; 
sedangkan, pada waktu-waktu lainnya, si pengamat umumnya justru mempersamakan dirinya dengan pusaran-pusaran tersebut. 
[YS I.1 - I.4] 

Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.

Manusia, makhluk berakal-budi, teranugrahi manas dalam kelahirannya. Dari manas inilah lahir kata manussa atau manusya yang kemudian diadopsi menjadi manusia, dalam bahasa Indonesia dan human atau man dalam bahasa Inggris. Jadi, bagi keberadaan manusia, manas menduduki posisi sentral yang merupakan esensi dari keberadaanya. Ia merupakan prabot ampuh manusia untuk bertahan hidup, yang membedakannya dengan makhluk bumi lainnya.

Upanishad menegaskan: “mana eva manushyãnam kãranam bandha mokshayoh —bagi manusia, manas-lah yang menyebabkan perbudakan maupun pencapaian Moksha.” Dalam hirarki Sankhya, manas menduduki posisi kunci di bawah keakuan, yang disini disebut asmita. Vedanta menyebutnya ahamkara. Intelek, nalar, kecerdasan atau buddhi berada pada tataran yang lebih tinggi dari pikiran, dan sejajar dengan keakuan. Sedangkan citta —kesadaran atau batin jernih — berada di atas buddhi dan asmita. Citta masih terbilang sejajar dengan triguna (sattvam, rajas dan tamas) —tiga kekuatan Prakriti —namun belum terpengaruhi olehnya. Citta turunan langsung dari Purusa —yang merupakan hakekat yang berlawanan dengan Pradhana atau Prakriti — semesta material. Dari Pradhana inilah triguna berasal. Oleh karenanya, triguna juga disebut ‘tiga kekuatan Prakriti’. 

Segera setelah citta terpengaruh oleh triguna dan didominasi oleh sattvam, maka ia tidak lagi sebagai kesadaran yang jernih, melainkan menjadi buddhi, intelijensia. Dan bila citta dipengaruhi dan didominasi oleh rajas dan tamas, maka terlahirlah asmita atau ahamkara. Ahamkara inilah yang membawahi dan menggerakkan manas. Relatif amat jarang buddhi ikut-campur dalam pemerintahan ini. Dalam melayani ahamkara, manas menjadi sibuk, bergolak, berpusar, berubah-ubah, terombang-ambing, menimbulkan berbagai bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan; inilah kondisinya dalam pusaran-pusaran batin itu. 

Konyolnya adalah, dalam ketidak-tahuannya manusia justru mengidentifikasikan-dirinya sebagai pikiran dan perasaan atau vritti itu sendiri —vritti sarupya. Hanya manakala dominasi asmita terhadap pikiran dapat direbut oleh buddhi, kondisi atau sifat sattvik yang kedewataan mulai menyinarinya. Buddhi mendekati kondisi citta, sehingga jauh lebih mudah menerima pancaran kesadaran murni, lewat mana Purusa memancarkan cahayanya di dalam batin manusia. Demikianlah ideal pemurnian citta Patanjali yang dipaparkan pada awal mokshashastra ini. 

Lima Jenis Modifikasi Batin dan Tiga Proses Penalaran 

Modifikasi-modifikasi batin (vritti) ada lima jenis, ada yang menyedihkan dan ada yang tidak menyedihkan: penalaran (pramana), kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa), tidur (nidra) dan ingatan (smrti). 
Praktek langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik. 
[YS I.5 - I.7] 
  
Pengetahuan luhur (jñana) yang diperoleh tanpa mengabaikan terlebih dahulu kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa) serta ingatan-ingatan (smrti) yang samar dan terbatas, tidak layak dipercaya sebagai suatu pengetahuan yang sahih (vidya), yang dapat dipertanggung-jawabkan objektivitas dan kebenarannya. Ia tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan samasekali (avidya), apalagi jñana. Sutra-sutra ini menekankan hal ini. Sementara jñana diperoleh lewat tiga rangkaian proses yang masing-masing daripadanya disebut pramana. Sebagai suatu rangkaian proses, yang satu dilanjutkan dan dilengkapi oleh yang berikutnya, demikian seterusnya. Dalam mengamati, mencermati guna memperoleh jñana, tri pramana adalah jalannya.

Mempraktekkan langsung dengan cermat fenomena-fenomena di luar ataupun di dalam, melahirkan pengalaman. Melalui praktek yang sama secara berulang-ulang, banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman disini bisa berupa pengalaman fisik, non-fisik maupun meta-fisik. Endapan pengalaman-pengalaman inilah yang tersimpan sebagai bagian dari ingatan (smrti), mereka serupa dengan kesan-kesan mental (samskara). Smrti semakin kuat bila pengalaman yang sama dialami secara berulang-ulang. Dari fenomena batiniah inilah terlahir laku Japa, pelafalan sebait mantra pendek secara berulang-ulang. Semua proses empiris inilah yang disebut pratyaksa pramana. Besar kemungkinannya kalau kata ‘praktek’ maupun ‘praktis’ yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata pratyaksa ini.
Pengetahuan juga bisa diperoleh dari mendengar penjelasan sumber-sumber yang otentik dan layak dipercaya maupun kitab-kitab yang terpercaya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara inilah yang disebut agama atau sabda pramana —perolehan pengetahuan melalui mendengarkan sabda-sabda suci para Guru-guru suci dan kitab-kitab suci.
Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi, dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i) subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti) dan (iv) cara mengetahuinya (pramana).
Kekeliruan (viparyaya) merupakan pengetahuan keliru (mithya-jñana), yang tidak tersusun dari realitas. 
Pengetahuan yang dimunculkan oleh ‘citra kata-kata’, namun tanpa didukung objektivitas adalah angan-angan atau imajinasi (vikalpa) semata; modifikasi-modifikasi batin yang terjadi tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) adalah tidur (nidra); dan kehadiran kembali objek sensasi yang pernah dialami dalam pikiran adalah ingatan (smrti) yang terbatas, merupakan pengetahuan yang keliru itu. [YS I.8 - I.11] 

Disebutkan adanya lima pemicu kekeliruan (panca viparyaya) dalam Wrhaspati Tattwa; masing-masing adalah: (i) Tamah, pikiran yang selalu ingin memperoleh kesenangan duniawi; (ii) Moha, keinginan untuk memperoleh delapan kemampuan adi-kodrati (asta aiswarya); (iii) Mahamoha, keinginan untuk mendapatkan kesenangan niskala disamping asta aiswarya tadi; (iv) Tamisra, berharap untuk memperoleh kesenangan —sebagai buah perbuatan— di kemudian hari; dan (v) Andhatamisra, menangisi milik yang telah hilang. Kelima kekeliruan inilah yang berandil besar dalam kesengsaraan manusia.

Nidra, tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) —seperti yang disebutkan dalam sutra I.10—bukanlah tidur pulas tanpa mimpi —yang disebut sushupti. Dalam sushupti, Ibunda Semesta, Rajesvari, membawa jiva kembali kepada-Nya; memeluknya dalam dekapan kasih-Nya, menyusuinya lagi dengan segarnya kedamaian, gairah baru, vitalitas dan kekuatan baru serta menjadikannya cukup prima untuk menghadapi ‘peperangan’ keesokan harinya. Demikian Sri Swami Sivananda menggambarkannya.

Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif tanpa hadirnya keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang tersembunyi.

Pengetahuan akan lebih lengkap dan terpercaya, bila diperoleh melalui pratyaksa, sabda atau agama, anumana serta upamana, yang bekerja sedemikian rupa saling menunjang dan menguatkan, sebelum menarik suatu kesimpulan akhir. Disinilah subjektivitas yang terbentuk oleh pengalaman pribadi yang terbatas, berupa: kekeliruan (viparyaya), angan-angan atau imajinasi-imajinasi subjektif (vikalpa), serta kehadiran objek-objek indriawi yang menyesatkan (vishaya) maupun kelemahan dan keterbatasan ingatan (smrti) ditiadakan. 

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana menyingkirkan modifikasi-modifikasi pikiran yang menyesatkan, yang menjadi biang dari mithya-jñana ini? Inilah yang dipaparkan secara panjang lebar dalam sutra-sutra berikutnya.

oOo
 
KIAT MENGATASI MODIFIKASI-MODIFIKASI PIKIRAN 

Melalui pembiasaan terus-menerus (abhyasa) dan tanpa keberpihakan dan keterikatan (vairagya) modifikasi-modifikasi pikiran dan perasaan (vritti) dihapuskan (nirodhah). 
Abhyasa adalah usaha terus-menerus pada jalan spiritual hingga menjadi suatu kebiasaan. 
Perhatian yang konstan dalam jangka waktu lama, dengan teguh dan tanpa jeda memantapkannya. 
Pandangan hidup yang bebas dari nafsu keinginan dan kecintaan pada pengalaman-pengalaman indriawi berikut objek-objeknya, serta tanpa keberpihakan dan keterikatan lagi padanya adalah vairagya. 
Vairagya yang tertinggi dicapai tatkala munculnya kekuatan Purusa untuk menghentikan pengaruh guna, walaupun berupa keinginan yang sekecil apapun. 
[YS I.12 - I.16] 

Paparan serupa ini ternyata kita temukan pula dalam Bhagavad Gita VI.35: 
"Tidak diragukan lagi, oh...Mahabahu, pikiran memang sulit dikendalikan, namun ia dapat dikuasai melalui pembiasaan-diri (abhyasena), ketidak-terikatan (vairagyena) pun dapat dicapai melaluinya." 

Abhyasa saling menguatkan dengan vairagya. Abhyasa dicapai melalui kesinambungan pelaksanaan sadhana; sesungguhnya antara sadhana dan abhyasa nyaris tiada beda. Mungkin dapat dikatakan bahwa abhyasa adalah suatu kebiasaan dalam menjalankan sadhana-sadhana bagi seorang sadhaka. Sudah barang tentu membiasakan sesuatu —apalagi sesuatu yang baik dan bernilai spiritual— tidaklah mudah dan dapat diraih dalam waktu singkat.

Dalam konteks ini, abhyasa ditujukan untuk mengendalikan dan meredam semua vritti. Menurut Sri Swami Sivananda, mengarahkan kembali pikiran kepada asalnya —Hrdaya Guha—dan menjadikannya tercerap dalam Atman adalah abhyasa; demikian pula mengarahkan pikiran ke dalam untuk menghancurkan kecenderungannya mengarah ke luar. Hanya melalui abhyasa saja, samskara-samskara dapat dibakar hangus.

Wrhaspati Tattwa melukiskan yang telah meraih vairagya bagaikan raja yang kuat, yang telah menikmati kemenangan dalam peperangan. Semua kesenangan duniawi —lewat munculnya kegandrungan terhadapnya— tak lagi mengikatnya karena ia tak menginginkan lagi semua itu.

Menurut Sri Swami Sivananda ada empat tingkatan vairagya:
(1) Yatamana:- Ini dicirikan dengan adanya upaya untuk tidak membiarkan pikiran berlari menuju ladang sensualitas;
(2) Vyatireka :- Pada tingkat ini beberapa objek bisa saja menarik Anda namun Anda berhasrat kuat untuk memotong kelekatan dan ketertarikan Anda itu, dan sadar akan tingkatan vairagya terhadap objek-objek yang berbeda-beda;
(3) Ekéndriya:- Sensasi-sensasi masih ada yang berdiri tegak maupun yang telah tunduk, akan tetapi pikiran masih memiliki raga atau dvesha, suka atau tak-suka pada objek-objek. Hanya sebatas pikiran saja; atau dengan lain kata, hanya pikiran saja satu-satunya sensasi yang berfungsi secara terpisah;
(4) Vasirara:- Pada tingkat vairagya tertinggi ini, objek-objek tidak lagi menggoda. Mereka tidak lagi menimbulkan ketertarikan samasekali. Sensasi tenang dengan sempurna. Pikiranpun terbebas dari suka-tak-suka. Andapun memperoleh kemenangan dan tanpa ketergantungan lagi. Tanpa vairagya tiada kemajuan spiritual yang dimungkinkan.
 
SAMÃDHI, TAHAP PENCAPAIANNYA DAN KEAMPUHAN ISVARAPRANIDHANA.

Samprajñãta dan Asamprajñãta Samãdhi. 

Penalaran yang tajam (vitarka), penyelidikan melalui perenungan mendalam (vicara), dan kebahagiaan (ananda) yang penuh kewaspadaan sebagai akibat dari penyatuan semesta dengan Sang Diri, merupakan kondisi batin ketika tercapainya Samprajñãta Samãdhi. 
[YS I.17.] 

Dalam Samprajñãta Samãdhi, batin masih dicirikan dengan kehadiran empat kondisi yang mendahuluinya—yakni: vitarka, vicara, ananda dan identifikasi-diri sebagai asmita. Asmita atau keakuan merupakan pijakan yang hendak dilebur dalam kesadaran kosmis melalui penalaran di dalam, penyelidikan atau perenungan mendalam. Manakala penyatuan atau peleburan itu tercapai, maka tercapai pulalah anandam, kebahagiaan sejati. Inilah yang disebut dengan Samprajñãta Samãdhi.
Disini, anandam sebagai pencapaian tertingginya, dinikmati oleh ‘sang aku semu’. Disini hadir; “Aku menikmati kebahagiaan tertinggi.” Aku masih eksis dan bertindak sebagai si penikmat. Sementara, ia sendiri justru merupakan salah-satu kléša—bahkan yang paling hakiki—untuk dilebur. Hadirnya aku sebagai si penikmat, yang mengidentifikasikan dirinya pada kebahagiaan itu, juga merupakan pertanda bahwa pusaran-pusaran pikiran (vritti) masih aktif. (Mungkin) Inilah sebabnya mengapa pencapaian Samãdhi ini bukanlah yang tertinggi menurut idealisasi Patanjali.
Pemusnahan sisa-sisa kesan mental (samskara) yang masih mengisi pikiran, melalui vairagya dan abhyasa, mengkondisikan terjadi penyatuan sempurna dalam eksistensi yang tiada terbedakan, tanpa wujud, yang juga berarti musnahnya pengaruh Prakriti (prakritilaya), disamping kuatnya iman (sraddha), semangat dan kegigihan (virya), daya ingat yang kuat (smrti), dan bersinarnya kebijaksanaan (prajña). 
[YS I.18 - I.20.] 

Asamprajñãta Samãdhi, merupakan pencapaian tertinggi, dipersamakan dengan Nirbija atau Nirvikalpa Samãdhi oleh Swami Satya Prakãs Saraswati. Samãdhi ini terutama dicirikan dengan musnahnya pengaruh kekuatan Prakriti yang berupa Triguna itu. Dan itu tak serta-merta dimungkinkan, terjadi. Patanjali masih menyebut-nyebut beberapa pencapaian dan kondisi batiniah ‘yang mendahuluinya’ dalam tiga sutra tadi.
Pencapaian-pencapaian mendahului dimaksud adalah: vairagya, abhyasa, smrti dan prajña. Dan kondisi batiniah yang dimaksud adalah: sraddha dan virya. Smrti dimasukkan sebagai pencapaian sebelumnya atau mendahului karena ia terbentuk sebagai hasil positif dari proses pembiasaan dan mungkin ini telah dilakukan sejak kehidupan-kehidupan lampau sang penekun. Keyakinan yang teguh merupakan kondisi batin yang bisa diperoleh dalam kehidupan ini ataupun yang lampau, namun masih terus dirasakan atau terpakai; demikian juga halnya dengan semangat yang kuat yang menyertainya.
Hampir tak mungkin tumbuh suatu semangat yang kuat, tanpa teguhnya iman. Satu keyakinan mendasar dari seorang sadhaka adalah akan adanya Isvara (Tuhan), oleh karenanyalah Isvarapranidhana disebut-sebut sejak awal.
Pencapaian secara bertahap dan keampuhan Isvarapranidhana.
 
Bagi mereka yang melakukannya dengan intens, penuh semangat-spiritual (virya), kemajuan pesat dan keberhasilan dalam Samãdhi segera dicapai. 
Pencapaian keberhasilan terbaik dimungkinkan melalui praktek bertahap, dari rendah, menengah hingga intens, yang selalu disertai dengan penyerahan-diri sepenuhnya kepada Tuhan (Isvarapranidhana). 
[YS I.21 - I.23.] 

Memang dalam banyak hal kesabaran memegang peranan penting bagi keberhasilan dalam bidang apapun, terlebih lagi dalam Samãdhi. Sabar disini tidak dimaksudkan sebagai lamban dan menunda-nunda latihan, dengan mengatakan dalam hati: “Ah....saya harus sabar...toh masih banyak waktu untuk itu”. Tidak demikian maksudnya. Kesabaran disini lebih diarahkan pada ketidak-cerobohan, tidak terburu-nafsu tanpa persiapan yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Mereka yang memilih jalan Yoga, diharapkan telah berkepribadian matang dengan tekad yang kuat, sadar sepenuhnya bahwa umur tak dapat kita tentukan. Jadi, sesungguhnya kita tidak tahu persis, berapa lama waktu yang tersedia bagi kita dalam kelahiran ini dan kapan kita dapat merampungkan persiapan dan latihan tersebut hingga benar-benar menjadikannya sebagai suatu kebiasaan hidup spiritual, dan berhasil. Namun, secara jujur, sekurang-kurangnya kita tahu persis kekurangan-kekurangan kita. Ini akan amat membantu dalam menentukan sikap, kapan diperlukan peningkatan intensitas dan kapan perlu diperlambat, dan sebagainya.

Seperti juga Isvara, Isvarapranidhana diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Patanjali. Ia belum muncul dalam Sankhya. Isvarapranidhana disebut-sebut berperan besar dalam keberhasilan dalam Samãdhi. Penyerahan-diri pada Isvara (Tuhan), bukanlah dimaksudkan sebagai penyerahan pasif, namun sebaliknya aktif. Kita tak dapat hanya menunggu dan menunggu, serta memohon dilimpahi rakhmat atau anugrahnya, dengan dalih bersabar. Bukan demikian maksudnya. Apa yang dapat saya lakukan untuk menyenangkan beliau, dan bagaimana saya sebaiknya melaksanakannya? Pertanyaan-pertanyaan proaktif ke dalam (vicara) inilah yang akan amat membantu penyerahan-diri seutuhnya.
 
ISVARA SEBAGAI GURU SEMESTA DAN PRANAVA JAPA.
 
Isvara adalah Purusa Istimewa (purusa visesa Isvarah), tak tersentuh oleh kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan (kléša), perbuatan-perbuatan (karma) dan kesan serta hasil dari perbuatan-perbuatan itu. 
Tiada terbatas adanya benih kemaha-tahuan (sarvajña bija) pada-Nya. 
Beliau adalah Guru dari para Guru sejak jaman purba (purva), yang ada di luar jangkauan waktu. 
[YS I.24 - I.26] 

Dalam tiga sutra ini juga ter-refleksikan dengan amat jelas dan tajam, bagaimana Patanjali memandang Isvara. Sejauh kita masih berkutat dengan berbagai kléša dan karma, vasana, dan phala-nya, serta beraneka samskara, maka Isvara digambarkan seperti dalam sutra I.24 diatas oleh Patanjali. Penggambaran itu bukanlah dimaksudkan sebagai penggambaran absolut, dimana hanya itulah sifat-sifat Tuhan dalam konsep ketuhanannya, namun lebih secara kontekstual dalam jalan pensucian atau pemurnian batin manusia.

Dalam ajaran Buddha, yang disebut lima kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan (kléša) adalah: 
• Kesenangan pada kenikmatan pemuasan nafsu indriawi (kamachanda); 
• Itikad jahat atau dendam pada orang lain (vyapada); 
• Kemalasan, keenganan dan kelesuan (stayana-middha); 
• Kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran (auddhatya-kaukrtya); dan 
• Keragu-raguan (vicikitsa). 
Sementara menurut Patanjali, Panca kléša adalah: 
• Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya), 
• Egoisme (asmita), 
• Kelekatan atau kecintaan ragawi (raga), 
• Kebencian (dvesa), dan 
• Kecintaan yang amat sangat pada kehidupan sehingga amat takut mati (abhiniwesa). 
Walaupun ada perbedaan item-item yang dipandang sebagai kléša dalam kedua ajaran ini, namun bagi penekun jalan spiritual semua kekotoran ini penting untuk dienyahkan. Memang tidak semua orang terlahir dengan membawa semua kekotoran-kekotoran ini; ada yang hanya tiga, dua atau satu saja yang kuat. Akan tetapi ini tetap mesti diwaspadai. Patanjali memperkenalkan metode ampuh untuk mengentaskannya, yang disebut Pratipaksa Bhavana atau melalui penerapan sat sampat, seperti yang akan dipaparkan pada pembahasan sutra IV.29 - IV.34 nanti.
Secara kontekstual pula, Isvara diposisikan sebagai Guru; Guru spiritual bagi semua Guru dan penekun jalan spiritual, Guru Yoga bagi semua Guru dan penekun Yoga, dahulu, kini dan nanti. Akan tetapi kita tidak diharapkan untuk beranggapan: “Ah...saya hanya akan ber-Guru pada Isvara saja. Saya tak perlu ber-Guru pada yang lainnya, apakah itu Dewa apalagi manusia.” Jangan berpandangan demikian. Belum banyak di antara penekun yang berkualifikasi setinggi itu. Para penekun masih butuh Guru kasat-indria, Guru yang masih berjasad sebagai anutan. Akan tetapi, bukan pula sebaliknya memandang: “Kita tak mungkin ber-Guru pada Isvara. Kita harus ber-Guru hanya pada manusia yang masih hidup.” Tidak demikian adanya. Dua kutub pandang dalam ber-Guru ini memang jamak kita temui. Ini menunjukkan hadirnya pandangan keliru yang menyesatkan, untuk disadari dan dientaskan, bersamaan dengan berjalannya latihan.
Manifestasi simbol-Nya adalah suku kata tunggal Pranava (OM). 
Pelafalan Pranava berulang-ulang secara konstan (japa), dengan penuh penjiwaan dan pemahaman akan maknanya, mengantarkan pada pencapaian tujuan (artha bhavanam). 
Dengan mempraktekkannya lahir kesadaran kosmis (cetanãdhigamo) dan hambatan-hambatanpun sirna. 
[YS I.27 - I.29] 

Sebetulnya ketiga sutra ini secara fundamental masih terkait langsung dengan Isvarapranidhana. Pelafalan berulang-ulang secara konstan Nama Tuhan, adalah perwujudan cinta dan bhakti kepada-Nya. Dan Pranava Japa ini dengan tegas disebutkan sebagai membawa keberhasilan dalam Yoga. Pelafalan secara konstan dalam ber-japa, sebetulnya juga merupakan suatu proses pembiasaan, membentuk suatu kebiasaan dalam prilaku spiritual. Inilah salah-satu praktek langsung dari Abhyasa. Jelas ia tidak dicapai serta-merta; ia merupakan suatu proses, bukan pencapaian; disini pula dituntut kesabaran dalam melalui pentahapannya. Agaknya perlu juga dicatat kalau dalam Yoga Sutra ini Patanjali hanya sekali menyertakan kata 'japa' ini. Hanya pada sutra I.28 ini saja; dan hanya dikaitkan dengan Pranava OM. Disini pulalah Patanjali memperkenalkan Japa Yoga kepada kita.

Anjuran untuk melafalkan Pranava OM tentu kita temukan dalam banyak Upanishad-Upanishad, diantaranya Mundaka Upanishad. Upanishad ini menganjurkan: “Bermeditasilah atas OM sebagai Atman. Semoga engkau berhasil menyeberang jauh dari kegelapan.” Mandhukya Upanishad juga menegaskan bahwa, apa saja yang merupakan keadaan masa silam, sekarang dan yang akan datang, semuanya adalah Pranava OM. Dan apa saja yang ada diluar waktu —lampau, sekarang, dan akan datang— itu hanyalah Pranava OM. Semuanya sesungguhnya Brahman (Tuhan). Sedangkan Bhagavad Gita menyebutkan Pranavah sarva vedasu —Aku adalah Pranava dalam seluruh Veda.

Setiap mantra umat Hindu diawali dengan melafalkan Nama-Nya. Semua Upanishad memuji OM. Pada jaman Upanishad lambang Nama-Nya—OM—sangat dimuliakan. Kata OM sendiri merupakan hasil penyandian antara tiga aksara suci A - U - M yang masing-masing mewakili tiga aspek keagungan Tuhan sebagai Mahapencipta (A), Mahapengatur dan Mahapemelihara (U) dan Mahapelebur, pengembali ke asalnya (M). Senantiasa melafalkan Nama-Nya, sebagai praktek langsung dari Isvarapranidhana, mengikat pikiran liar, dan mententramkannya dalam Tuhan. Inilah prinsip yang mendasari dan dianut oleh Japa Yoga.

Dalam sadhana, Pranava Japa dilaksanakan dalam hati (manasu japa) menyertai Pranayama. A(ng) dilafalkan dalam hati saat menarik nafas; U(ng) saat menahan nafas dan M(ang) saat menghembuskan nafas. Dengan demikian terjadi kombinasi yang solid antara Pranava dan Pranayama. Mengenai praktek Japa dalam Pranayama ini akan kita bicarakan lagi pada Sadhana Pãda, saat membahas Pranayama.

Cetana adhigama merupakan istilah bentukan Patanjali yang menarik untuk dibahas. Cetana yang disebut juga sebagai Kesadaran Kosmis, dalam Wrhaspati Tattwa didefinisikan sebagai: bersifat mengetahui, tak terkena lupa, senantiasa tenang dan tetap serta tak terhalang. Sebaliknya Acetana disebut sebagai: tanpa pengetahuan, seperti moha (kebingungan atau kemabukan). Pertemuan antara Cetana dan Acetana inilah yang melahirkan: Pradhana, Triguna, Buddhi, Ahamkara, Panca Buddhindriya, Panca Karméndriya, Panca Tanmatra, dan Panca Mahabhuta. Dalam pustaka Nusantara Kuno ini, Cetana dirinci ke dalam Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa.

Sebagai kitab Tattwa ajaran hakekat ketuhanan yang dapat disejajarkan dengan Upanishad-Upanishad, disini Isvara juga dipaparkan dengan rincian sifat-sifat: 
• Aprameyam —Tidak terpikirkan, karena kejadian-Nya tidak berawal, tidak berakhir dan tidak terbatas; 
• Anirdesyam —Tidak terperintahkan, karena keadaan-Nya tanpa aktivitas. 
• Anaupamyam —Tidak tertandingi, tidak dapat diperbandingkan, karena keadaan-Nya tidak ada yang menyamai; 
• Anamayam —Tidak terkena penyakit, karena tidak ternodai; 
• Dhruvam —Berkeadaan sadar, tanpa gerak, tenang, senantiasa tetap selamanya; 
• Avyayam —Tiada kurang, karena beliau sempurna. 
Disebutkan pula bahwa dalam perjadiannya Beliau adalah Raja, Jiwa yang tidak terjiwai, Jiwa dari semua jiwa. Satu hal yang dapat kita pahami disini bahwa, konsep ketuhanan yang dianut oleh Patanjali tidaklah berbeda dengan konsep yang dianut di dalam Wrhaspati Tattwa —suatu karya sastragama asli Nusantara yang tidak diketahui oleh siapa dan kapan disusunnya.

 
PELEBUR DERITA.

Penyemaian Sifat-sifat Luhur Kedewataan sebagai Pelebur Derita. 
Penyakit, kemalasan, keragu-raguan, sikap apatis, kelesuan, keserakahan pada kenikmatan indriawi, salah persepsi, kurang dan lemahnya konsentrasi, dan perhatian yang tidak stabil, 
semuanya merupakan bentuk-bentuk viksepa yang merusak citta. 
Demikian pula kesedihan, kekhawatiran, keputusasaan, dan nafas yang tak teratur merupakan gejala-gejala yang menyertai viksepa. 
Untuk mengatasi semua itu, praktekkanlah meditasi pada satu objek (eka tattvãbhyasa). 
[YS I.30 - I.32] 
  
Paparan sutra-sutra ini dimulai dengan bentuk-bentuk derita yang umum dialami. Semuanya mencirikan terjadinya penyesatan oleh gejolak pikiran atau viksepa. Pikiran yang bergejolak tidak mudah untuk dipersatukan, apalagi bentuk-bentuk pikiran yang destruktif. Gejolak ini tentu menghambat sang sadhaka dalam melaksanakan sadhana. Oleh karenanya, dalam praktek dianjurkan untuk menenangkannya terlebih dahulu melalui meditasi hanya pada satu objek, eka tattvãbhyasa. 
Meditasi hanya pada satu objek saja melahirkan kewaspadaan menyeluruh dan tajamnya konsentrasi. Memperhatikan masuk-keluarnya nafas dan menjadikan nafas sebagai objek meditasi misalnya, dapat menghadirkan ketenangan. Pada bab berikutnya, Sãdhana Pãda, Patanjali akan menguraikan tahapan-tahapan bagaimana itu dilakukan.
Ada tiga kelompok besar bentuk derita atau penyakit manusia menurut ajaran Sankhya, yakni: derita jasmani (adhibhautika), derita mental (adhidaivika), dan derita rokhani (adhyatmika). Semuanya ini merupakan penyakit-penyakit mendasar manusia. Oleh karenanya mereka harus disembuhkan terlebih dahulu oleh seorang penekun jalan spiritual ini. 
Derita jasmani (adhibhautika) adalah penyakit yang paling tampak di permukaan, yang paling kasat-indria. Ia dapat disembuhkan lewat bantuan luar maupun secara mandiri. Ini relatif mudah ditangani dan disembuhkan. Umumnya, penyebab utamanya adalah lemahnya daya-vital (prana) dan gangguan mental. Penyakit mental (adhidaivika), apalagi penyakit rokhani (adhyatmika), jauh lebih sulit menanganinya. Mereka erat kaitannya dengan bekas-bekas perbuatan di masa-masa kelahiran yang lampau (sancita-karmavasana). Sadripu atau enam musuh dan Saptatimira atau tujuh kegelapan merupakan bentuk-bentuk pokok dari ‘penyakit karma’ ini. Nah...untuk inilah Yoga menjadi sedemikian pentingnya. Guna tidak menimbun benih-benih penyakit lebih banyak lagi, Patanjali menganjurkan: 
Semaikanlah rasa persahabatan dan rasa welas-asih universal (maitri), rasa belas-kasihan pada sesama makhluk hidup (karuna), simpati yang setara baik pada yang sedang bersuka-cita apalagi pada yang sedang berduka-cita, pada yang bernilai maupun yang tak-bernilai (mudhita), serta pupuklah keseimbangan-batin (upeksha); dengan itu terjernihkanlah kesadaran (citta prasadanam) dan keseimbangan daya-vital-pun terjaga. 
[YS I.33 - I.34] 

Maitri, karuna, mudhita dan upeksha disebut Catur Paramãrtha. Mereka merupakan sifat-sifat atau sikap-batin luhur keilahian, yang bahkan disebut sebagai Istana Ilahi atau Brahma Vihara dalam ajaran Buddha. Disebutkannya lagi secara khusus maitri ini oleh Patanjali dalam sutra III.24, menyiratkan betapa beliau memandang pentingnya sikap-batin luhur keilahian ini bagi para penekun, demi keberhasilannya. 
Pikiran dan perasaan pada dasarnya tidak dapat memegang atau terisi oleh lebih dari satu objek dalam satu satuan waktu tertentu. Bilamana manas telah terisi oleh salah-satu daripadanya, tentu ia tak mungkin lagi di-isi dengan objek lainnya. Inilah prinsip yang dianut dalam ekatattvaabhyasa. Oleh karenanya, guna penyembuhan derita-derita itu, Patanjali menganjurkan untuk mengisinya dengan—setidak-tidaknya—salah-satu dari Catur Paramãrtha ini. 
Sayangnya, pikiran yang tidak terlatih amat sulit memegang satu objek saja, pada saat yang bersamaan dalam jangka waktu tertentu. Ia cepat sekali meloncat dan berpindah-pindah dari satu objek ke objek lainnya. Karenanya ia sering di-ibaratkan sebagai se-ekor kera. Dengan membiasakan menyatukan semua tattva serta penerapan empat sikap-batin luhur keilahian tadi, hanya Purusa-lah yang masih tegak berdiri dan memancarkan Cahaya Agung-Nya. Bagaimana rinciannya? Inilah yang dipaparkan sepanjang Yoga Sutra ini. 

Tekad yang teguh memancarkan kembali Cahaya Transenden. 

Dengan meneguhkan tekad terhadap rongrongan godaan kenikmatan indria didalam kehidupan duniawi (pravrittir), pikiran diperhalus dan dimantapkan, sehingga bebas dari duka-cita, dengan demikian Cahaya Transenden di dalampun bersinar, dan kegandrungan pada pahala yang bersifat jasmaniahpun sirna (vita raga visayam), sehingga semakin jernilah citta. 
Pengetahuan luhurpun dimungkinkan dari mimpi-mimpi spiritual (svapana), tidur (nidra), serta meditasi pada objek pilihan yang disenangi. Demikianlah, Sang Yogi yang mantap batinnya, pengetahuannya meluas dari atom yang paling halus (parama anu) hingga yang tidak-terbatas besarnya (parama mahatattva). 
[YS I.35 - I.40] 

Keteguhan terhadap prinsip-prinsip kehidupan spiritual, memberi kekuatan pada seorang Yogi untuk menolak, tak tergoyahkan oleh godaan-godaan dari kenikmatan indria. Disinilah penerapan vairagya —seperti yang telah dipaparkan dari sutra I.12 sampai dengan sutra I.16— menunjukkan manfaat langsungnya. Menjalani kehidupan spiritual yang holistik, membutuhkan keteguhan serupa ini sebagai soko-gurunya.
Amatan yang seksama, jernih, disertai kemantapan pikiran, dengan tanpa terikat pada objek-objek terhalus sekalipun, membangkitkan Kecerahan Spiritual bersamaan dengan munculnya Cahaya Transenden dalam batin Sang Yogi. Ada yang memandang fenomena ini sebagai terbitnya sifat sattvika, bebas dari rajas dan tamas, yang amat kondusif bagi pengembangan spiritualitas.
Ketidak-gandrungan pada pahala yang bersifat jasmaniah (vita raga) —yang merupakan kerja dari rajas dan tamas—juga menunjukkan semakin matangnya vairagya. Dengan demikian Cahaya Transenden yang tadinya suram, gelap, terselubungi oleh pekatnya kabut rajas dan tamas, kini bersinar kembali.
Cahaya Transenden dimaksud, besar kemungkinan merupakan istilah Patanjali dalam melukiskan pancaran kecemerlangan buddhi, yang seringkali juga disebut sebagai Intelijensia Kosmis. Ia hanya muncul pada seorang Yogi sebagai hasil dari keteguhan dan disiplin dalam melaksanakan sadhana-sadhana, dan tidak pada awam. Segera setelah manas hanya dipengaruhi dan didominasi oleh sattvoguna, maka ia tersublimasi menjadi buddhi. Ia lebih mendekati pengertian intuisi, dalam peristilahan umum. Wrhaspati Tattwa menyebutkan, apabila sattvika citta itu terpancar, menyebabkan Atma mencapai Moksha, karena Atma menjadi suci murni.
Svapana, yang disebut dalam sutra I.38 bukanlah mimpi biasa yang dipenuhi dengan kesan-kesan mental dari si pemimpi, yang sering disebut ‘bunga tidur’. Mimpi-mimpi serupa itu hanya mengantarkan si pemimpi ke alam mimpi —yang menurut penjelasan Wrhaspati Tattwa—serba kabur dan tidak jelas. Bukan ini yang dimaksudkan disini; yang dimaksud disini adalah ‘mimpi spiritual’.
Manakala pikiran hanya memegang satu objek saja (ekatattva) sebagai bahan perenungannya, maka ketika ‘badan di-istirahatkan’, bahan perenungan itu terpantul dalam format ‘mimpi spiritual’. ‘Badan di-istirahatkan’ dengan penuh kesadaran bahwasanya ia memang butuh istirahat, dan bukan karena badan merajuk atau bahkan memerintahkan untuk beristirahat, seperti yang umumnya terjadi pada awam. Ini merupakan dua paradigma yang amat jauh bedanya secara spiritual. Badan kasar ini cenderung malas dan enggan diajak mengerjakan sesuatu yang tampak sulit, menguras tenaga dan melelahkan. Padanya melekat kuat sifat tamas. Dialah perwujudan dari sifat tamas itu. Inilah yang ditundukkan terlebih dahulu oleh seorang sadhaka sejati, melalui tapa dalam Kriya Yoga, seperti yang akan dipaparkan nanti pada sutra II.1 dan II.2.
‘Mimpi spiritual’ menghasilkan inspirasi-inspirasi spiritual yang mendekatkan seorang sadhaka pada pengetahuan luhur nan sejati (jñana) itu. Jadi bila pikiran telah dijernihkan dan viksepa tak lagi mengganggu, maka buddhi dengan sendirinya bercahaya cemerlang; bahkan mimpi sekalipun, memberi pengetahuan luhur bagi Sang Yogi.
Demikian pula halnya dengan tidur pulas, lepas, tanpa mimpi samasekali, merupakan bentuk Samãdhi yang alamiah, tanpa dibuat-buat, tanpa diupayakan dan dikondisikan sebelumnya. Sushuptapada adalah alam tidur nyenyak, sepi tanpa kesadaran, yang tak terpikirkan kondisinya. Kondisi batiniah ini disebut Sushupti, apabila diupayakan lewat Yoga. Inilah pesan yang disampaikan dalam sutra tadi.
Wrhaspatti Tattwa-31 menyebutkan, orang yang telah mencapai vairagya, melihat alam prakrti musnah (prakrto linah); bagai nyenyaknya tidur tanpa mimpi, demikian kebahagiaan yang diperolehnya. Para vairagi adalah mereka yang vairagya-nya telah sempurna. Kalaupun bisa, tidur seperti ini amat jarang terjadi bagi mereka yang aktif dalam kehidupan duniawi; yang umumnya dialami adalah tidur dan bermimpi, namun setelah terjaga kembali lupa akan apa yang dimimpikannya.
Samãpatti dalam Savitarkã Samãdhi hingga Nirvitarkã Samãdhi. 

Bila pusaran-pusaran batin telah surut, maka batin menjadi jernih transparan bagai kristal, si pengamat (grahitr), proses mengamati (grahana) dan objek-objek yang diamati (grahya) mentransformasikan diri ‘seperti apa adanya’ (samãpatti). 
Disanalah pengetahuan biasa maupun pengetahuan sejati (jñana) serta-merta tersusun; apa yang didengar dan diamati lewat indria menjadi penuh makna; ini menyatakan terjadinya transformasi batiniah, inilah Savitarkã Samãdhi. 
[YS I.41 dan I.42] 

Istilah samãpatti memperoleh perhatian khusus dari Swami Satya Prakas dalam “Patanjali Raja Yoga”-nya. Menurut beliau samãpatti adalah hasil penyamaan, dimana penyamaan tersebut harus terwujud antara ‘yang mengetahui’, ‘yang diketahui’ dan ‘pengetahuan’ itu sendiri. Bila telah terwujud penyamaan di antara ketiganya, tercapailah Samãdhi tertinggi. Serupa dengan itu, seorang Yogi —yang penulis kenal dengan baik— menyatakan: “Samãdhi tercapai bilamana ‘yang mengetahui’, ‘yang diketahui’, ‘tahu’ ‘ dan ‘pengetahuan’ itu lebur dalam satu kesatuan yang utuh.” Hanya ada sedikit perbedaan disini, yakni dimasukkannya kondisi ‘tahu’ oleh beliau. Kondisi ‘tahu’, dalam hal ini mencerminkan hadirnya kesadaran penuh dan perhatian murni dalam proses tersebut. Dan ini tampaknya bagi Sang Yogi merupakan faktor penting dalam proses.

Dalam kitab “Samma Samãdhi” —yang bersumber pada kitab “Visuddhi Magga” (Jalan Pensucian Batin)— Sri Mahavirotavaro Mahathera menggunakan istilah samãpatti berpadanan dengan kesuksesan, keberhasilan atau pencapaian. Dalam kitab ini, samãpatti juga dipadankan dengan dhyana, keberhasilan bertahap atau keberhasilan dalam tahapan tertentu.

Sementara itu, mendiang Sri Swami Krishnananda mempersamakan samãpatti dengan Samãdhi. Beliau mengandaikan sebagai bergabungnya air sungai di samudra luas. Di samudra, mana air sungai dan mana air laut, sudah tak terbedakan lagi. Mereka telah bersatu untuk membentuk samudra itu sendiri. Dari semua itu, bagi kita yang perlu diperhatikan adalah teknis pencapaiannya, yang oleh Patanjali ditegaskan sebagai surutnya vritti.

 
SINAR KEBIJAKSANAAN LAHIR DARI SAMÃDHI. 

Ingatan termurnikan (smrti parisuddha), dengan demikian ia kosong (sunya), kembali seperti keadaan sediakalanya, objek bersinar—menjelaskan dirinya sendiri—dengan sendirinya (nirbhasa) merupakan pencapaian transformasi batiniah tanpa penalaran —Nirvitarka Samãdhi. Melalui proses yang sama serta melalui pembeda (savicara) dan tanpa objek perenungan (nirvicara), pemikiran-pemikiran halus terjelaskan. Alam pemikiran-pemikiran halus berakhir dengan sifat yang tak-terdefinisikan (nirvicara). Semua ini hanyalah meditasi dengan benih—Sabija Samãdhi. 
[YS. I.43 dan I.46] 

Pemikiran-pemikiran halus disini dimaksudkan sebagai gagasan-gagasan yang bersifat abstrak (arupam). Bahkan gagasan yang mengawali kegiatan Samãdhi inipun musnah; namun ini disebut sebagai baru pencapaian Sabija Samãdhi, karena masih diawali dengan benih (bija) yang berupa gagasan-gagasan abstrak tadi.
Berbeda halnya bila ingatan termurnikan (smrti parisuddha) yang tak lagi menyimpan, sehingga tidak lagi memunculkan ingatan-ingatan yang menggoda dari pengalaman-pengalaman duniawi. Inilah yang pencapaiannya disebut Nirvitarka Samãdhi. Ini erat kaitannya dengan vairagya, dan kemahiran yang diperoleh dari pembiasaan praktek spiritual berikut segala disiplin batiniah yang menyertainya (abhyasa). 
Disebutkan bahwa ia sunya, sunyi, kosong, lenggang, lapang dalam kejernihan dan kedamaian. Kondisi yang serupa ini disebut Tarka —yang mengandung makna yang sama dengan Nirvitarka—di dalam Wrhaspati Tattwa dan Maitri Upanishad. Wrhaspati Tattwa menggambarkannya layaknya seperti kejernihan akasa. Apabila Patanjali menggunakan nirbhasa, maka Wrhaspati Tattwa menggunakan istilah-istilah nis-sabdam, nirupeksam, nirakalpam dan santa, untuk melukiskan apa yang disebutnya sebagai Tarka Samãdhi.
Swami Satya Prakãs Saraswati menganggap Nirvicãra samprajñãta Samãdhi sebagai yang tertinggi dibandingkan dengan delapan jenis Samãdhi lainnya —yaitu: Savitarka, Nirvitarka, Savicãra, Nirvicãra, Sãnanda, Nirananda, Sasmitã, Nirasmitã Samãdhi— karena ia mengantar kepada kebijaksanaan transenden (tatra prajña), yakni suatu kesadaran atau kebijaksanaan khusus, seperti yang akan dipaparkan lagi pada sutra I.48 berikut. 
Melampaui pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari Kitab-kitab Suci.

Pada pencapaian kemurnian dan kemahiran nirvicãra, Sang Yogi teranugrahi kejernihan spiritual (adhiyatma prasadah). 
Disana kebijaksanaan khusus (tatra prajña) menjadi identik dengan Kebenaran Sejati itu sendiri. 
Apa yang diperoleh melalui pembelajaran kitab-kitab suci (srutãnumana), esensinya berbeda dan tidak dapat dibandingkan dengan Kebenaran Sejati ini. 
[YS I.47 - I.49] 

Nirvicãra Samãdhi menyajikan kejernihan spiritual. Penyakit atau kekotoran batin (adhyatmika) terobati, dan Atman-pun kembali memancarkan sinar-sucinya. Walaupun ia belum merupakan pencapaian tertinggi bagi Sang Yogi, kejernihan spiritual ini sudah menghadirkan ketajaman intuisi untuk bisa melihat Kebenaran seperti apa adanya. Dapat melihat Kebenaran seperti apa adanya, oleh Patanjali disebut sebagai Kebijaksanaan khusus (tatra prajña); oleh karena ia dicapai melalui pengalaman spiritual-metafisis langsung. 
Vicãra disini adalah perenungan suci. Perenungan yang mempertanyakan tentang kebenaran hakiki, tentang kesujatian, langsung kepada sumbernya (Isvara), tanpa perantara lagi. Manakala si perenung, yang direnungkan dan proses perenungan itu sendiri telah lebur menyatu, maka Samãdhi dicapai. Tiada lagi aktivitas merenung itu, atau tercapai kondisi nirvicãra, tanpa perenungan lagi. Tentu yang diperoleh lewat Samãdhi memiliki esensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hanya perolehan dari mempelajari kitab-kitab suci manapun. Apa yang diperoleh melalui mempelajari kitab-kitab suci barulah sebatas pengetahuan (vidya); seperti Brahma-vidya, misalnya. Ia belum dapat dikategorikan sebagai jñana, apalagi prajña. 
Bukan maksudnya untuk mengecilkan arti dari pembelajaran kitab-kitab suci disini. Itu penting; bahkan Patanjali menempatkannya sebagai pendahuluan untuk bisa benar-benar memasuki yogasadhana. Untuk layak dikategorikan sebagai Kriya Yoga, Svadhyaya masih mesti ditemani oleh Tapa dan Isvarapranidhana. Mereka dilaksanakan guna mengkondisikan batin sedemikian rupa, hingga bersih dari kléša atau berbagai jenis kekotorannya.
Pada dasarnya, wahyu suci (sruti) hanya diturunkan kepada ia yang berbatin suci dan melalui Samãdhi—penyatuan luhur dengan-Nya melalui upaya spiritual (sadhana) langsung. Batin yang belum tersucikan, belumlah layak untuk menerima pengetahuan suci ini; dimana ini amat logis adanya. Kita tak mungkin berharap dapat meminum nektar yang murni dari gelas yang kotor. Pengetahuan suci diturunkan oleh Yang Mahasuci lewat penyatuan luhur dengan-Nya, bukan lewat ritual atau cara-cara lainnya. Sementara itu, himpunan dari pengetahuan suci membentuk Kebijaksanaan (prajña). Inilah yang tampaknya hendak ditegaskan oleh Patanjali dalam sutra-sutra tadi.
Antara Sabija dan Nirbija Samãdhi.
 
Kesan-kesan mental (samskãra) luhur yang terbit atau diperoleh dari Sabija Samãdhi menahan semua impresi lain. 
Pengendalian dan pemusnahan (nirodha), bahkan pada pengendali dan pemusnah itu sekalipun, dicapai hanya melalui Samãdhi tanpa benih —Nirbija Samãdhi. 
[YS I.50 - I.51] 

Dalam sutra-sutra ini Patanjali menunjukkan betapa tingginya idealisasi Samãdhi, ke arah mana kita diarahkan lewat Yoga Sutra ini. Jñana yang diperoleh lewat Sabija Samãdhi sesungguhnya merupakan kesan juga. Bedanya hanya pada kadar keluhuran dan kemurniannya. Citta yang benar-benar jernih dan sesuai dengan svarupa-nya adalah tanpa kesan—yang sehalus apapun—lagi. Kesinilah kita digiring oleh Patanjali. Sedikit saja sisa kesan, kendati yang haluspun, masih berpotensi menggiring pada Samsara, yang juga berarti kegagalan dalam mencapai Kaivalyam. 

Sementara ini memang banyaknya istilah-istilah maupun sebutan yang digunakan, yang tentu maksudnya memperjelas deskripsinya, namun disadari malahan bisa mengundang kebingungan. Kebingungan oleh peristilahan hanya terjadi bila kita belum terjun dan mengalaminya sendiri, mengingat menguraikan kondisi batin tidaklah mudah. Namun demi memperlancar proses pembelajaran, dan terutama untuk mengantisipasinya, Swãmi Satya Prakãs Saraswati membantu kita dengan memberi patokan berikut: 
• Samprajñãta = sabija = savikalpa (kondisi supra-sadar rendahan) 
• Asamprajñãta = nirbija = nirvikalpa (kondisi supra-sadar transenden). 
Sementara Sri Swami Sivananda memberi petunjuk bahwa, dalam Savikalpa Samãdhi masih terdapat dualisme gagasan, yang baru sepenuhnya musnah dalam Nirvikalpa Samãdhi. Inilah yang sempurna, yang dituju oleh seorang Raja Yogi.
Sesungguhnya, paparan sutra I.46 hingga I.50, serta paparan dalam sutra-sutra sebelumnya, telah cukup memberi kejelasan tentang apa yang disebut oleh Patanjali sebagai pencapaian panunggalan dengan benih, Sabija Samãdhi. Meditasi dengan objek tertentu, baik yang berwujud maupun tidak, seperti bentuk-bentuk perenungan misalnya, diawali dengan benih dan oleh karenanya meninggalkan benih juga. Ini dicirikan oleh masih tertinggalnya impresi-impresi halus pada batin Sang Yogi. Impresi-impresi halus—sehalus apapun itu adanya—tetap merupakan benih yang akan menggiring pada kelahiran berikutnya di suatu alam kehidupan tertentu, bilamana Sang Yogi mandek dan berpuas-hati hanya sampai disitu saja.
Sebaliknya, Nirbija Samãdhi hanya dicapai bila tanpa lantaran dan tanpa menyisakan benih sehalus apapun lagi; bahkan, ‘pengendali dan pemusnah’-nyapun termusnahkan (pralina) dalam tataran batiniah Sang Yogi. Dengan tercapai ini, tiada benih lagi yang mengharuskan kelahiran di alam atau dalam jasad apapun. Inilah pencapaian sempurna, idealisasi Patanjali. Inilah akhir dari Samsara. Ini amat mirip dengan konsepsi Nirvana, dalam ajaran Buddha.


 
KRIYA YOGA, MENGAWALI PENDAKIAN SPIRITUAL. 

Memasuki Sãdhana Pãda, berarti memasuki paparan spiritual praktis dalam rangka mencapai Samãdhi, dalam berbagai kategori, seperti yang dipaparkan dalam Samãdhi Pãda sebelumnya. Dalam Samãdhi Pãda kita telah disajikan idealisasi-idealisasi terpenting dari Yoga untuk dicapai; dan kini, Patanjali mulai memaparkan bagaimana mencapai semua itu.

Sãdhana Pãda, sebagai paparan praktis praktek spiritual, dibuka oleh Patanjali dengan Kriya Yoga melalui dua sutra berikut. 

Hidup sederhana dengan penuh kedisiplinan (tapa), mempelajari ajaran-ajaran suci secara mandiri (svadhyaya), dan penyerahan diri, kerja dan hasil kerja dalam pengabdian kepada-Nya (Isvarapranidhana) guna meraih penunggalan, disebut Kriya Yoga.  
Ini dilaksanakan guna melenyapkan kléša dan mencapai Samãdhi. 
[YS II.1 dan II.2] 

Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana merupakan tiga sadhana utama dari Kriya Yoga. Swami Satya Prakas Saraswati menyebutnya sebagai ‘Yoga Pendahuluan’. Kenapa disebut 'Pendahuluan'? 
Ketiga sadhana utama yang termaktub dalam Niyama hanyalah tiga dari lima disiplin mental Niyama. Seperti dimaklumi —dan akan dijelaskan pada sutra-sutra berikutnya—Niyama merupakan tahapan kedua dalam delapan tahap Yoga-nya Patanjali, dan hanya diperuntukkan sebagai pembentuk sikap batin yang merupakan landasan moral dari seorang Raja Yogi. Bila hanya tiga dari disiplin moral-spiritual (brata) saja sudah layak memperoleh sebutan Kriya Yoga, dapat dibayangkan betapa tingginya ajaran Ashtanga Yoga yang dipersembahkan Patanjali kepada umat manusia ini.

Kriya Yoga diperuntukkan guna melenyapkan kléša atau kekotoran batin, yang merupakan hambatan-hambatan utama dalam praktek Yoga. Batin yang telah lenyap kekotorannya menjadi suci atau murni (sauca). Sementara itu sauca sendiri juga merupakan salah-satu disiplin dalam Niyama. Ada kepaduan langkah pengembangan batin yang menyeluruh, hanya dalam praktek Niyama saja. Kendati disebut sebagai ‘pendahuluan’ itu sudah dikategorikan sebagai Yoga. Di Barat, Kriya Yoga ini dipopulerkan oleh Sri Paramahamsa Yogananda. Mengenai kléša akan dibicarakan pada sutra II.3 sampai dengan II.9.

Menurut Shrii Shrii Anandamurti, Tapa diterapkan dengan menahan kesulitan-kesulitan fisik maupun mental demi kebahagiaan orang atau makhluk lain dan melakukan pengabdian tanpa pamerih. Dikatakan juga bahwa Tapa, sebagai pengabdian tanpa pamerih sendiri, ada empat jenis ragamnya, yakni: 
• Bhuta Yajña —pengabdian untuk kepentingan alam ciptaan. 
• Pitra Yajña —pengabdian kepada nenek-moyang atau leluhur. 
• Adhyatma Yajña —pengabdian lewat jalan spiritual. 
• Nr Yajña atau Manusa Yajña —pengabdian untuk kepentingan sesama manusia. 
Jadi Yajña, persembahan suci yang tulus ikhlas ini, juga dimaknai sebagai pelaksanaan Tapa oleh guru besar pendiri Ananda Marga itu. Pandangan ini ternyata sejalan dengan wejangan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita IV.28: “Ada yang beryajña dengan harta-benda miliknya (drawya yajña), beryajña dengan Tapa (tapa yajña), beryajña dengan Yoga (yoga yajña) dan yang lainnya ada pula yang beryajña dengan Svadhyaya (svadhyaya yajña), serta dengan Jñana (jñana yajña); demikianlah mereka yang taat melaksanakan disiplin hidup kerokhanian (vrata).” Dua sutra pembukaan tadi ternyata memperoleh dukungan kuat dari Bhagavad Gita; bentuk-bentuk persembahan dalam Isvarapranidhana-pun dipaparkan, sebagai praktek langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Bhagavan Sathya Narayana, dalam “Jñana Vahini”, membedakan Tapa atas 3 hal, yakni: Tapa Mental, Tapa Fisik dan Tapa Pembicaraan. Pembagian dan penjelasannya tentang ketiga hal yang di-tapa-kan ini, amat mirip dengan konsep etika-moral Hindu, Trikaya Parisuddha, yang sudah tak asing lagi di Nusantara, terdiri dari: 
• pensucian pikiran (manacika), 
• pensucian ucapan (wacika) dan 
• pensucian perbuatan (kayika). 
Ini merupakan upaya pensucian integral terhadap tiga modus utama perbuatan. Dalam Trikaya Parisuddha secara inklusif terangkum hampir semua landasan moral-etik Yoga, Yama-Niyama. Ia juga mewakili pelaksanaan tiga dari Jalan Utama Beruas Delapan dari Buddhisme, yakni: Pikiran Benar (sammã-sankappa), Ucapan Benar (sammã-vaca) dan Perbuatan Benar (sammã-kammanta). Secara praktis, membiasakan tiga etika-moral-spiritual (abhyasa) ini mengantarkan pada vairagya dan viveka, yang akan amat diperlukan demi terjaminnya pencapaian tujuan akhir.

Kena Upanishad menyebut Tapa sebagai salah-satu tiang Brahmavidya (Pengetahuan Ketuhanan), disamping Dama (pengekangan diri) dan Karma (kegiatan dalam kebajikan). Dalam Prasna Upanishad-pun Tapa mendapat tempat istimewa dengan ditekankannya secara berulang-ulang. Swami Satya Prakas Saraswati menyebutkan toleransi, kesabaran dan latihan yang terus menerus dengan tekun sebagai tiga aspek dari Tapa, yang mematangkan seorang siswa spiritual (sadhaka). Setiap usaha untuk mencapai pengalaman duniawi maupun transenden merupakan Tapa. Hanya dalam artian yang terbatas sajalah Tapa diartikan sebagai kesederhanaan. Disebutkan pula, secara menyeluruh Tapa dilakukan bukan saja pada lima indria sensorik dan lima indria motorik, akan tetapi juga dilakukan bagi sikap mental dan daya vital (prana). Jadi, Tapa merupakan upaya pensucian menyeluruh, lahir maupun batin. Manusmrti —kitab suci Smrti yang hingga kini masih paling sering diacu dalam jenisnya—juga menyebutkannya demikian.

Di dalam Manusmrti atau Manava Dharmasastra Tapa dan Brata dipaparkan secara panjang lebar dalam banyak sloka-slokanya. Beberapa diantaranya, yang khusus menyangkut Tapa pada adhyaya XI, dikutipkan berikut ini.
 
Para Rshi mengendalikan diri beliau dengan hidup hanya dari buah-buahan, umbi-umbian dan udara, beliau mengarungi triloka bertemu dengan makhluk bergerak maupun tidak bergerak, hanya melalui kesucian Tapa. 
Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai, apapun yang sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk dilakukan, semuanya dapat dicapai dengan kesucian Tapa, karena Tapa mempunyai kekuatan untuk melintasinya. Mereka yang telah melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular, ngengat, kumbang, burung dan makhluk lainnya, berhenti bergerak dan mencapai surga hanya karena Tapa-nya. Apapun dosa-dosa yang telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya, perkataannya ataupun perbuatan-perbuatannya, semua dapat dimusnahkan dengan segera melalui Tapa-nya yang teguh, terjaga bak hartawan menjaga kekayaannya. Para Dewa-Dewa menerima setiap persembahan para Brahmana, yang telah disucikan oleh Tapa-nya, akan menerima pahala dan dikabulkan semua permintaannya. Yang Maha Kuasa, Hyang Prajapati, menciptakan lembaga suci itu melalui Tapa-Nya; demikian pula halnya dengan para Rshi, menerima wahyu Veda karena Tapa mereka. Para Dewa-Dewa melalui Tapa-nya kembali ke alam kesucian; demikianlah keutamaan dari Tapa." [MDs. XI: 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244 dan 245] 

Dalam banyak pustaka suci dan ajaran mental-spiritual Tapa berkait erat dengan Sauca, pensucian lahir-batin (yang dibicarakan nanti dalam pembahasan sutra II.40 dan II.41); dan menduduki posisi fundamental dalam praktek kehidupan spiritual. Tapa berkaitan langsung dengan kehidupan suci itu sendiri. Bahkan, para rshi di jaman dahulu menerima wahyu-wahyu melalui kehidupan suci ini.
Svadhyaya adalah upaya mempelajari kitab-kitab suci atau kitab-kitab spiritual-filosofis secara mandiri, guna memperoleh pengertian yang sejelas-jelasnya tentang hakekat yang terkandung di dalamnya. Mempertanyakan (vicara), melakukan analisa-analisa penalaran (vitarka), maupun perenungan-perenungan mendalam serta perbandingan dengan kejadian sehari-hari terhadapnya, merupakan beberapa langkah dalam pembelajaran secara mandiri yang amat bermanfaat dalam memberi pengertian serta menumbuhkan pemahaman yang baik dan kian mendalam. Yang pasti, svadhyaya hendaknya tidak hanya diartikan sebagai membaca saja, belajar dari buku-buku saja, mengingat setiap bait sloka atau sutra, bahkan setiap kata dari kitab-kitab suci atau kitab-kitab spiritual-filosofis—seperti Yoga Sutra ini misalnya—mempunyai makna yang padat dan dalam. Mereka tak dapat dipahami dengan baik, bila hanya mengartikan secara harfiah, seperti membaca koran, atau buku-buku pelajaran sekolahan saja.
Mereka yang hanya berpegang dan terpatok pada arti harfiah, dan memperlakukan kitab-kitab ajaran hanya seperti buku-buku pelajaran sekolahan, dapat dipastikan akan memperoleh pemahaman yang amat dangkal, sebatas kata-kata saja. Cara pembelajaran seperti inilah yang punya andil besar di dalam melahirkan sikap dogmatis, yang menjurus pada fanatisme. Dalam masyarakat heterogen, global dan terbuka seperti sekarang ini, sikap-sikap dogmatis dan fanatis bisa amat membahayakan masyarakat luas dan juga penganutnya. Bukti-bukti tentang fenomena ini, dapat kita lihat dengan mudah di sekeliling kita.
Dalam proses pembelajaran secara mandiri ini, ‘mengetahui’ adalah yang mula pertama diperoleh. Apa yang kita ketahui harus dimatangkan lagi sehingga kita menjadi benar-benar ‘mengerti’. Dari sinilah tumbuh pengertian-pengertian tentang apa yang diketahui tersebut. Bersama dengan berjalannya waktu, mendengar, membandingkan, bertukar-pikiran atau berdiskusi dengan mereka yang telah lebih dahulu mengetahui atau mengerti, apalagi berpengalaman, secara akumulatif akan membentuk ‘pengertian’ yang semakin baik, lengkap dan kian mendalam tentang apa yang kita pelajari. Melalui perenungan-perenungan serta pembuktian-pembuktian seperlunya, pengertian kita lambat laun meningkat menjadi ‘pemahaman’. Nah....dengan semakin halus dan mendalamnya ‘pemahaman’ kita, pengetahuanpun semakin mengembang dengan sendirinya. Yang pasti, dalam Yoga Sutra ini Patanjali telah telah menegaskan bahwa ‘pengamatan langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik’. 
Isvarapranidhana adalah penyerahan diri kepada Isvara (Tuhan), dengan menerima sepenuhnya serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya perlindungan. Bahkan disebutkan, nanti dalam sutra II.45, bahwa pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek Isvarapranidhana. Menurut Swami Satya Prakas Saraswati, ia merupakan suatu istilah spiritual-teknis khusus ciptaan Patanjali, yang tidak disebut-sebut oleh Maharshi Kapila dalam Sankhya Darsana-nya.
Bilamana ketiganya diterapkan dengan baik dan benar, walaupun ia disebut sebagai “Yoga Pendahuluan”, memberikan nilai manfaat spiritual yang tinggi kepada penekunnya. Ia menumbuhkan sikap batin yang kokoh, mantap, untuk mulai melanjutkan ke jenjang-jenjang berikutnya dengan pemahaman yang baik, dan tanpa disertai sikap-sikap dogmatis dan fanatis. Iapun mengarahkan penekun menjauh dari sikap ekstrim atau mempertontonkan ke-ekstrim-an pada khalayak.
Dalam Jñana Vahini, Bhagavan Sathya Narayana bahkan menyatakan bahwa melalui Tapa (dalam arti luas) saja, seseorang dapat mencapai tingkat yang tertinggi. Bukan main memang kekuatan yang dapat dihasilkan Yoga guna mencapai realisasi Diri-Jati dan Kebebasan.
Dipublikasikan di majalah Media Hindu No. 15 — Edisi Mei 2005.

 
HAMBATAN UTAMA DAN KIAT MEMUSNAHKANNYA.

Hambatan Utama Pendakian
 
Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya), egoisme (asmita), kelekatan atau kecintaan ragawi (raga), kebencian (dvesa), dan kecintaan yang amat sangat pada kehidupan sehingga amat takut mati (abhinivesa) adalah lima kekotoran batin penghambat (panca kléša). 
Avidya merupakan ‘bidang gerak’ bagi yang lainnya; apakah mereka terpendam, kemudian menghilang, teratasi, ataupun malah lebih meluas. 
Terhubung dengan yang tak-kekal, tak-murni, yang bukan-jiwa, yang dalam kondisi menyedihkan, yang kekal, murni, kesadaran dari jiwa —yang sebetulnya berbahagia—juga jadi terselimuti oleh avidya. 
Ada dalam liputan kabut asmita, Sang Subjek tampak teridentifikasikan dengan kekuatan penglihatan. 
Terbenam di dalam kenikmatan dunia dan ragawi adalah kemelekatan atau kecintaan (raga); 
(Sebaliknya) tersusupi oleh penderitaan sehingga menimbulkan sikap penolakan adalah dvesa. 
Seakan-akan mengalir dengan sendirinya demikian, bahkan seorang bijak-pun masih bisa mencintai hidupnya ini dan takut pada kematian (abhinivesa). 
[YS II.3 - II.9] 

Disebutkan bahwa avidya adalah cikal-bakal Samsara. Yang satu ini memang amat patut untuk ditakuti oleh seorang penekun jalan spiritual, yang mendambakan kebebasan. Berpangkal pada avidya inilah bermunculan kléša-kléša yang lainnya, yang pada gilirannya menjadi sumber dari segala sumber penderitaan; persis seperti disebutkan bahwa, Avidya merupakan ‘bidang gerak’ bagi yang lainnya, apakah mereka terpendam, menghilang, teratasi, ataupun malah lebih meluas.
Sebaliknya, terhapusnya avidya oleh vidya, berarti meniadakan 'bidang gerak' dari kléša-kléša yang lainnya, sehingga merekapun tiada menemukan pijakan dalam batin kita. Dalam konteks ini, vidya dikelompokkan dalam dua kelompok besarkan yakni Paravidya (pengetahuan duniawi atau yang umum sifatnya) dan Aparavidya atau Brahmavidya (pengetahuan spiritual-filosofis, kebenaran atau ketuhanan). Penguasaan Paravidya menunjang pencapaian Brahmavidya, bila diarahkan dengan baik. Ia juga mengkondisikan dan menunjukkan bukti-bukti konkret, yang mudah dicerap dan dimengerti, atas nilai-nilai luhur dan kebenaran yang terkandung didalam Brahmavidya. Oleh karenanyalah, Brahmavidya dapat pula disebut Dharmavidya.
Bukan saja sebagai penunjang dan pengkondisi, Paravidya juga merupakan bekal hidup pada kehidupan ini. Ia memberi kemudahan-kemudahan dalam menjalani hidup. Apa yang kita sebut sebagai sains dan teknologi adalah Paravidya itu adanya. Bukankah penguasaannya memberi kemudahan-kemudahan dan kenyamanan fisik dan psikis bagi manusia? Akan tetapi, terhenti dan mandek hanya sampai disana, bukan saja perlu disayangkan namun bisa berbahaya bagi penguasanya. Peningkatan penguasaan Paravidya, mutlak perlu di-imbangi dengan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meraih Brahmavidya. Ini sejalan dengan lontaran Albert Einstein, yang terkenal: “Pengetahuan tanpa agama adalah pincang. Sedang agama tanpa pengetahuan adalah buta.” ini. Dengan penuh keyakinan ia juga mengemukakan pandangannya: “Setiap orang yang terlibat secara serius di dalam pencarian pengetahuan, menjadi yakin bahwasanya, ada suatu jiwa termanifestasikan pada hukum semesta raya —jiwa yang secara luas superior terhadap jiwa-jiwa manusia, dan sesuatu dimana di hadapan-Nya, kita beserta kekuatan mutahir kita terasa sedemikian lemahnya."
Avidya melahirkan ke-aku-an semu (asmita); hadirnya asmita melahirkan suka-tidak-suka (raga-dvesa); segala penilaian yang berdasarkan atas raga-dvesa, semakin mempertebal kabut avidya dan memperkuat asmita. Dengan semakin kuatnya asmita, mempertebal kepemilikan atas segala sesuatu, termasuk hidup atau kelahiran ini. “Kekayaan-ku, keluarga-ku, anak-ku, istri-ku, suami-ku, tubuh-ku, diri-ku, hidup-ku....dll.”, demikianlah ungkapan mereka yang tebal dan kuat asmita-nya. Dengan demikian abhinivesa berkembang dengan subur.
Namun jangan keliru, mengikis abhinivesa bukan berarti membahayakan atau menyiksa diri, atau sebaliknya menyia-nyiakan kelahiran dalam jasad manusia ini dengan cara memanjakannya. Kitab Sarasamuschaya menegaskan bahwa, hendaknya kelahiran dalam jasad manusia, yang sangat berharga ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dimanfaatkan untuk memupuk kebajikan dan mencapai kebebasan. Bagaimana itu bisa dilakukan? Dalam sutra-sutra berikut akan kita temukan penjelasannya.
Kiat Memusnahkan Hambatan-hambatan.
 
Semua itu dapat diatasi lewat perambatan yang berlawanan (pratiprasava) menuju penghalusannya (suksmah). 
Meditasi (dhyana) mengatasi pengaruh pusaran atau modifikasi (vritti)-nya. 
Panca kléša menyebabkan pola-pola perbuatan yang menyebabkan derita dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya. 
Selama akar-akarnya semula masih ada, mereka mematangkan tumimbal-lahir ke dalam golongan, kehidupan dan pengalaman makhluk hidup. 
Mereka menyajikan pahala berupa ‘kebahagiaan’ atau penderitaan, yang disebabkan oleh kebajikan atau kejahatan. 
[YS II.10 - II.14] 

Yang menarik untuk dicermati lebih jauh adalah apa yang disebut dengan istilah ‘pratiprasava’ atau mengatasi suatu kecenderungan melalui perambatan atau menghadirkan serta membiasakan yang berlawanan dengannya. Ini dapat disebut sebagai suatu ‘metode tandingan’, metode untuk memusnahkan yang buruk dengan menandinginya dengan yang baik, atau sejenis itu. Prinsip atau esensi serupa diulang lagi nanti pada sutra II.33 oleh Patanjali dengan menyebutnya sebagai: Pratipaksa Bhavana. Inilah metode praktis dalam yogasadhana yang diajukannya.
Bila panca kléša juga menghadirkan ‘kebahagiaan’ —seperti yang disebutkan dalam sutra II.14.—mengapa mesti dihapus? Pertanyaan seperti itu bisa saja muncul dalam benak kita bukan? Sesungguhnya, dalam sutra sebelumnya, secara implisit, pertanyaan ini telah dijawab. Tujuan utama kita adalah terbebas dari lingkaran tumimbal-lahir yang tiada berkesudahan, yang tiada lain dari rangkaian kesengsaraan dan penderitaan. Samsara, sesungguhnya juga terbaca Sangsara; seperti juga Ahamkara dibaca Ahangkara, dan yang lainnya.
Kebahagiaan yang disebutkan tadi, yang merupakan pahala dari kebajikan adalah kebahagiaan temporer dan semu, yang diperoleh dalam kehidupan berjasad (kasar maupun halus) berupa kenikmatan-kenikmatan pemenuhan nafsu dan keinginan-keinginan yang tak terhitung banyaknya itu; bukan kebahagiaan sejati, anandam.
Bagi seorang pertapa yang telah menghacurkan kesan-kesan pengalamannya (samskara) dan mengembangkan daya memilih dan memilah-milah (viveka) memahami bahwa berbagai derita (dukha) yang disebabkan oleh perubahan-perubahan (vritti) bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang berlawanan (rwabhinneda, seperti: senang-susah, untung-rugi, sehat-sakit dsb.) 
dan pengaruh tiga sifat (sattva, rajas dan tamas) adalah derita adanya. 
Dukha yang belum muncul (anãgata), dapat dihindari. 
Penghindaran dimungkinkan melalui peniadaan sebabnya; 
sebabnya adalah ‘si pengamat’ (drastr) mengidentifikasikan-diri sebagai ‘yang diamati’ (drsyayoh). 
[YS II.15 - II.17] 

Dalam dua sutra terakhir dengan gamblang disebutkan bahwa, sebab dari dukha adalah adanya kecenderungan manusia untuk mengidentifikasikan-diri sebagai ‘yang diamati’ (drsyayoh). Kecenderungan inilah yang menimbulkan hasrat untuk memiliki atau ‘ingin menjadi’. Inilah yang menggerakkan atau menjadi motivasi utama manusia untuk berbuat dan berbuat atau menghindari perbuatan tertentu. Hampir semua aktivitasnya bersandar pada motivasi ini. Semakin sempit lingkup manfaat aktivitasnya, semakin menguatlah asmita-nya. 
Namun secara keseluruhan, secara lebih luas lagi, paparan dalam kedua sutra itu menunjukkan satu prinsip dasar yakni ‘meniadakan akibat dengan cara meniadakan sebab yang mendahuluinya.’ Inilah sesungguhnya pengejawantahan dari Hukum Kausalitas Universal yang mendasari semua kejadian dan ciptaan. Paradigma ini akan lebih diperjelas lagi dalam sutra-sutra berikut.
Dipublikasikan di majalah Media Hindu No.16—Edisi Juni 2005.
 
MUSNAHNYA IDENTITAS-DIRI DALAM PENCERAHAN.

BUKAN PENCERAHAN KOLEKTIF. 

Kejelasan bahwasanya kegiatan (kriya), dan pemeliharaan kelangsungannya (sthiti) di dalam kegiatan mengamati, hanya merupakan kehebatan dari bekerjanya elemen-elemen dasar (bhuta) dan sensasi-sensasi indriawi, yang terbentuk dari sari-sari makanan (bhoga); makanya, pengalaman yang diperoleh dari pengamatan itu hendaknyalah ditujukan hanya demi meraih Kebebasan. 
Baik yang universal maupun tidak universal, yang pasti maupun yang tak-pasti, hanyalah tahapan-tahapan spesifik dari bekerjanya tiga sifat-dasar, triguna (sattvam, rajas dan tamas). 
Si pengamat sesungguhnya hanyalah matra persepsi murni (drsimatrah suddho); walaupun demikian, pengamatan berlangsung melalui campur-tangan citra mental. 
Padahal semua itu hanya dimaksudkan untuk pencarian Sang Diri-Jati lewat mengamati semesta (drsyasãtma). 
Walaupun semua itu musnah bagi Sang Yogi yang telah tercerahi, namun belum bagi kebanyakan orang. 
[YS II.18 - II.22] 

Ditegaskan kembali disini bahwasanya setiap kegiatan yang dilakukan manusia melalui segenap indria-indrianya hendaknya ditujukan bagi tercapainya Kebebasan itu sendiri—tentunya termasuk kebebasan dari kungkungan indria-indria itu sendiri. Terlebih lagi kalau telah disadari bahwa semua itu hanya kerja dari sintesa lima elemen-elemen dasar (mahabhuta) pembentuknya yang kita peroleh dari sari-sari makanan dan minuman yang dikonsumsi, yang punya tiga sifat-dasar—aktif, pasif dan netral.
Si pengamat sendiri bukan semua itu. Ia bukan pelaku. Ia matra persepsi murni yang tiada tercemar. Sayangnya, di dalam melangsungkan pengamatan campur-tangan beraneka citra mental atau kesan-kesan batin—yang terbentuk pada pengalaman-pengalaman sebelumnya—menodai kemurnian persepsinya.
Terbitnya serta semakin dimatangkannya viveka merupakan pencerahan buddhi, yang hanya dipengaruhi guna sattvam. Pencerahan ini merupakan ‘pencerahan awal’, sebagai pijakan yang semakin berkembang lewat penguasaan jñana menuju semakin bersinarnya kebijaksanaan (prajña). Semua ini mesti diperjuangkan secara mandiri, bukan secara kolektif atau massal. Pencerahan yang dihasilkannyapun langsung dirasakan hanya oleh Sang Yogi sendiri. Oleh karenanya pula disebutkan bahwa, ‘walaupun semua itu musnah bagi Sang Yogi yang telah tercerahi, namun belum bagi kebanyakan orang’.
Tidak seperti Bhakti dan Karma Yoga yang memang dirancang sebagai praktek kolektif atau massal, Raja Yoga jelas merupakan praktek pribadi yang mandiri. Pada tahap-tahap awal saja sang sadhaka masih punya ketergantungan besar kepada Guru-nya ataupun saudara seperguruannya; selanjutnya, secara berangsur-angsur mau-tak-mau ia mesti semakin mandiri, hingga akhirnya sepenuhnya mandiri. Hanya sesudahnyalah beliau benar-benar mampu dan berkompeten memberikan petunjuk dan bimbingan bagi awam di jalan kecerahan dan kebebasan ini.
IDENTIFIKASI-DIRI DAN KEMUSNAHAN IDENTITAS-DIRI SEMU 

Penyamaan (samyoga) antara orang yang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual dengan kekuatan-kekuatan spiritual (sakti) yang dicapainya itu sendiri, melahirkan ‘identitas-diri semu’ (swarupopalabdhi). 
Femomena itu disebabkan oleh Avidya. 
Sebaliknya, dengan tidak hadirnya penyamaan itu, musnah pulalah ‘identitas-diri semu’ ini; inilah yang menghadirkan Kebebasan (kaivalyam) bagi si pengamat (drseh). 
[YS II.23 - II.25] 

Samyoga disini adalah identifikasi-diri terhadap berbagai hal atau segala sesuatu. Di permukaan ia berupa sikap ‘mengakui’, yang juga butuh ‘pengakuan’ pihak luar. Bila identifikasi ini tertuju pada pencapaian-pencapain dalam Yoga, nyaris pasti menimbulkan keangkuhan, atau setidaknya rasa bangga-diri. Akibatnya, ke-aku-an (asmita) dibuatnya kian menjadi-jadi. 
Identifikasi-diri seperti ini telah menjadi kebiasaan mental kita. Di kalangan pejalan spiritual, bentuk halusnya adalah idenfikasi-diri pada Guru-nya. Fenomena ini didorong oleh rasa ‘ingin menjadi’. Ia ingin menjadi ‘seperti’ Guru-nya. Walaupun ini teramat sangat halus —dan oleh karenanya seringkali diwajarkan — hadirnya viveka memungkinkan sang penekun menyadarinya. Bila belenggu halus dan kuat ini telat disadari, ia menjadi semakin halus dan semakin kuat daya-ikatnya. Ia akan amat sulit dikendorkan, apalagi dilepas. Akibatnya, kebebasan yang dicita-citakanpun tak kunjung datang. Ini sangat patut diwaspadai oleh setiap sadhaka.

Dipublikasikan dalam majalah Media Hindu edisi 17 — Juli 2005.
 
DELAPAN LANGKAH PENDAKIAN DAN TUJUH LANGKAH PENYATUAN 

Viveka, kecerdasan spiritual yang murni, yang tidak terkontaminasi (awiplawa), memusnahkan penderitaan. 
Ini berkembang bersamaan dengan dicapainya tujuh langkah penyatuan (saptadha) yang bijaksana (prajña).
Melalui pelatihan langkah-langkah penyatuan (yogãngãnustãna) ini, ketidak-murnian (asuddhi) dihancurkan oleh cahaya pengetahuan-sejati (jñana) hingga viveka tercapai. 
Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan Samãdhi —secara keseluruhan— adalah kedelapan langkah itu. 
[YS II.26 - II.29] 

Sutra II.26 sampai dengan II.28 pada pokoknya memaparkan tentang viveka, jñana dan prajña —yang terdiri dari tujuh langkah— dalam ‘satu alur pencapaian’. Viveka diposisikan sedemikian tingginya oleh Patanjali disini. Ia diposisikan sebagai kecerdasan-spiritual yang murni, yang tidak terkontaminasi sehingga dapat memusnahkan penderitaan. Terhancurkannya ketidak-murnian oleh cahaya pengetahuan-sejati, disebut sebagai prakondisi bagi pencapaian viveka. 
Disini, secara implisit, disebutkan bahwa jñana bercahaya dan mempunyai kekuatan penghancur, bilamana citta telah dimurnikan. Sementara, tujuh langkah penyatuan —yang disebut juga tujuh langkah penyatuan yang bijaksana—menghadirkan kondisi yang memungkinkan bercahayanya jñana. Inilah yang merupakan penghancur asuddhi —untuk mencapai citta-suddhi—untuk selanjutnya menyempurnakan viveka dalam batin sang sadhaka.
Dalam banyak teks spiritual-filosofis, viveka juga seringkali dikaitkan dengan pengetahuan sejati (jñana) dan kebijaksanaan (prajña). Bahkan seringkali pula viveka langsung dipersamakan dengan kebijaksanaan. Ia juga seringkali disebut-sebut sebagai kemampuan untuk membedakan —antara yang baik dengan yang tidak baik, yang patut dengan yang tidak patut—atau kemampuan diskriminatif sejenis. Viveka, dalam konteks ini, diartikan sebagai kemampuan memilih dan memilah antara yang sebenarnya atau sejati dengan yang bukan-sebenarnya, bersifat khayal, semu atau palsu. Viveka dibentuk oleh pikiran (manas) sebagai bahan dasarnya, dimana kecerdasan atau buddhi merupakan transformasi dari manas yang terjernihkan dari rajas dan tamas. Oleh karenanyalah, buddhi juga disebut-sebut sebagai kecerdasan kosmis, yang jernih dan bercahaya karena ia hanya dipengaruhi oleh sattvam —sifat-sifat luhur kedewataan. Ia-lah yang akan menandingi asmita atau ahamkara.
Terkait dengan manas dan viveka, Yajurveda XXXIV. 1 - 6 memaparkan fungsi-fungsi manas sebagai berikut: 
• Jyotirmanas atau Daivamanas; menerangi alat-alat persepsi dalam keadaan jaga, dan muncul kembali selama bermimpi (svapna). 
• Manusinahmanas atau Yaksamanas; menjadikan manusia makhluk yang berakal-budi, sehingga dapat membedakan yang benar dan yang salah. 
• Prajñanam-manas; wadah dimana tersimpan kearifan dan kebijaksanaan. 
• Cetasmanas; bertugas mengumpulkan pengalaman-pengalaman sebagai ingatan, mencatat, menyimpan, menimbulkan kembali dan menghubungkan kembali sesuai konteksnya. 
• Dhrtimanas; yang mengekspresikan ketabahan atau kemantapan; menunjang dan mengembangkan gagasan-gagasan, dimana tiada sesuatu yang dapat diselesaikan tanpa seijin aktivitas mental ini. 
• Trikala parigrhtr manas; merupakan pengintegrasi masa lampau dan masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan; ia membawa ruang dan waktu dalam satu jangkauan. 
• Sapta hotr vistaraka manas; yang berdiri di antara tujuh hakekat, yakni panca prana di satu sisi, Jivatman dan Prakriti di pihak lainnya. Ia memimpin panca prana, menghubungkan dunia lahiriah dan dunia batiniah. 
• Hrt pratistha javistha manas; berkedudukan dalam hati dan senantiasa muda, bertugas mengawasi indriya-indriya. 
Pertanyaannya kini adalah, apakah atau bagaimanakah pelaksanaan pelatihan ‘Tujuh Langkah Penyatuan yang bijaksana’ dimaksud?
Pertanyaan ini terasa menggelitik dan mengundang keingintahuan penekun bersemangat tinggi manapun pada jalan kebebasan ini. Namun, tampaknya Patanjali tidak memerinci lagi langkah-langkah tersebut, mungkin secara inklusif telah terkandung dalam kedelapan tahapan Yoga—yang akan dipaparkannya lebih lanjut dalam Yoga Sutra ini—seperti yang disebutkan pada sutra II.29 berikutnya. Atau malah telah disinggung-singgung sebelumnya, namun luput dari perhatian kita.
Dalam sebuah terjemahan dan ulasan Yoga Sutra Patanjali, yang dikerjakan oleh Mani-Lana-Boehédwi-Weni (besar kemungkinan mereka terdiri dari empat sekawan penekun) ditemukan penjelasan tentang itu. Menurut mereka, ketujuh-langkah tersebut adalah: 
• Segala sesuatu yang bisa diketahui telah diketahui, jadi tak ada lagi yang harus diketahui. 
• Segala tali pengikat, bagaimanapun sifatnya, telah teruraikan. 
• Karena telah mencapai Kaivalya, sudah tercapailah semua, tidak ada lagi yang harus dicapai. 
• Segala kewajiban sang yogipun telah terselesaikan. 
Nah...ke-empat langkah ini disebut masih menggunakan ‘pengikat’. Sedangkan tiga langkah berikutnya, ‘tanpa-pengikat’, yakni: 
• Pikiran telah sentosa. 
• Semua guna (sattva, rajas dan tamas) telah jatuh, bagai jatuhnya batu dari puncak gunung; jadi mereka tidak akan muncul ke permukaan lagi. 
• Setelah terlepas dari triguna, Jivatman berdiri tegak atas dirinya sendiri, merdeka selamanya. 
Ketujuh langkah tersebut ternyata juga merupakan deklarasi Kebebasan atau Kemahardikan seorang Yogi yang telah mencapai kesempurnaan, dan telah dipaparkan oleh banyak Guru-guru suci. Itulah deklarasi Sang Jivanmukti. Jadi, Patanjali sebetulnya telah memberikan paparan tersamar sebelumnya; sebelum dipaparkannya delapan tahap yoga pada sutra-sutra berikutnya. Beliau seolah-olah berkata: “Bila kamu mengikuti jalan ini, maka tujuh langkah kebijaksanaan akan kamu lalui. Itulah rambu-rambu bagimu sebagai tanda bahwa kamu telah mengikutinya dengan baik, wahai para sadhaka sejati.”
Bersumberkan “Yoga Vasishtha”, Sri Swami Sivananda juga menyebut adanya tujuh langkah pendakian dari seorang Jñani. Mereka—yang disebut dengan Sapta Jñana Bhumika itu—adalah:
1. Yang pertama adalah, Jñana haruslah berkembang melalui suatu pembelajaran yang mendalam terhadap Sastra-sastra Atma-jñana, pustaka-pustaka suci prihal pengetahuan luhur tentang Sang Diri-Jati, dan guyub dengan para orang-orang suci nan bijak (satsanga) serta melaksanakan kebajikan yang tanpa disertai pamerih. Inilah yang disebut dengan Subheccha atau hasrat bajik, yang merupakan Bhumika pertama. Ini akan mengairi batin dengan air pemilah-milah dan sekaligus menjaganya. Tidak akan ada lagi ketertarikan atau kegemaran terhadap objek-objek sensual pada tahapan ini. Tahapan ini merupakan substratum dari tahapan-tahapan berikutnya. 
2. Daripadanyalah kedua tahapan berikutnya —yakni Vicharana dan Tanumanasi— akan dicapai. Atma Vichara (perenungan berlanjut terhadap keberadaan Sang Atman) secara konstan, membentuk tahapan kedua ini. 
3. Tahapan ketiga adalah Tanumanasi. Tahapan ini dicapai melalui penyemaian sikap tiada membedakan objek-objek yang khusus sifatnya. Pikiran menjadi sedemikian tipisnya, layaknya seutas benang; tanu berarti benang; jadi ini merupakan kondisi batin dimana pikiran menjadi setipis benang. Makanya, tahapan ini disebut Tanumanasi. Langkah ketiga ini juga disebut Asanga Bhavana. Dalam tahap ketiga ini, sang penekun bebas dari segala bentuk kegemaran. Bila seorang penekun mati dalam tahap ini, ia akan mencapai dan tinggal di sorga untuk jangka waktu lama, sebelum ber-reinkarnasi di alam manusia ini sebagai seorang Jñani. 
Nah....ketiga tahap tadi bisa dimasukkan ke dalam status Jagrat, status Jaga. 
4. Tahapan keempat adalah Sattvapatti. Tahapan ini menghancurkan semua vasana-vasana hingga ke akar-akarnya. Ini bisa dimasukkan ke dalam status Svapana, status Mimpi. Bagi yogi-yogi yang mencapai status ini, dunia bagaikan mimpi saja adanya. Mereka melihat semua hal di alam semesta sebagai setara. 
5. Tahapan kelima adalah Asamsakti. Disini ada ketidak-melekatan sempurna terhadap objek-objek duniawi. Tidak ada Upadhi atau status jaga dan tidur disini. Inilah status Jivanmukti—pada mana seorang yogi mengalami Kebahagiaan Abadi Ilahi (Ananda Svaroopa) yang disertai dengan Jñana yang tanpa noda. Tahapan ini bisa digolongkan ke dalam Sushupti, status Tidur-lelap tanpa mimpi. 
6. Tahapan keenam adalah Padartha Bhavana. Disini sepenuhnya ada Pengetahuan Sejati (Brahma-jñana). 
7. Tahapan ketujuh adalah Turiya, atau status Kesadaran Supra. Inilah Moksha itu adanya. Ini juga dikenal dengan sebutan status Turiyatita. Disini tidak ada lagi bentuk-bentuk Sankalpa, bentuk-bentuk pemikiran akibat terjadinya pusaran kesadaran. Ketiga sifat-sifat dasar (guna), musnah disini. Tahapan ini melampaui jangkauan pikiran dan kata-kata. Kebebasan tanpa jasad (videhamukti) dicapai pada tahapan ini. Tetap tinggal di dalam kehadiran Sang Atma, tanpa keinginan, dan dengan pandangan setara bagi semuanya, sepenuhnya telah mengikis habis komplikasi-komplikasi atau pembeda-bedaan antara ‘Aku’ maupun ‘Dia’, eksistensi ataupun non-eksistensi, adalah Turiya. 
Sutra memang merupakan aphorisma pendek yang padat makna; oleh karenanyalah, untuk memahaminya dengan baik, perlu terjemahan dan ulasan (bhasya) seorang Guru yang benar-benar handal dan terpercaya.
Kias ‘tujuh-langkah’ dan deklarasi kebebasan dari lingkaran Samsara, juga dapat kita temukan dalam Sutra Pitaka, yang menggambarkan kelahiran Pangeran Siddhartha, yang nantinya dikenal sebagai Buddha Gotama —yang telah tercerahi dengan sempurna. 
Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan ‘tujuh-langkah’ di atas ‘tujuh kuntum teratai’ ke arah Uttara. 
Setelah berjalan ‘tujuh-langkah’ bayi itu mengucapkan kata-kata: 
“Akulah Pemimpin di dunia ini, 
Akulah Tertua di dunia ini, 
Akulah Teragung di dunia ini, 
inilah kelahiran-Ku yang terakhir, 
tak akan ada tumimbal-lahir lagi.” 

Teratai (padma) seringkali dipakai sebagai simbol kebijaksanaan (prajña) dalam ikonografi Hindu maupun Buddha. Para Buddha dan Boddhisattva umumnya digambarkan sebagai duduk atau berdiri di atas padma atau sekedar memegang sekuntum teratai; demikian pula para dewa tertentu dalam ajaran Hindu. Dan ‘senjata’ Hyang Siva adalah ‘Padma Anglayang’. Ketujuh Chakra, dalam Kundalini Yoga, juga seringkali disebut padma. Lagi-lagi kita menemukan kias ‘tujuh padma’ dalam Laya Yoga. Siva-pun dianggap berstana di Sahasrara Chakra—padma dengan seribu kelopak.
Sesungguhnyalah, apa yang dipaparkan dalam Yoga Sutra ini, mengarahkan seorang yogi pada tujuh-langkah bijaksana, yang juga merupakan rambu-rambu pendakian spiritual-filosofis ini.
 Jadi, dalam tiga sutra tadi tampak jelas keterkaitan yang tidak terpisahkan antara citta suddhi — jñana — viveka — prajña. Citta suddhi sendiri dimungkinkan bilamana manas telah dibebaskan dari pusaran atau modifikasinya. Dan citta vritti nirodha inilah yang menjadi kunci dari ajaran pembebasan Patanjali. Bagaimana langkah-langkah praktisnya dalam sadhana? Itulah yang disebutkan oleh Patanjali dengan delapan tahapan, yakni: Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan Samãdhi.
 
DISIPLIN MORAL DAN JURUS AMPUH MENGATASI INSTING-INSTING DESTRUKTIF 

Sepuluh Disiplin Moral Sang Yogi 
Yama terdiri dari Ahimsa, Satya, Asteya, Brahmacarya, dan Aparigraha; 
semuanya merupakan ‘sumpah-sumpah universal yang agung’. 
Sementara itu, Sauca, Santosa, Tapa, Svadhyaya, Isvara pranidhana adalah Niyama. 
[YS II.30 - II.32] 

Dalam sutra II.30 sampai II.32 belum dipaparkan makna praktis daripada Yama dan Niyama ini, kecuali menyebutkan Yama sebagai ‘sumpah-sumpah (samaya) universal (sarvabhuma) yang agung’, oleh karena tidak dibatasi oleh golongan kelahiran (jati), ruang dimana mereka lahir dan hidup (desa) dan penjamanan (kala) serta merupakan mahavrata—praktek brata yang agung. Paparan dari Yama disampaikan kemudian pada sutra II.35 sampai dengan II.39, dilanjutkan dengan paparan Niyama pada sutra II.40 sampai dengan II.45.
Paparan dalam sutra-sutra ini, disampaikan justru sesudah pemaparan tentang viveka, tujuh langkah penyatuan yang merupakan kemampuan dasar dan rambu-rambu. Jelas ini bukan suatu kebetulan atau sekedar sebagai penunjang sistematika saja, mengingat Yama-Niyama merupakan pondasi dari Yoga itu sendiri. Kokoh dan tegaknya mercusuar Yoga dimungkinkan oleh kokohnya pondasi Yama-Niyama; demikian pula sebaliknya, melalui tahapan-tahapan pencapaian dalam Yoga, Yama-Niyama semakin diperkokoh. Demi kokohnya, ia mesti senantiasa diterapkan berdasarkan viveka, bukan atas dasar emosi atau rasa sentimental saja. Justru emosi dan rasa sentimental inilah yang memancing kemunculan dan menjadi tunggangan insting-insting destruktif dan ikut andil dalam mengotori citta, yang hendak dimurnikan kembali.
Pratipaksa Bhavana — Jurus Ampuh mengatasi Insting-insting Destruktif. 

Guna mengatasi insting-insting yang destruktif sifatnya (vitarka), hadirkanlah sifat-sifat yang berlawanan dengannya (pratipaksa bhavana). 
Insting-insting destruktif merupakan pemikiran-pemikiran yang berdaya rusak tinggi (himsãdayah), apakah ia diperbuat, disebabkan oleh atau disetujui, maupun dimotivasi oleh keserakahan (lobha), kemurkaan (krodha), ataupun kebingungan karena mabuk (moha), apakah yang kwalitasnya halus (mrdu), menengah (madhya), ataupun intens (adhi), semua mengakibatkan penderitaan dan semakin tebal dan berkepanjangannya kabut kebodohan.
Oleh karenanya, kembangkanlah sifat-sifat yang berlawanan (pratipaksa bhavana) ini. 
[YS II.33 dan II.34] 

Dalam dua sloka ini amat ditekankan pratipaksa bhavana—metode mengembangkan sifat-sifat atau kecenderungan yang berlawanan dengan insting-insting distruktif kita. Metode ini dikembangkan atas fakta bahwa ‘pikiran hanya dapat memegang satu objek saja, pada suatu saat yang sama’. Bentuk-bentuk pemikiran destrutif tidak punya kesempatan untuk mengisi pikiran, bilamana pikiran telah terisi oleh pemikiran-pemikiran konstruktif, yang menunjang pengembangan dan pemurniaan batin (citta-suddhi). 
Agar secara instingtif tidak muncul pemikiran-pemikiran yang bersifat himsa misalnya, maka hadirkan selalu yang berlawanan, yaitu ahimsa. Demikianlah kurang lebih prinsip yang dianut oleh pratipaksa bhavana ini. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari, apakah ini memungkinkan? Umumnya tidak. Insting-insting destruktif—seperti lobha, krodha atau dvesa dan moha—pada kebanyakan orang umumnya terlanjur telah mengakar kuat, karena dibawa sejak beberapa kelahirannya yang lampau.
Keserakahan (lobha) akan segera mengikuti bila sebentuk keinginan atau kegandrungan terpenuhi. Terpenuhinya satu keinginan atau kegandrungan, langsung lebih menguatkannya. Dan ini membangkitkan dorongan untuk terus-menerus memenuhinya lagi. Disinilah keserakahan menemukan pijakan kokoh dan lahan suburnya. Bagai benih yang disiram dan diberi ‘pupuk kenikmatan’ secukupnya, iapun tumbuh kian subur. Dalam proses itu, kemelekatan, kegandrungan dan kecenderungan untuk selalu memenuhinya, terbentuk dan menguat secara alami.
Bila itu telah terjadi, maka siapapun yang mengusik, apalagi menyerobot untuk ikut menikmatinya, membangkitkan ketidak-berkenanan, persaingan, kebencian (dvesa) hingga kemurkaan (krodha). Dalam bentuknya yang lebih halus, muncul kecemburuan, iri-dengki. Sesuai dengan dua sifat alami manusia—guna rajas dan tamas—ini bagaikan tak terhindari. Rangkaian proses di dalam inilah tanpa disadari, secara akumulatif, telah semakin mempertebal kabut kemabukan dan kebodohan, moha. Tentu, dalam kondisi batin demikian, seseorang tak akan segan-segan melakukan himsa-karma. Ia yang telah terjebak dalam siklus iterasi yang terakumulasi ini, akan semakin jauh dari kesadaran, apalagi pengetahuan luhur (jñana). Oleh karenanya, dukha-ajñana-ananta merupakan konsekuensi atau pahalanya yang paling logis.
Dari pengamatan yang jernih terhadap fenomena-fenomena empiris ini, serta mengingat sebagian besar manusia cenderung masih membawa insting-insting destruktif karena kuatnya pengaruh triguna, maka Yama dan Niyama diketengahkan disini dengan penekanan yang kuat. ‘Jauh lebih baik menghindari ketimbang mengobati’. Mungkin atas dasar pola pikir seperti ini pula dua sloka ini diposisikan sebagai penyela, menyusul paparan rinci dari Yama-Niyama.
Atas pola pikir yang sama, maka amat dianjurkan untuk mengisi terlebih dahulu pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan batin, sehingga pemikiran-pemikiran destruktif tidak memperoleh kesempatan untuk menyusup. Pikiran yang terisi pemikiran-pemikiran konstruktif akan membentuk bentengnya sendiri secara alami. Bilamana ini dikuatkan, secara akumulatif, melalui pengulangan-pengulangan secara berkesinambungan, maka sattvam berkembang dengan subur, mendesak, hingga mendominasi rajas dan tamas. Nah...kondisi batin yang jernih inilah yang dapat diharapkan memberi dorongan kuat pada seorang penekun jalan spiritual di dalam meraih keberhasilannya.

 
MAHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (1)

Dengan hadirnya kemantapan Ahimsa, rasa permusuhan tidak punya tempat berpijak (vairatyaga). 
Dengan hadirnya kemantapan Satya, ketulusan di dalam menyerahkan kerja dan hasilnya dimungkinkan (phalasrayatvam). 
Dengan hadirnya kemantapan Asteya, semua ‘kekayaan’ mendekat dengan sendirinya bagi Sang Yogi. 
Dengan hadirnya kemantapan Brahmacarya, semangat spiritual yang kuat (virya) diperoleh. 
Dengan hadirnya kemantapan Aparigraha, muncullah pemahaman yang baik tentang proses kelahiran manusia (janma kathamta). 
[YS II.35 - II.39] 

Hasil-hasil nyata berupa perkembangan sikap batin lewat pelaksanaan kelima sumpah batin yang diterapkan berupa disiplin mental atau moral-etik dipaparkan dalam kelima sutra ini. Ini semestinya lebih menyadarkan kita kalau Asana disini bukan semata-mata sebagai olah-tubuh ataupun sikap-sikap tubuh tertentu saja, seperti yang umumnya kita pahami sebelumnya. Ini akan kita bicarakan lebih lanjut pada ulasan terhadap sutra II.46 - II.48.

Di Indonesia, ia lebih dikenal dengan sebutan Panca Yama Brata, atau ada pula yang memberinya sebutan Panca Sila, yang bersama dengan Panca Niyama Brata membentuk Dasasila. Tidak membunuh atau menyiksa makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berjinah atau melakukan perbuatan asusila, tidak berbohong atau berkata-kata tidak jujur, dan tidak mabuk-mabukan atau menghindari yang memabukkan merupakan lima ajaran moral-etik buddhis, yang juga disebut Panca Sila.

Ajaran moral-etik adalah ajaran praktis, yang harus diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Mereka jelas bukan sekedar untuk dihafal. Seperti yang disebutkan dalam sutra II.30 dan II.31, Yama mesti diposisikan sebagai mahavrata —sumpah universal yang agung.

Ahimsa dipraktekkan dengan tiada menyakiti baik lewat pemikiran, ucapan, maupun tindakan fisik. Banyak yang memandang Gandhi sebagai ‘Nabi Ahimsa’, mengingat perjuangan kemerdekaannya yang tanpa kekerasan fisik. Bahkan sebutan Mahatma —‘manusia yang berjiwa besar’— diberikan oleh Rabindranath Tagore, pemenang nobel sastra dan penggubah “Gitanjali” yang termasyur itu, kepadanya.

Ahimsa bukan saja merupakan pengkondisi ketentraman hati dari setiap pelakunya, namun ia secara aktif ikut menjaga kedamaian dunia. Pertanyaannya kini adalah: Bagaimana melatih Ahimsa atau penerapan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari? 

Berikut ini saya sertakan petunjuk-petunjuk dari Sri Swami Sivananda. 
Manakala pemikiran untuk membalas dendam dan kebencian muncul, cobalah mengendalikan tindakan dan ucapan Anda terlebih dahulu. Jangan sekali-kali ikuti godaan setan dengan mengucapkan kata-kata kasar. Jangan lemah! Janganlah mencoba menyakiti orang lain. Bila Anda berhasil mempraktekkannya dalam beberapa bulan, pemikiran-pemikiran negatif yang dimunculkan oleh kebencian, tak akan punya kesempatan untuk menampakkan dirinya ke luar, merekapun akan mati dengan sendirinya. 
Awalnya memang amat sulit mengendalikan pemikiran-pemikiran serupa itu, tanpa upaya untuk mengendalikannya terlebih dahulu. Pertama-tama kendalikanlah jasmani Anda. Ketika seseorang memukulmu, berdiamlah. Tekan perasaanmu. Ikutilah perintah Jesus Kristus dalam ‘Kotbah di atas Bukit’-nya: “Bila seseorang menampar sebelah pipimu, serahkanlah pipimu yang sebelah lagi. Bila seseorang mengambil jaketmu, berikanlah ia kemejamu juga”. Tentu saja ini amat sulit pada awalnya. Kesan-kesan tua yang terlanjur tersimpan untuk membalas, seperti ‘sebuah gigi, bagi sebuah gigi’, ‘sebuah mata untuk sebuah mata’ dan ‘membayar dengan koin yang sama’, akan menekan Anda untuk berontak. Namun Anda mesti menunggu dahulu hati Anda mendingin. Refleksikanlah itu dan bermeditasilah terhadapnya. 
Lakukanlah upaya mempertanyakannya atau upaya yang benar lainnya. Batin Anda akan menjadi kalem. Sang musuh yang tadinya mencak-mencakpun akan menjadi kalem, karena ia tak mendapat tantangan dari pihak Anda. Iapun akan tertegun dan mendingin, oleh karena Anda tetap tegar layaknya orang suci. Demikianlah, Andapun akan memperoleh kekuatan di dalam diri Anda. Jagalah prinsip itu. Cobalah selalu untuk melakukannya, walaupun awal-awalnya Anda gagal. Milikilah sikap yang jelas dan nyata dari citra Ahimsa serta manfaatnya yang pasti.
Nah...setelah berlatih mengendalikan tubuh Anda, kini latihlah ucapan. Ambil sebentuk kebulatan tekad, "Mulai saat ini saya tak akan mengucapkan kata-kata kasar kepada siapapun juga". Awalnya Anda bisa saja gagal beratus-ratus kali. Tak mengapa. Secara lambat namun pasti Anda akan memperoleh kekuatan itu. Periksalah impuls dari ucapan Anda. Latihlah Mouna (diam).
Praktekkanlah Kshama (memaafkan). Dan katakanlah pada diri Anda: “Ia masih berjiwa kekanak-kanakan. Ia lalai; itulah sebabnya ia melakukan itu. Biarlah saya memaafkannya kali ini. Manfaat apa yang saya peroleh dengan membalas tindakannya itu?” Hentikanlah kemelekatan pada ke-aku-an (Abhimana) perlahan-lahan. 
Abhimana adalah akar dari semua penderitaan yang dialami manusia. Akhirnya mulailah memeriksa dan mengamati dengan seksama bentuk-bentuk pemikiran —di benak Anda— yang bersifat menyakiti. Jangan sekali-kali berpikir untuk mencelakai orang lain. 
Diri-Jati menyelusupi semuanya. Semuanya adalah manifestasi dari Yang Esa. Dengan menyakiti yang lain, sesungguhnya Anda juga menyakiti Diri-Jati Anda. Dengan melayani orang lain, Anda juga melayani Diri-Jati Anda. Kasihilah semua. Layani semua. Jangan membenci siapapun. Janganlah menyakiti siapapun melalui pikiran, ucapan dan tindakan atau prilaku Anda. Cobalah selalu memandang bahwa Diri-Jati yang ada pada Anda juga ada pada semua orang. Inilah yang akan menghadirkan Ahimsa. 

 
 
MAHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (2)

Satya diterapkan melalui kejujuran dan senantiasa dalam jalur kebenaran. Setiap manusia punya hati-nurani. Kita tak dapat membohonginya. Ia adalah saksi yang senantiasa hadir kemanapun kita melangkah. Kata hati-nurani inilah yang dapat dipegang kejujurannya. Namun berhati-hatilah! Ini seringkali amat mengelirukan, sehingga banyak orang menyangka kalau kilasan emosi atau pemikiran sesaat sebagai kata hati-nurani. Ia jauh lebih dalam daripada itu.

Kecuali Ahimsa yang telah dikenal luas, Satyagraha adalah ajaran dan apa yang juga diterapkan Gandhi. Ia berarti senantiasa bersemayam dalam kebenaran. Menurut Gandhi Satyagraha adalah: perwujudan baru dari Sanatana Dharma (Ajaran Kebenaran Abadi), sama dengan kekuatan kebenaran, kekuatan cinta-kasih dan kekuatan batin, dasar dari kehidupan bersama dalam masyarakat.
 
Asteya diterapkan dengan tidak melakukan pencurian. Ia bahkan diterapkan sebagai tidak menginginkan milik orang lain, apalagi berupaya merebutnya dengan cara-cara curang, bujuk-rayu, tipu-muslihat, sampai-sampai melakukan pemaksaan fisik. Lebih jauh lagi, ia hendaklah dimaknai sebagai ajaran moral-etik yang mendukung kehidupan tapa, mengekang nafsu-keinginan.
   
Sri Sankarãcharya pernah berujar:
“Brahmacharya atau kesucian tanpa noda merupakan yang terbaik diantara semua upaya penebusan dosa; seorang Brahmacharin, yang suci tanpa noda, bukan lagi sosok manusia, namun sesungguhnya seorang dewa... Bagi pembujang yang menyimpan mani-nya melalui upaya besar ini, apakah yang tiada mampu ia capai di dunia ini? Menggunakan kekuatan yang terhimpun dalam mani, seseorang akan menjadi seperti Diriku.”

Brahmacarya juga diterapkan tidak sebatas hidup membujang atau tidak melakukan jinah; akan tetapi dengan selalu mendambakan penyatuan dan berusaha untuk tetap melekat pada Brahman Yang Agung.

Dalam pengertian sempitnya, kehidupan membujang memang terbukti menunjukkan manfaat besar di dalam mendorong kemajuan spiritual, seperti yang dipaparkan oleh Sri Swami Sivananda dalam buku “Practice of Brahmacharya”. Beliau sendiri juga menjalani hidup membujang. Namun beliau juga mengatakan bahwa, dalam pengertian yang luas, ia berarti pengendalian mutlak terhadap sensasi-sensasi indriawi.

Mahatma Gandhi dalam “The Gandhi Sutra” —yang disusun oleh Prof. D.S. Sarma— juga berpendapat sama tentang Brahmacarya. Kata Gandhi: “Menjalankan Brahmacarya menurut pernyataan orang-orang sangat sukar, jika bukan mustahil. Jika kita coba menyelidiki apa sebabnya orang mengatakan demikian, maka akan ternyata bahwa mereka memberikan arti yang terlalu sempit pada istilah Brahmacarya ini. Mereka menyangka bahwa Brahmacarya hanyalah penahanan nafsu-birahi saja. Saya rasa pandangan ini kurang tepat. Brahmacarya berarti penguasaan seluruh indria. Orang yang berusaha menguasai hanya satu indria dan mengabaikan, membiarkan indria-indria yang lainnya, segera akan insyaf bahwa usahanya itu tidak ada gunanya samasekali....Brahmacarya berarti penuntun kelakukan kita dalam menemukan Brahman (Hakekat Kebenaran Sejati)”. Inilah yang melahirkan kekuatan semangat (virya) untuk berusaha terus-menerus. Ini terkait erat dengan Isvarapranidhana, berlindung dan menyerahkan-diri kepada Tuhan, salah-satu poin terpenting dalam Niyama Brata.

Aparigraha diterapkan sebagai tidak-rakus, tidak berlebih-lebihan di dalam menimbun harta-benda dan menikmati kemewahan duniawi. Ia merupakan lawan-tanding dari lobha, dalam penerapan metode pratipaksa bhavana. Ia juga berhubungan erat dengan Tapa. Sri Swami Sivananda mengingatkan bahwa, bila ingin sukses dalam Yoga, maka terapkanlah Tapa dan Brahmacarya.

Jadi, tampak jelas bahwa dalam penerapannya, Yama tak dapat dipisahkan begitu saja dari Niyama —yang akan kita bicarakan belakangan. Keduanya setangkup, membentuk Dasasila, yang secara kondusif membentuk sikap-batin luhur dan kejernihan hati, serta menjanjikan kemajuan pesat dan keberhasilan dalam Yoga.
  
Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad (savãnga) dan ke-engganan untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad lain. 
Dengan pemurnian mental (sattvasuddhi) muncul keriangan, daya konsentrasi, penaklukan indria, dan kesiapan untuk menerima pemahaman Sang Diri-Jati (jayãttma darsana). 
Dari Santosa, kebahagiaan tertinggi (anuttama sukha) diperoleh. 
Kesempurnaan kinerja organ-organ indria datang bersamaan dengan hancurnya kekotoran batin melalui Tapa. 
Melalui Svadhyaya dicapai penyatuan dengan Istadevata. 
Pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek Isvarapranidhana. 
[YS II.40 - II.45] 

Enam sloka inilah yang menguraikan (terutama) tentang keampuhan dari pelaksanaan kelima disiplin mental Niyama. Di Nusantara, pelaksanaan kelima disiplin mental atau ajaran moral-etik ini dikenal sebagai Panca Niyama Brata.
 
MAHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (3)

Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana telah dipaparkan terdahulu dalam kaitannya dengan Kriya Yoga [YS II.1 - II.2]. Sutra II.40, yang menyebutkan bahwa, Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad (savãnga) dan keengganan untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad lain, bukan dimaksudkan sebagai anjuran untuk menarik diri dari masyakat atau pergaulan sosial. Salah-tanggap seperti ini sangat mungkin terjadi. Ia lebih diarahkan pada pengikisan raga-dvesa, nafsu dan rasa-kepemilikan dan kemelekatan. Jadi ia juga berkaitan erat dengan upaya mempertipis egoisme itu sendiri.

Sauca adalah kesucian lahir-batin. Dalam sutra II.41 tadi disebutkan pengembangan batin atau sikap-mental yang dicapai melalui Sauca sebagai: 
• Sattvasuddhi —kemurnian daya pemilah, 
• Saumanasya —keriangan hati, 
• Ekagrata —keterpusatan pikiran yang kokoh, 
• Indriajaya —penguasaan terhadap nafsu indriawi dengan baik, dan 
• Atmadarsana —visi Sang Diri-Jati atau Atman. 
Santosa adalah kepuasan-batin. Kepuasan-batin, tidak berlandaskan pada pemenuhan atau memuasi dorongan indria. Kepuasan-batin tidak dicapai melalui penimbunan dan penguasaan materi, karena materi tidak akan pernah mampu memuaskan siapapun secara batiniah. Dicapainya Santosa membangkitkan kegairahan dan semangat baru dalam berbagai sendi kehidupan—fisikal, mental maupun spiritual. 

Secara keseluruhan, Niyama kait-mengait satu dengan yang lainnya; yang satu mendukung dan menguatkan yang lainnya. Mungkin mengingat akan betapa fundamentalnya sikap-mental luhur bagi seorang siswa spiritual, Shrii Shrii Anandamurti —gurubesar dari Ananda Marga— juga menekankan penerapan 15 sila tambahan, disamping Yama-Niyama; masing-masing adalah: 
• Bersifat mengampuni, memaafkan. 
• Berjiwa besar. 
• Dengan penuh kesadaran mengendalikan perilaku dan kemarahan. 
• Tyaga, siap mengorbankan segalanya yang besifat pribadi untuk kepentingan ideologi. 
• Mengendalikan diri sepenuhnya. 
• Berpenampilan manis dan murah senyum. 
• Memiliki keberanian-moral. 
• Dapat dijadikan panutan; dapat melakukannya sebelum menyuruh orang lain melakukan suatu kegiatan tertentu. 
• Membebaskan diri dari kebiasaan mencela, menyalahkan orang lain, ‘menusuk dari belakang’, serta berpandangan ‘kelompokisme’. 
• Dengan ketat melaksanakan Yama dan Niyama. 
• Apabila suatu kesalahan dilakukan tanpa disengaja—karena kurang berhati-hati—dan kemudian disadari, maka kesalahan itu segera harus diakui dan minta hukuman atasnya. 
• Meski ketika sedang berhadapan dengan seorang yang sangat kasarpun, harus membebaskan diri dari kebencian, kemarahan, dan kesombongan. 
• Bebaskan diri dari kebiasaan terlalu banyak bicara atau beromong-kosong. 
• Taat kepada disiplin yang sudah disusun dan disepakati. 
• Miliki rasa tanggungjawab. 
Wrhaspati Tattwa —yang memuat wejangan-wejangan Hyang Siva kepada Bhagawan Wrhaspati, Guru para dewa—juga menyebutkan Dasasila tidak jauh berbedanya secara esensial dengan Yama-Niyama. Hyang Siva menegaskan kepada Wrhaspati: “Usahakanlah jiwa itu sebagai alat untuk melaksanakan Yoga-Samãdhi. Janganlah menunda-nunda, usahakanlah sadhana itu. Yang disebut sadhana adalah Yogamarga yang didasari Dasasila. Dasasila itu membangun Yoga....Dasasila merupakan penjaga Sang Yogiswara dalam Samãdhi-nya. Disitulah Sang Yogiswara akan menemukan pengetahuan tentang Kebebasan dari pengaruh Mayatattwa”.
Setelah mengikuti paparan panjang-lebar dalam lingkup Yama-Niyama yang disajikan dalam banyak sutra oleh Patanjali, menyimaknya dengan seksama merenungkan arahnya, terlihat kalau sadhaka diarahkan untuk mengembangkan Catur Paramãrtha —empat sifat atau sikap-batin luhur keilahian. Walau paparan pengenalan pada ke-empat sikap-batin luhur keilahian tersebut hanya dipaparkan sepintas pada sutra I.32 sampai I.34, namun mereka disebut sebagai pendukung utama pemusnah derita (dukha). Penerapannya, mengkondisikan batin sedemikian rupa tenang, mantap, penuh kegairahan serta mengeliminir halangan-halangan tak perlu di dalam melaksanakan sadhana demi sadhana.
Disadari bahwa, pelatihan tubuh dalam asana juga amat menunjang kesehatan sang sadhaka. Dalam perjalanan panjang, pendakian yang semakin curam dan licin yang dipenuhi onak dan kerikil-kerikil tajam, seorang pendaki butuh ketahanan fisik maupun mental yang prima. Ketahanan fisik mana pada gilirannya akan amat menunjang ketahanan mental-spiritual. Kondisi prima inilah yang hendak dimantapkan lagi dalam paparan sutra-sutra terkait dengan Asana dan Pranayama berikut.

 
Pelatihan Tubuh dan Pembentukan Sikap-Mental

Sikap-tubuh (asana) dalam latihan hendaknya mantap dan nyaman. 
Dengan lepasnya ketegangan tubuh dan mental, transformasi batin dimungkinkan mencapai ketidak-terbatasan. 
Darisana bentuk-bentuk batin dualistik (dvandva) tak lagi mengganggu. 
[YS II.46 - II.48] 

Patanjali memang tidak secara khusus menyebutkan ataupun merekomendasikan sikap-tubuh tertentu, namun banyak penekun dan Guru spiritual menemukan manfaat besar dari sikap-tubuh padmãsana (sikap duduk bagai bunga lotus), siddhãsana (sikap duduk para orang suci), swastikãsana (sikap duduk bagai simbol swastika) dan sukhãsana (sikap duduk sesuka hati, namun tetap bersila dengan tulang-punggung tegak). Banyak yang menyebutkan bahwa padmãsana-lah yang paling utama diantaranya. Yang perlu untuk digunakan pegangan dalam duduk bermeditasi adalah, kepala, leher dan tubuh dipertahankan agar tetap dalam satu garis lurus dan tegak. Tidak condong ke depan, ke belakang atau ke samping. Pilihlah satu sikap duduk yang paling sesuai bagi Anda, dan jangan setiap kali merubah sikap duduk. Pertahankan satu sikap duduk dengan mantap.
Secara khusus, Hatha Yoga —atau juga disebut Yogãsana—mengajarkan dan melatih semua sikap-sikap tubuh, yang amat bermanfaat bagi kesehatan dan kelenturan tubuh, dan tidak kita bicarakan secara khusus disini. Sikap-sikap tubuh ini sangat kondusif di dalam membentuk atau menghadirkan sikap-mental yang sesuai dengan yang diperlukan dalam melaksanakan japa dan langkah selanjutnya, yakni pranayama dan dhyana. Disamping kesehatan tubuh, pembentukan sikap-mental merupakan tujuan utama dari laku asana ini. Bahkan Sri Swami Sivananda menyatakan “bila tak dapat melaksanakan asana dengan sempurna, tidak akan dapat melakukan dhyana dengan baik”.
Sikap dan kondisi tubuh, ekspresi wajah, diketahui sebagai punya kaitan erat sekali dengan kondisi mental. Ambil contoh anjuran“keep on smiling” misalnya. Adakah landasan ilmiah —selain empiris—dari anjuran ini? Ternyata ada; seorang psikolog Jerman, Fritz Stark, pernah mengadakan penelitian ilmiah terhadap senyum, dalam kaitannya dengan pengkondisian batin kita. Menurutnya, membuat senyuman dengan otot-otot wajah, menipu otak untuk merespon dengan perasaan yang relevan. Pernyataan ilmiahnya ini, ternyata juga dikuatkan lagi oleh David Lykken —pensiunan profesor psikologi dari University of Minnesota, Minneapolis USA— dengan menyatakan “Emosi merupakan perpaduan antara perasaan internal dengan respons fisik yang memberikan umpan-balik pada otak kita”.  
Sebetulnya, hingga saat ini memang telah banyak bukti-bukti sebagai hasil empiris perseorangan, perkumpulan Yogãsana maupun penelitian-penelitian ilmiah tentang nilai manfaat langsungnya secara fisik maupun psikis. Asana tertentu —secara phisioterapis— dapat menyembuhkan penyakit tertentu, bahkan Yogãsana diyakini juga sebagai Yoga Kesehatan. Kondisi tubuh yang sehat, otot-otot yang lentur, tidak tegang, menimbulkan rasa nyaman dan mengurangi kegelisahan mental. Dan ini amat membantu dalam tercapainya keterpusatan saat berlatih meditasi (dhyana). “Kalau Anda dapat duduk hanya untuk satu jam saja, Anda dapat memusatkan pikiran dan merasakan kesentosaan dan kebahagiaan”, papar Sri Swami Sivananda dengan amat meyakinkan.
Sebagai pembentuk sikap-mental, dan bukan semata-mata sikap-tubuh layaknya senam dan bentuk-bentuk olah-raga lainnya, asana sesungguhnya telah terbentuk ketika Yama-Niyama benar-benar diterapkan di dalam kehidupan. Di Nusantara dikenal—apa yang disebut dengan—sasana, disiplin mental dan prilaku yang pantas. Pemposisian asana sebagai tahapan ketiga—setelah Yama dan Niyama—seakan-akan mengisyaratkan bahwa, ‘tiada sadhana yang terlaksana dengan baik, tanpa didasari oleh sikap-mental yang baik’. Makanya, dalam yogasadhana, Yama-Niyama tetap menjadi kunci keberhasilan. Pelaksanaan tiga aspek dari Niyama saja—yakni Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana—sudah layak diperhitungkan sebagai melaksanakan Kriya Yoga.
 
REGULASI NAFAS DAN PENGENDALIAN DAYA-VITAL. 

Setelah Asana, memupuk perhatian murni pada pergerakan keluar dan masuknya daya-vital (prana), yang disebut Pranayama, dilaksanakan. 
Prana keluar (bahya), masuk (abhyantra) dan diam (stambha) dalam hening adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengaturan prana menurut ruang, waktu, dan jumlah kalinya sedemikian rupa, hingga nafas terasa semakin dalam dan semakin halus. 
Ada juga langkah ke-empat berupa penahanan di antara keluar dan masuknya (bahya abhyantara). 
Dengan ini, tabir yang menutupi cahaya batin dapat disingkirkan, sehingga batinpun siap dan layak memasuki Dharana. 
[YS II.49 - II.53] 

Prana sendiri adalah daya-vital, daya-hidup; sedangkan yama adalah pengekangan, pengendalian atau pengaturan. Secara harfiah saja, Pranayama berarti pengaturan daya-hidup itu sendiri, dan jelas bukan sekedar mengendalikan keluar-masuknya nafas. Dalam Yoga Sutra ini, laku Pranayama lebih diarahkan pada yang bersifat yang esensial —menyingkirkan tabir yang menutupi cahaya batin— bagi persiapan untuk memasuki anga [baca: angga] atau tahap berikutnya, yakni Pratyãhãra dan Dharana.  
Pranayama yang hanya dikaitkan dengan regulasi nafas, termasuk dalam bidang pelatihan tubuh dalam sistem Hatha Yoga. 

Swami Satya Prakas Saraswati di dalam “Patanjali RAJA YOGA”-nya, memang menyatakan bahwa Pranayama berhubungan dengan sistem pernafasan, dimana sikap duduk Siddhãsana (kaki dilipat dengan kaki kanan di atas kaki kiri) dipandang sebagai sikap duduk terbaik di dalam latihan regulasi nafas ini. Dalam kitabnya ini, beliau bahkan memaparkan secara panjang-lebar tentang prana dan Pranayama dalam dua bab tersendiri, dimana antara lain disebutkan bahwa, prana adalah daya-vital yang tidak kelihatan, dan yang memungkinkan kita untuk bernafas. Prana sudah ada pada kita sejak lahir dan tetap ada pada kita selama hidup dalam jasad ini. Ditegaskan bahwa, prana bukanlah sekedar nafas atau yang terkait dengan bernafas saja, melainkan adalah daya-vital di belakang segenap susunan sistem pernafasan dan segala aktivitas otot-otot dan syaraf. Menurutnya, kata prana berasal dari urat-kata ‘an’, yang berarti bergerak, menghidupkan, memasukkan kekuatan. Pikiran berfungsi karena adanya prana; dan dengan penguasaan prana, pikiran bisa ditenangkan. 

Bahkan, menurut Sri Swami Sivananda, prana bersama-sama dengan materi dan pikiran, merupakan tiga manifestasi relatif dari Yang Absolut. Prana benar-benar merupakan sebentuk modifikasi pikiran. Disebutkan bahwa prana adalah Kriya Sakti atau kerja tingkat tinggi. Materi dihasilkan oleh prana. Prana merupakan kelanjutan dari pikiran. Materi berada di bawah Prana, sedangkan Prana berada di antara materi dengan pikiran. Prana bersifat positif bagi materi, namun negatif bagi pikiran. Pikiran bersifat positif, baik bagi prana maupun materi; namun negatif bagi Kehendak —yang merupakan komunikator antara intuisi dengan pikiran. 

Prasna Upanishad antara lain juga mengandaikan prana sebagai ruji dalam sebuah roda, dimana semua didasarkan prana, didasarkan prinsip-kehidupan ini. Sri Swami Sivananda memaparkan bahwa, Pranayama mengantarkan penekun untuk bertatap-muka langsung dengan prinsip-kehidupan. Mengendalikan prinsip-kehidupan, memberi suatu pandangan mendalam pada kekuatan yang memotivasinya. 

Taittiriya Upanishad menyebut pranamaya kosa (selubung daya-vital) ini sebagai penghubung antara annamaya kosa (selubung jasmaniah yang terbuat dari sari-sari makanan) dengan manomaya kosa (selubung mental). Kitab Wrhaspati Tattwa menyebutkan tentang Dasaprana, sepuluh prana, yang masing-masing daripadanya adalah: prana, apana, samana, udana, vyana, naga, kurma, krakara, devadata dan dhananjaya. Penggolongan prana seperti ini juga ditemukan pula dalam Yajurveda, Atharvaveda, Taittiriya Upanishad, Chandogya Upanishad, Prasnopanishad dan Brhadaranyaka Upanishad. Lima prana —naga, kurma, krakara, devadata dan dhananjaya— disebut sebagai prana minor di dalam Brhadaranyaka Upanishad.

Akan tetapi, bagaimana dengan latihan praktis Pranayama sendiri? 

Seorang Guru pernah mengingatkan siswanya, “Gunakanlah nafasmu sebagai pegangan; dengan demikian pikiranmu dengan mudah kamu pusatkan. Pranayama akan amat membantumu dalam mencapai Samãdhi”. Sementara itu, Chandogya Upanishad mengilustrasikan: “Bagai burung yang di-ikat dengan tali; setelah terbang kesana-kemari tanpa menemukan tempat tinggal, ia akan kembali untuk beristirahat, justru pada tempat dimana ia terikat; begitu pula pikiran, setelah terbang kesana-kemari tanpa menemukan tempat tinggal, akan kembali beristirahat pada nafas, karena pikiran punya nafas sebagai pengikatnya.”
 
Tampaknya, praktek Pranayama mau-tak-mau mesti dikaitkan dengan praktek pengaturan pernafasan. Secara garis besar, praktek pengaturan nafas terdiri dari empat tindakan dasar yakni: (i) menarik nafas (puraka), (ii) menahan nafas dalam kondisi penuh (antah-kumbaka), (iii) menghembuskan nafas hingga kosong (recaka) dan (iv) membiarkan kondisi kosong (bahih-kumbaka). 

Dalam hal ini, Wrhaspati Tattwa memberi petunjuk: “Tutup semua lubang yang ada dalam tubuh, seperti: mata, hidung, mulut, telinga; udara, yang sebelumnya telah terisap, itu dikeluarkan melalui ubun-ubun. Bila tidak terbiasa mengeluarkan udara melalui jalan itu, udara dapat dikeluarkan melalui hidung, namun secara perlahan-lahan. Itulah yang disebut Pranayamayoga.”

Praktek Pranayama menjadi ideal bila disertai Pranava Japa. Disini pengaturan nafas hanya dalam tiga tahapan saja, dimana menahan nafas saat kosong (bahih-kumbhaka) dibiarkan saja kosong tanpa pelafalan dalam hati (manasu). Lafalkan dalam hati suara A(ng) saat menarik nafas (puraka), U(ng) saat menahan nafas (antah-kumbhaka) dan M(ang) saat menghembuskan nafas (recaka). 
• Bersamaan dengan puraka dengan manasu A(ng), bayangkanlah Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta yang penuh anugrah; 
• Bersamaan dengan antah-kumbhaka dengan manasu U(ng), bayangkan Tuhan sebagai Sang Maha Pemelihara yang penuh dengan Cinta-kasih;
• Bersamaan dengan recaka dengan manasu M(ang), bayangkan Tuhan sebagai Sang Maha Suci, pelebur segala kekotoran batin dan dosa-dosa. 
Bilamana dilakukan pengaturan dalam empat tahapan, dianjurkan untuk melafalkankan dalam hati Gayatrimantram sebagai berikut:
• OM - Bhur - Bhvah - Svah.......bersamaan dengan puraka; 
• Tat - Savitur - vare - niyam......bersamaan dengan antah-kumbhaka; 
• Bhargo - devasya - dimahi.......bersamaan dengan recaka; 
• Dhiyo - yonah - pracodayat.....bersamaan dengan bhih-kumbhaka. 
Kedua praktek ini adalah yang paling praktis dan paling umum dilakukan oleh berbagai kalangan dan tingkatan penekun. Baik Pranayama dan Japa tiga tahapan maupun empat tahapan, ada yang menyertai dengan penghitungan bulir-bulir tasbih. Namun, bagi sementara penekun yang merasakan ini sebagai kurang praktis dan menyolok perhatian [terutama kalau sedang berada di tempat-tempat umum], bisa menggunakan nafasnya langsung sebagai tasbih. Yang manapun yang dipilih, hendaknya disesuaikan dengan kondisi, kepentingan dan kebiasaan masing-masing, agar ia dapat dipraktekkan dengan santai, tanpa ketegangan yang tak perlu. Ingat, tujuan utamanya adalah membersihkan atau menentramkan vritti.

Sri Swami Sivananda menjelaskan bahwa, dengan mempraktekkan pengaturan nafas ini seorang sadhaka bisa memperoleh umur panjang. Seorang lelaki sehat bernafas 14 sampai 16 kali dalam semenit. Pengurangan frekuensi nafas melalui pelatihan, meningkatkan ketahanan paru-paru. Konon, semakin rendah frekuensi nafas, semakin panjang umur makhluk hidup. Beberapa contoh pada binatang menunjukkan hal ini. Anjing misalnya, frekuensi nafasnya mendekati 50 kali per menit, dan umurnya hanya sampai sekitar 14 tahun saja. Sedangkan kuda yang frekuensi nafasnya 35 kali per menit, umurnya bisa mencapai 29 sampai 30 tahun. Gajah yang bernafas 20 kali per menit, umurnya bisa mencapai 100 tahun. Sementara seekor kura-kura lebih rendah lagi frekuensi nafasnya, yakni hanya 5 kali dalam semenit; oleh karenanya umurnya hingga 400 tahun. Yang lebih rendah lagi adalah ular; ular hanya bernafas 2 sampai 3 kali per menit. Ular umurnya bisa 500 sampai 1000 tahun.

Sehubungan dengan kaitan antara frekuensi nafas dengan kehidupan spiritual, Sri Swami Sivananda menyatakan bahwa, ‘semakin sedikit nafsu keinginan seseorang, semakin rendah frekwensi nafasnya, demikian juga sebaliknya.’ Ia yang mempraktekkan japa, meditasi dan hidup membujang serta mempelajari kitab-kitab spiritual-religius atau kitab-kitab suci, punya frekuensi nafas yang lebih rendah dan punya konsentrasi yang lebih baik. Semakin rendah frekuensi nafas seseorang, juga berarti semakin meningkatnya konsentrasi, dan lebih tenteram hidupnya. 

Jadi, semakin jelas bahwa pengaturan nafas bukan saja berkait dengan kesehatan dan umur seseorang, namun terbukti memang memungkinkan konservasi serta pengaturan daya-vital yang baik sehingga amat kondusif dalam pengembangan batin. Yang paling perlu diperhatikan baik-baik adalah, latihan Yoga —jenis apa saja— harus dibawah bimbingan seorang Guru Yoga yang handal, berpengalaman dan terpercaya.Yang pasti, Yoga tak mungkin dipelajari hanya lewat buku-buku.


 
TERMINAL PENDAKIAN. 

Menarik pikiran dari objek-objek indria sehingga citta terjernihkan kembali sesuai keberadaannya semula yang halus (svarupãnukãra), inilah Pratyãhãra. 
Darisini lahirlah penguasaan sempurna terhadap sensasi-sensasi indriawi. 
[YS II.54 dan II.55] 

Untuk yang satu ini, Wrhaspati Tattwa 54 memaparkan: “Seluruh indria ditarik dari objeknya, sedangkan citta, buddhi dan manah tidak diberi kesempatan berkelana, dijaga oleh citta yang suci. Itulah yang disebut Pratyãhãrayoga.” Tampak jelas disini kalau secara esensial praktis, paparan ini sama dengan sutra tadi.
Dimaklumi bahwa Pratyãhãra merupakan langkah kelima, setelah Pranayama dan sebelum Dharana. Namun, bila kita perhatikan kembali sutra sebelumnya, yang antara lain berbunyi, “....sehingga batinpun siap dan layak memasuki Dharana”, sekilas tampak kalau setelah Pranayama dapat langsung memasuki Dharana, dengan tanpa melalui Pratyãhãra terlebih dahulu. Apa memang demikian?
Yang dimaksud Patanjali dengan Dharana disini, tidak semata-mata terkonsentrasikannya pikiran pada satu objek sembarang. Oleh karenanya, dalam sutra II.53 disebutkan ‘siap dan layak memasuki’ Dharana, dan bukannya ‘adalah’ Dharana itu sendiri.
Dalam praktek, dengan terpusatnya pikiran hanya pada nafas saat Pranayama, tak ada yang lain lagi yang mengisi pikiran kecuali kegiatan bernafas itu sendiri. Dengan demikian, pikiran secara otomatis tidak berkeliaran lagi di luar —di antara objek-objek dan sensasi-sensasi indria. Ini juga merupakan praktek Pratyãhãra. Bedanya dengan Pranayama hanya pada objek yang masih dipegang oleh pikiran. Kalau fenomena keterpusatan ini bisa dianggap sebentuk Dharana juga, maka yang berbeda disini hanyalah objeknya.
Sesuai tabiatnya, pikiran mempunyai kecenderungan berubah-ubah dengan cepat, melompat dari satu objek ke objek lainnya dengan amat cepat. Belum lagi kegandrungannya berkeliaran di antara hal-hal duniawi serta langsung merespon stimulan-stimulan indriawi. Oleh karenanya, sadhana-sadhana seperti yang termaktub dalam Yama-Niyama menjadi sedemikian pentingnya untuk dijadikan sebentuk tradisi spiritual pribadi. Penarikan perhatian ke dalam umumnya tidak dapat dilakukan secara sekaligus; ia dilakukan secara bertahap, dalam arti, pikiran harus terkonsentrasi memegang hanya satu objek saja terlebih dahulu. Dan objek itu, memang sebaiknya nafas, yang tak jauh dari tubuh. Inilah keuntungan besar yang diberikan oleh Pranayama, dalam praktek.
Apa yang mula pertama dihasilkan oleh Pratyãhãra adalah semakin jernih dan heningnya citta. Swami Krishnanda memberi istilah “the frontiers of Yoga” kepadanya, dan mengatakan bahwa seseorang yang selalu mempraktekkan Pratyãhãra berada pada wilayah perbatasan dengan yang tak-terbatas; disini pula ia memperoleh pengalaman supra-fisikal. Yang pasti, Pratyãhãra melahirkan perhatian murni. Dalam telaga yang jernih, apapun yang ada dan terjadi di dalamnya tampak jelas; akan teramati dengan lebih baik. Dalam praktek, kejernihan serupa inilah yang amat ideal sebagai pijakan batin. Apabila perhatian murni ini diarahkan ke dalam batin —yaitu untuk mengamati fenomena-fenomena di dalam, ia akan memberikan pemahaman tentang diri dan batin itu sendiri, secara jauh lebih baik dan lebih cermat. Pemahaman yang dihasilkan dengan cara seperti ini tentu lebih terpercaya.
Narada Mahathera, dalam “Buddhism in a Nutshell”, mengungkap fenomena serupa dengan mengatakan: “Pikiran yang terarah ke luar melalui indria-indria merupakan penyebab timbulnya segala macam nafsu keinginan, yang merupakan sumber penderitaan. Karena sebabnya telah ada, maka timbullah penderitaan saat itu juga, seperti kebingungan, kekhawatiran, ketakutan, kegelisahan, frustasi, stress dll.” Sejalan dengan itu, dalam “Vipassana Meditation Course”-nya, Chanmay Sayadaw mengatakan bahwa teknik penutupan pintu-pintu indria —disebut indriya-samatta dalam bahasa Pali— menyebutkan bahwasanya indriya-samatta merupakan faktor teramat penting dalam ajaran Buddha, yang memungkinkan seseorang terbebas dari semua penderitaan.
Bila kita cermati kembali, sampai dengan Pranayama, perhatian masih relatif terarah ke luar, belum sepenuhnya terjun ke dalam telaga batin. Ia masih berkubang dan berkutat di luar, dimana sedekat-dekatnya, ia baru mendekati nafas yang merupakan aktivitas ragawi. Perhatian masih berkutat dengan objek-objek pikiran. Sejak tahap Pratyãhãra-lah perhatian baru mulai benar-benar mengarah ke dalam, untuk kemudian semakin dalam lagi. Oleh karenanya, sesungguhnyalah Pratyãhãra amat strategis dijadikan pijakan. Ia hendaknya dijadikan terminal, benteng pemisah yang memisahkan perhatian yang berkiblat ke luar, yang hanya mengakibatkan munculnya berbagai bentuk dan karakter pusaran pikiran dan perasaan. Darisini, pandangan akan jauh lebih jelas, baik ke luar maupun ke dalam, bagaikan melihat ikan warna-warni, ganggang dan tumbuhan air lainnya serta bebatuan di dasar ‘telaga batin’ yang tenang dan jernih.
Disinilah Sãdhana Pãda diakhiri oleh Patanjali. Dari Yama-Niyama hingga Pranayama dipandang sebagai praktek dasar yang masih bersifat eksternal, belum langsung menuju sasaran. Memasuki Pratyãhãra-lah penekun mulai mengarah atau mulai menapakkan kakinya dalam pendakian spiritualnya, langsung menghampiri gerbang batin. Dharana, Dhyana dan Samãdhi, yang sudah bersifat internal, dipisahkan dalam satu pãda tersendiri —Vibhuti Pãda.

PAPARAN TENTANG KEKUATAN DAN KESEMPURNAAN.

Sebelum kita masuk pada sutra-sutra dalam Vibhuti Pãda ini, ada baiknya saya kutipkan pengingatan Sri Swami Sivananda berikut:
“Siddhi terwujud dengan sendirinya, apabila sang Yogi telah mencapai kemajuan dalam pelaksanaan Yoga-nya. Siddhi merupakan penghalang dalam jalan spiritual. Seorang penekun harus menjauhkan diri darinya tanpa kompromi, dan tetap tegar langsung menuju tujuan, yaitu Asamprajñãta Samãdhi dan Nirvikalpa Samãdhi. Spiritualitas yang sesungguhnya tak ada kaitannya dengan daya-daya ini, mereka hanyalah hasil sampingan dari konsentrasi”.

Samyama dan menjadikan Pratyãhãra sebagai Terminal.
  
Pikiran yang terkonsentrasi hanya pada satu objek tertentu adalah Dharana. 
Dan aliran kesadaran yang terus-menerus pada objek tersebut adalah Dhyana, meditasi. 
Bilamana cahaya kesadaran telah bersinar sendiri dalam kemurniannya (nirbhasam svarupa), dan kesunyian (sunyam) dimasuki, inilah tercapainya Samãdhi. 
Ketiganya —yang berlangsung dalam satu rangkaian menerus— sebagai hasil dari pengendalian di dalam ini, disebut Samyama. 
[YS III.1 - III.4] 

Samyama adalah istilah spesifik dalam Yoga Sutra ini. Dharana-Dhyana-Samãdhi, yang mengalir dan berlangsung dalam satu kurun waktu tak bersela, disebut Samyama. Bagi pemula, masing-masing umumnya berlangsung sendiri-sendiri, yang satu diikuti oleh yang lainnya secara susul-menyusul. Dharana segera dikuti oleh Dhyana, namun Samãdhi tak kunjung dicapai hingga Dhyana yang telah tercapai memudar, turun kembali pada dharana untuk selanjutnya konsentrasi buyar kembali. Kadangkala keterpusatan seolah-olah melaju tanpa kendali, dimana tak disadari dengan jelas kapan tercapainya Dharana, kapan Dhyana ataukah Samãdhi oleh karena mengalir begitu saja.
Samãdhi, seperti yang disebutkan dalam sutra III.3 tadi adalah tercapainya penyatuan dengan objek yang dipegang (evãrthamatra), tidak ada lagi kata-kata —apakah itu berupa japa atau yang lainnya—dalam keterpusatan itu (nirbhasam). Citta bercahaya sesuai kemurniannya, dan yang hadir hanya kesunyian atau keheningan total (sunyam). Menurut yang berpengalaman, ketika penyatuan itu benar-benar terjadi, tidak ada lagi objek meditasi, semuanya sirna bahkan —apa yang selama ini kita sebut sebagai—kesadaran itu sendiri, namun tidak tertidur. Bila kondisi ini berlangsung cukup lama, aktivitas biologis penekun seolah-olah terhenti samasekali, atau dengan kata lain, raganya mengalami kematian klinis. Inilah yang disebut mati-raga oleh sementara kalangan. Kondisi ini bisa berlangsung berjam-jam. Dan oleh karenanya, ada yang memperingatkan agar berhati-hati, karena bisa ‘kebablasan’.
Akan tetapi Samãdhi yang dimaksudkan dalam kaitannya dengan Samyama ini, saya rasa bukan yang seperti itu. Ia lebih dimaksudkan dengan penyatuan dengan objek meditasi (ekagrata), dimana pusaran-pusaran ditenteramkan, sementara kesadaran masih tetap hadir dan terkendali. Ini adalah Sabija Samãdhi; masih hadir objek perenungan. Ini akan ditegaskan kembali nanti, pada pemaparan sutra III.8. 
Sekedar sebagai perbandingan, di dalam “Samma Samãdhi”, Yang Ariya Ven. Sucino menyebutkan 5 tahapan atau ciri dalam mancapai keterpusatan total (ekagrata), yaitu: 
• Vitarka; mulai berusaha memegang objek. 
• Vicara; objek mulai terpegang dengan kuat. 
• Piti; bangkitnya kegiuran. 
• Sukha; kebahagiaan yang sulit digambarkan saat menjalaninya. 
• Ekagrata-ramana; batin terpusat, bersatu dengan objek. 

Dalam paparan sutra III.9 - III.15 nanti, akan dipaparkan lebih jauh tentang tahapan-tahapan transformasi internal (parinama) yang terjadi dalam batin sang penekun. Bila paparan ini dicermati, ternyata dalam prakteknya ia amat berhampiran dengan kelima tahapan ini.
 
Walaupun pada fase awalnya, Samyama tak serta-merta dan dicapai dengan mudah, namun upaya ini sudah merupakan suatu latihan yang sangat baik. Ia membentuk abhyasa —kebiasaan dalam praktek spiritual. Untuk itu—seperti yang telah dianjurkan di akhir Sadhana Pãda—‘berterminal’ pada Pratyãhãra akan amat membantu. ‘Berterminal’ disini berarti senantiasa menjaga kejernihan batin, dengan membatasi diri dalam mengadakan kontak dengan objek-objek luar. Secara praktis ini dilakukan dengan segera menarik perhatian kembali melalui Pranayama, ketika ada tanda-tanda akan ngelantur. Disini Pranayama bukan lagi sekedar praktek mengatur nafas, namun praktek pengendalian daya-vital (prana) sehingga mempunyai kekuatan cukup untuk melaksanakan Pratyãhãra. Ia bertindak sebagai benteng daya-vital, yang melindungi penekun dengan dunia objek. Bagaikan seekor penyu yang dengan sigap menarik anggota badannya bila dirasa ada bahaya mengancam, demikianlah kewaspadaan penekun yang berterminal pada Pratyãhãra.
Tentang rangkaian praktis antara Pranayama, Pratyãhãra dan Dhyana ini, menarik untuk dicermati ungkapan dari Sri Sankarãcharya ini:
“Dengan Pranayama terbuanglah kekotoran badan; 
dengan Pratyãhãra terbuanglah kekotoran akibat ikatan-ikatan; 
dengan Dhyana tersingkirkan semua penghalang yang ada antara manusia dan Isvara”.
Menariknya, disini beliau tidak menyebut-nyebut Dharana. Setelah Pratyãhãra, beliau langsung masuk ke dalam Dhyana (meditasi). Pola yang serupa juga ditemukan di dalam Wrhaspati Tattwa dan Maitri Upanishad manakala membahas Sadangga Yoga. Tidak seperti urutan yang dikemukakan oleh Patanjali, baik Wrhaspati Tattwa maupun Maitri Upanishad menempatkan Dharana setelah Dhyana dan Dhyana segera menyusul setelah Pratyãhãra. Mengapa demikian? Jawabannya hanya bisa ditemukan di dalam praktek langsung.

 
MEMANIFESTASIKAN CAHAYA KEBIJAKSANAAN DAN TIGA BENTUK TRANSFORMASI CITTA.

Samyama ~ Memanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan.
 
Melalui penguasaan Samyama, termanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan (prajña'lokah). 
Demikianlah Samyama merupakan proses tiga tahap dalam Yoga. 
Yang tiga —Dharana, Dhyana dan Samãdhi— ini sudah bersifat lebih internal (antarangam) dibanding yang sebelumnya, walaupun masih lebih eksternal (bahirangam) dibanding Nirbija. 
[YS III.5 - III.8] 

Kebijaksanaan (prajña) hadir berangsur-angsur, namun pasti, bersama dengan semakin jernihnya citta. Dalam sutra III.5 diingatkan kalau Samyama hendaknya dialokasikan pada pencapaian Kebijaksanaan; bukan yang lainnya. Bilamana sesuatu yang lebih tinggi dan lebih internal dimungkinkan dengan upaya yang sama, kenapa mesti mengupayakan sesuatu yang lebih rendah dan lebih eksternal?
Samyama jelas lebih internal bila dibandingkan dengan Yama, Niyama, Asana, Pranayama dan Pratyãhãra. Ia sepenuhnya fenomena internal, yang berlangsung di dalam tataran batiniah sang penekun, dimana ia tidak lagi terkait dengan prana, apalagi dengan raga. Penarikan perhatian ke dalam atau Pratyãhãra, telah terlaksana. Samyama dan pencapaiannya yang akan dipaparkan dalam sutra-sutra berikut masih lebih eksternal dibanding Nirbija Samãdhi. 
Tiga Bentuk dan Tiga Proses Transformasi Batin.
 
Nirodha Parinama adalah transformasi citta bersamaan dengan semakin majunya kemampuan pengendalian pikiran berkat musnahnya insting-insting destruktif, baik yang sedang berlangsung maupun yang datang menyusulnya. Alurnya berlangsung dengan kalem, layaknya suatu kebiasaan saja. 
Bila transformasi citta dihasilkan berkat keberhasilan dalam menyatukan bentuk-bentuk pemikiran yang buyar dan beraneka-ragam itu, ini disebut Samãdhi Parinama. 
Ekagrata Parinama adalah transformasi citta bila ia dicapai dalam kondisi terpusat dalam kedamaian. 
Melalui tiga prinsip transformasi (parinama) tersebut, perubahan terhadap bentuk, waktu dan kondisi dari elemen-elemen sensasional kasar maupun halus, dapat diikuti dengan amat jelas—apakah ketika alirannya tenang, aktif, maupun campuran. 
Perbedaan bentuk transformasi seperti itu, disebabkan oleh perbedaan pada proses yang melandasinya. 
[YS III.9 - III.15] 

Masing-masing penekun tentu mempunyai kekuatan atau kelebihan dan kelemahan atau kekurangannya sendiri. Itulah bagian dari keberadaannya. Kekuatan dikembangkan dan disempurnakan, sementara kelemahan dikuatkan dan kekurangannya ditambahkan. Pratipaksa Bhavana, seperti yang telah disebut sebelumnya, adalah metode yang dianjurkan oleh Patanjali untuk ini. Transformasi batin yang dicapai bisa mengambil tiga bentuk, sesuai keberadaan dari penekun itu sendiri. Masing-masing bentuk proses transformasi tersebut tergantung pada keberadaan dan landasan berpijak darimana penekun memulai pendakian spiritualnya ini. 
Bila seorang penekun berpijak pada kemampuan memusnahkan pengaruh kesan-kesan mental yang bermunculan serta insting-insting destruktifnya, maka ia menggunakan proses Nirodha Parinama; bila ia kuat dalam berkonsentrasi, dalam menyatukan berbagai bentuk dan kebuyaran pikirannya, maka ia menggunakan Samãdhi Parinama. Sedangkan bila ia lebih berkemampuan pada memegang satu objek dengan kuat, sehingga tak ada tempat bagi yang lain kecuali objek tersebut, maka ia disebut menggunakan proses Ekagrata Parinama. Setiap penekun dianjurkan menggunakan bakat, kecenderungan dan kekuatannya masing-masing. Untuk itu, ia tentu mesti tahu terlebih dahulu apa bakat dan kecenderungannya, dan apa kekuatannya yang dapat ia handalkan untuk bertransformasi. Pratyãhãra mengantarkan penekun mengetahui semua itu.
Yang pasti, dalam perjalanan transformasi itu perhatian dan kewaspadaan harus senantiasa terjaga alirannya. Segala fenomena dan proses transformatif internal teramati dengan baik, cermat dan seksama. Sang penekun menjadi benar-benar memahami bagaimana sebetulnya ‘berlangsungnya proses perubahan internal’ tersebut. 
Melalui Samyama terhadap tiga macam proses transformasi tersebut —nirodha, ekagrata dan samãdhi parinama— diperoleh pengetahuan tentang masa lampau dan masa mendatang (atita-anagata jñanam). 
[YS III.16] 

Nah...disini jelas disebutkan kalau yang menjadi objek Samyama proses transformasi itu sendiri, sang penekun teranugrahi pengetahuan atau kemampuan untuk dapat menyeberangi tiga-masa.
Pada kesempatan terdahulu, saat membahas sutra-sutra terkait dengan Pratyãhãra telah disinggung anjuran untuk menjadikan Pratyãhãra sebagai terminal. Terminal dalam arti suatu pemberhentian, dimana kita istirahat saat datang dari atau akan menuju ke suatu tempat tertentu. Dengan demikian, batin senantiasa dalam keadaan siaga penuh. Bila sewaktu-waktu harus melaksanakan tugas Samyama, batin tak perlu mengumpulkan serpihan-serpihan pikiran yang terpencar terlebih dahulu. Dengan berterminal pada Pratyãhãra, disamping kesiagaan di peroleh, juga enerji vital terkonservasi dengan baik dan siap sewaktu-waktu digunakan sebagai daya dorong roket Samyama.
Agar tak terlalu meruwetkan, bayangkanlah sebuah roket pelontar dan pengorbit sebuah satelit. Ia butuh tenaga besar untuk melawan gravitasi dan keluar dari atmosfir. Untuk itu ia butuh hidrogen cair dalam jumlah besar, yang ditempatkan dalam beberapa tangki secara tersusun bertingkat-tingkat. Tidak semua tangki dibawanya ke luar-angkasa, yang tanpa bobot itu. Tangki paling bawah dilepas bersamaan dengan tercapainya ketinggian tertentu, langsung disusul dengan berfungsinya tangki berikutnya. Demikian seterusnya, transformasi terjadi silih-berganti hingga satelit mencapai orbit-geostiosinernya. Bandingkan formasi roket yang berbeda-beda pada setiap tahap ini sebagai proses parinama, dimana tangki bahan-bakarnya yang tersusun itu sebagai prana; dan pesawat ulang-aliknya sendiri sebagai citta.
Nah....memandang dari orbit-geostiosinernya itu, pesawat —yang kini berfungsi bak satelit— dapat mengamati dengan jelas apa yang terjadi di bumi dan sekitarnya. Disana ia juga bergerak dengan amat ringan, karena disana tak bekerja gravitasi. Demikianlah kurang-lebih kita membayangkan proses Samyama terhadap parinama ini, untuk lebih memudahkan. 

MENGERTI SUARA, MAKSUD, ASAL DAN KEHIDUPAN LAMPAU MAKHLUK HIDUP.

Mengerti suara makhluk hidup dan kehidupan lampaunya. 

Suara, makna, dan gagasan yang melatarinya seringkali baur satu dengan yang lainnya sehingga membingungkan; menganalisanya melalui Samyama menghadirkan pengertian terhadap suara dari berbagai makhluk hidup. 
Melalui mengamati dengan seksama ikhwal munculnya kesan-kesan mental (samskara), kehidupan lampau dapat diketahui. 
[YS III.17 dan III.18] 

Seperti perumpamaan atau pengandaian sebelumnya, satelit dapat mengamati apa saja dan bergerak kemana saja dengan mudah; demikian pula bila ia harus mengamati suara makhluk hidup maupun kesan-kesan mental. Ucapan atau kata-kata adalah tuangan perasaan atau ekspresi kondisi dan kesan-kesan mental lewat suara. Memahami hakekat dan bagaimana bekerjanya perasaan dan pikiran, maksud, makna serta gagasan yang melatari setiap ucapan atau suara mudah dipahami.
Dari kehidupan yang lampau, kita membawa benih-benih perbuatan (vasana), demikian pula makhluk hidup lainnya. Vasana-vasana itu, dulunya atau pada kehidupan yang bersangkutan merupakan kesan-kesan mental yang mendalam (samskara). Demikian juga samskara yang terbentuk kini, bila belum tersalur dan habis enerji potensialnya dalam kehidupan ini juga, menjadi vasana untuk kehidupan mendatang. Memahami kejadiannya demikian, dengan mengamati samskara dalam kejernihan citta, dipahami juga vasana; dengan mencermati vasana dan samskara melalui kejernihan citta akan dipahami kehidupan lampau maupun yang akan datang makhluk-makhluk lain.
Mengetahui Maksud dan Asal suara halus. 

Melalui Samyama (terhadap samskara ini), kondisi citta makhluk hidup diketahui; 
tetapi itu belum mendukung untuk mengetahui isinya, bila ia tidak direfleksikan dalam kehidupannya (melalui tindakan maupun ucapan). 
Melalui Samyama terhadap wujud (rupa), daya sensorik yang terhalang karena mata tidak mengadakan kontak-langsung dengan cahaya, dapat diketahui ‘nilai internalnya’ (antardhanam). Dengan antardhanam inilah sabda dapat dipahami. 
[YS III.19 - III.22] 

Sutra III.19 - III.22 ini sebetulnya masih dalam suatu keterkaitan dengan sutra III.17 dan III.18, sebelumnya. Secara implisit, penjelasannya sebetulnya telah disampaikan pada sutra-sutra sebelumnya. Tambahan khususnya disini adalah, bagaimana bila hanya sabda yang terdengar, namun sumber sabda tidak terlihat? Inilah yang diperjelas dalam sutra III.21 dan III.22.
Sabda dan rupa adalah dua unsur halus dari Panca Tanmatra—lima unsur halus yang membentuk jasad manusia—disamping rasa, gandha dan sparsa tanmatra. Mereka ada pada setiap makhluk berjasad. Mereka jugalah yang merupakan objek cerapan indria sensorik yang ada dalam setiap makhluk hidup. Melalui kewaspadaan, keterpusatan dan kejernihan Samyama, daya asosiatif dari sensasi luar dengan yang di dalam meningkat kepekaannya. Peningkatan daya asosiatif ini yang didukung oleh ketajaman kelima indria sensorik inilah yang melahirkan kemampuan ekstra-sensorik bagi sang penekun. Dengan kemampuan ini, sang penekun mampu mengetahui yang tidak kasat-indria, ‘yang tersembunyi’, ‘yang rahasia’.
Apa yang sesungguhnya perlu kita ketahui dari sebentuk prilaku atau tindakan dan ucapan, adalah maksud atau motifnya. Bukan sekedar apa yang kasat-indria saja. Bukankah kita bertindak pun berucap berdasarkan motif atau maksud ini? Bukankah ini sebagai ‘nilai internal’ dari setiap tindakan dan ucapan kita. Namun, darimanakah maksud atau motif itu berasal? Bila kita menyelidikinya ke dalam, akan kita temukan kalau mereka semua merupakan ekspresi dari keinginan atau hasrat terpendam sehubungan dengan kesan-kesan mental yang terbentuk pada pengalaman sebelumnya (samskara), yang juga membentuk ingatan (smrtti), yang mengisi gudang ingatan.
Ada pula yang menterjemahkan sutra III.21 sebagai: “Dengan pelaksanaan Samyama pada rupa, pada penundaan dari daya reseptif (daya yang memudahkan untuk menerima gagasan baru), hubungan antara mata (dari si pengamat) dan sinar (dari badan) dipecahkan dan badan menjadi ‘tak terlihat’”. Menterjemahkannya demikian, mengakibatkan kesinambungannya dengan sutra-sutra yang mendahului dan mengikutinya terputus, sehingga mengaburkan pengertian yang dikandungnya.
 
MENGETAHUI TANDA-TANDA KEMATIAN DAN MENDULANG KEMAMPUAN DAN PENGETAHUAN LAINNYA.

Kematian dan Kekuatan Maitri. 

Karmaphala ada dua jenis; yang sedang berlangsung dan yang belum aktif; melalui Samyama terhadapnya, diketahui tanda-tanda dan saat kematian. 
[YS III.23] 

Seorang Yogi terbiasa mengamati dengan jernih melalui visi-spiritualnya; beliau dapat mengetahui hampir segala sesuatu melalui Samyama. Semua itu hanyalah dampak dari proses pemurnian citta yang telah beliau jalani; tidak ada sesuatu yang terlalu aneh atau gaib sehingga tak terjelaskan dalam Yoga. Ia memang tampak aneh atau gaib di mata awam, karena awam masih belum menyentuh tataran citta, dan masih bergelimang dalam kekotoran, insting-insting destruktif dan dikacaukan oleh pusaran-pusaran berbagai bentuk pemikiran dan perasaan. 
Sejauh-jauhnya yang dapat tersentuh oleh awam adalah tataran intelek atau kecerdasan (buddhi), yang masih di bawah strata citta. Bhagavad Gita menjelaskan bahwa, yang lebih tinggi dari kemampuan semua indriya adalah manas, yang lebih tinggi dari kemampuan manas adalah buddhi; dan citta mengatasi semua itu.
Melalui rasa persahabatan dan welas asih universal (maitry), muncul kekuatan (balani). 
Melalui kekuatan ini diperoleh kekuatan spiritual yang lebih besar lagi. 
[YS III.24 dan III.25] 

Maitri, welas asih universal, disini diketengahkan sebagai salah-satu contoh. Sesungguhnya, baik maitri, karuna, mudhita maupun upeksa merupakan empat kekuatan dahsyat. Sifat-sifat luhur kedewataan ini juga merupakan kekuatan-kekuatan luhur kedewataan. Inilah jenis kekuatan yang amat bermanfaat bagi Sang Yogi maupun bagi makhluk lain dan alam sekelilingnya. Dalam ajaran Buddha, mereka disebut Brahma Vihara. Dapat dibayangkan, betapa besar kekuatan dari makhluk hidup yang bersemayam di alam penciptaan itu. Jadi memang dapat dipahami bila mereka disebut Empat Kesempurnaan (catur pamartha) dalam Hindu, yang layak dikembangkan oleh setiap orang. 
Mendulang Kemampuan dan Pengetahuan yang bermanfaat. 

Melalui pancaran cahaya, yang halus, yang tersembunyi dan yang jauh, dapat diketahui. 
Pengetahuan tentang semesta diperoleh lewat Samyama pada matahari (surya), 
lewat Samyama pada bulan (candra), pengetahuan tentang tata-surya diperoleh; 
lewat Samyama pada bintang-kutub (dhruva), pengetahuan tentang peredaran benda-benda langit diperoleh; 
lewat Samyama pada pusar (nabhi cakra), diperoleh pengetahuan tentang metabolisme tubuh; 
lewat Samyama pada rongga kerongkongan (kantha), diperoleh pengetahuan dan kekuatan menahan lapar dan haus; 
lewat Samyama pada pusat gravitasi (kurma nadi), diperoleh kemantapan pada badan; 
lewat Samyama pada cahaya di ubun-ubun (murdha), diperoleh kekuatan persepsi langsung seperti yang dipunyai oleh para siddha ; 
lewat Samyama pada intuisi (pratibha), diperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu; 
lewat Samyama pada jantung (hrdaye), diperoleh pengetahuan tentang berbagai kondisi citta. 
[YS III.26 - III.35] 

Sutra-sutra ini memberi paparan contoh-contoh dari keampuhan Samyama serta dampak internalnya bagi peningkatan Sang Yogi. Terhadapnya, ada yang menterjemahkan secara eksternal. Memang bagi eksternalis, kekuatan Samyama bisa diarahkan pada pertunjukan kekuatan-kekuatan gaib; oleh karenanyalah Patanjali juga mengingatkan lewat sutra III.38 (mendatang), tentang bahaya dari eksternalisasi itu.
Menurut Swami Satya Prakas, kekuatan-kekuatan itu dapat menyeret penekun menuju kejatuhan yang fatal. Sementara Swami Sivananda wanti-wanti mengingatkan, sampai-sampai beliau secara khusus menurunkan tulisan: "Beware of Siddhis". Sebaliknya, beliau amat menekankan pada vairagya, pelepasan bebagai kemelekatan indriawi dan keduniawian. Seorang Yogi, yang penulis kenal dengan baik, juga mengingatkan bahwa permainan siddhi seperti itu, hanyalah ‘mainan anak-anak’, yang menghambat kematangan dalam Yoga, bahkan menjerumuskan dan menyesatkan. Menjelang mengakhiri Pãda ini, kembali kita akan diingatkan pada kejatuhan Sang Yogi sebagai akibat membangga-banggakan posisi tinggi yang telah diraihnya.
Beberapa hasil dari Samyama tadi mungkin saja memang diperlukan oleh Sang Yogi untuk mengatasi halangan-halangan fisik, seperti lapar dan haus atau untuk memahami metabolisme tubuh dan menjaga kesehatan beliau, memberdayakan dan meningkatkan kemampuan daya-vital ataupun pengetahuan-pengetahuan lain yang bermanfaat bagi beliau dan orang banyak. 
Mengetahui kondisi citta, meningkatkan dan mengembangkan persepsi dan intuisi misalnya, sudah barang tentu amat kondusif sekaligus bermanfaat bagi Sang Yogi guna memcapai kesempurnaannya. Namun jelas semua itu bukan untuk dipamerkan atau guna menarik perhatian khalayak demi popularitas dan menarik pengikut ataupun demi kepentingan pribadi lain berdasarkan ke-aku-an. Justru hasrat-hasrat egoistis serupa inilah mesti dikikis.
 
KEMAMPUAN INTUITIF DAN BAHAYA SIDDHI-SIDDHI.

Pengembangan Kemampuan Intuitif dan Bahaya Siddhi-siddhi. 

Antara Sattva dan Purusa benar-benar sulit dibedakan; sementara itu segenap pengalaman dikualifikasikan dalam kerancuan pemahaman seperti itu; 
melalui Samyama pada manfaat Purusa diperoleh pengetahuan tentang Purusa, sehingga dapat dipilah dengan yang bukan Purusa. 
Darisana pula pendengaran, penglihatan, sentuhan, kecapan dan penciuman intuitif dilahirkan. 
[YS III.36 dan III.37] 

Tak banyak yang perlu dikomentari dari kedua sutra ini, kecuali pengembangan intuisi lewat Samyama dan penegasan lagi bahwasanya guna sattvam bisa sangat mengelirukan dengan Purusa. Purusa jernih, transparan, netral, tak terjangkau oleh nalar atau kecerdasan (buddhi) manusiawi yang tanpa sifat; sedangkan sattva adalah salah-satu sifat atau kekuatan luhur dari Prakriti. Sattva ditandai dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah pada kebajikan, moralitas dan pengetahuan suci. Dialah yang mewarnai citta, dan citta yang terwarnai olehnya disebut buddhi. 
Dalam Samãdhi Pãda, ini telah disinggung. Ia merupakan ajaran Sankhya yang juga diadopsi oleh Yoga. Memang, pengetahuan tentang itu hanya lewat mempelajari dari buku-buku kemudian menghafalkannya, bukanlah Yoga. Yoga mengantarkan pada penyelaman jauh lebih dalam. Ia mengantarkan pada pengalaman langsung sehingga Sang Yogi memahami dengan merasakannya secara langsung. 
Siddhi-siddhi, betapapun pentingnya itu dipandang dari sudut duniawi, merupakan penghalang-penghalang tercapainya Samãdhi. 
Dengan melepaskan penyebab dari keterikatan (bandha karana) dan melalui pengetahuan tentang penetrasi, citta bisa memasuki tubuh lain. 
[YS III.38 - III.39] 

Seperti juga telah diingatkan oleh Sri Swami Sivananda pada awal bagian ini, sutra III.38 ini menegaskan lagi bahaya dari siddhi-siddhi ini. Sutra III.5, sebelumnya telah sejak dini mengingatkan tentang kemana Samyama hendaknya diarahkan.
 
Bagi siddhi-siddhi ini Swami Satya Prakas Saraswati malah memberi penegasan kalau semua hasil-hasil gaib itu tidak ada hubungan apapun dengan Yoga. Seorang Yogi tidak mencari siddhi, kesaktian atau berbagai kekuatan gaib lainnya. Siddhi malah merupakan godaan dan seorang Yogi harus amat waspada agar jangan sampai tergoda. Ini akan menyeret dan menggelincirkannnya ke bawah, sehingga lenyaplah segala apa yang telah dicapainya.

Kemampuan-kemampuan Eksternal Dan Internal yang diperoleh dari Samyama. 

Dengan menguasai Udana, air, lumpur, duri, dan yang lainnya tidak dapat menyentuh; kematianpun teratasi. 
Dengan menguasai Samana, kerja api pencernaan diketahui. 
[YS III.40 dan III.41] 

Apa yang dipaparkan dalam dua sutra ini merupakan pencapaian eksternal; dapat dikatakan tidak terkait langsung dengan pencapaian tujuan akhir. Dengan tersingkirkannya abhinivesa, sirnalah ketakutan akan kematian. Jadi, bagi Sang Yogi itu tak perlu diatasi lagi. Dengan berusaha mengatasinya, malah mencerminkan bahwa Sang Yogi belum berhasil menghancurkan abhinivesa-nya. Sesungguhnya Sang Yogi tak takut mati, disamping beliau telah mengetahui ke alam apa beliau terlahirkan, atau bahkan tidak terlahirkan kembali di alam manapun sesudah ini. Jangankan beliau sendiri, orang lain atau makhluk lainpun dapat beliau ketahui asal dan tujuan kelahirannya.

Mungkin paparan ini dimaksudkan Patanjali sebagai peringatan saja; artinya bila itu dicapai, berarti Samyama yang dilakukan sudah baik dan benar langkah-langkahnya. Jadi sejenis rambu-rambu saja dalam perjalanan sadhana. Prana, Apana, Samana, Vyana dan Udana adalah lima daya-vital utama yang disebut juga Panca Prana, seperti yang pernah disinggung sebelumnya.
 
Dengan samyama pada telinga-angkasa (srotra akasa), datang pendengaran dewata atau pendengaran bijak (divya srotra). 
Samyama pada hubungan antara tubuh-angkasa (kaya akasa), datang keringanan bagai kapas dan kemampuan menjelajahi angkasa. 
Samyama pada kesadaran yang di luar jangkauan kecerdasan, mahavideha dicapai; dengan begitu tabir penutup sinar kesadaranpun hancur. 
[YS III.42 dan III.44] 

Ada dua pencapaian bersifat internal yang menarik disampaikan disini; masing-masing adalah divyasrotra dan mahavideha. Divyasrotra adalah pendengaran dewata. Kemampuan ini memungkinkan Sang Yogi untuk mendengar dan mengerti bahasa segenap makhluk hidup. Beliau juga mengerti bahasa yang digunakan oleh para dewa dan Tuhan sendiri di dalam memberikan petunjuk, bimbingan dan pengajaran. Yogi dengan kemampuan seperti inilah yang mampu menerima wahyu ilahi.
Mahavideha adalah kemampuan tingkat tinggi dimana Sang Yogi telah sepenuhnya mengatasi badan fisikal, daya-vital dan mental. Mereka telah sepenuhnya takluk dan ada dalam kekuasaan Sang Mahavideha, yang adalah sosok kesadaran ilahi. Disebutkan juga bahwa triguna —kekuatan yang ada pada dan menguasai setiap wujud— telah kehilangan daya cengkeramnya bagi beliau. Beliau bisa dengan mudah berganti-ganti mengenakan wujud, berganti dari wujud yang satu ke wujud yang lainnya. Alam wujud telah beliau tundukkan karena kini beliaulah pengejawantahan dari Hyang Purusa itu sendiri. Bagi beliau tak ada sesuatupun yang tidak diketahui.
 
Melalui Samyama pada materi kasar (sthula), bentuknya, kehalusannya, kandungannya dan manfaatnya, dunia material teratasi (bhuta jaya). 
Kemudian daripadanya tercapai anima dan yang lainnya (mahima, laghima dsb.), kesempurnaan tubuh dan kesempurnaan ketahanannya yang bersifat prinsipil. 
Wajah yang indah, keanggunan, kekuatan, dan kekerasan bak guntur merupakan kesempurnaan tubuh. 
[YS III.45 - III.47]
 
Pencapaian-pencapaian eksternal seperti yang banyak dipaparkan dalam Pãda ini, hendaklah dimaknai sebagai yang memberi kemudahan-kemudahan bagi seorang Yogi di dalam mencapai tujuan akhir. Halangan-halangan atau hambatan-hambatan yang bersifat jasmaniah atau keduniaan mungkin saja dialami oleh sang Yogi dalam pendakian spiritualnya karena karmavasana dari kehidupan lampaunya yang tak dapat ditolak. Disinilah kemudahan-kemudahan ini akan bermanfaat sebesar-besarnya demi kesempurnaan jñana, viveka dan prajña dari Sang Yogi.
 
POSISI SENTRAL VIVEKA DAN VAIRAGYA DI DALAM PEMANFAATAN SAMYAMA. 

Pemanfaatan Samyama dalam Pencapaian-pencapaian Internal yang kondusif.
 
Samyama pada daya pengenal (grahana), wujud keakuan itu sendiri (svarupa asmita), analisis terhadapnya, keputusan yang diambil berdasarkan padanya dan kegunaannya, menghasilkan kemampuan mengatasi sensasi-sensasi indriawi. 
Melalui kecepatan berpikir dan ketajaman daya pengenal non-indriawi itu, Pradhana terkuasai (pradhana jaya). 
[YS III.48 dan III.49] 

Pencapaian-pencapaian ini tentunya semakin meneguhkan Pratyahara, untuk selanjutnya menyempurnakan viveka sekaligus vairagya. Dua pilar yang maha penting dalam mendukung kemajuan-kemajuan menuju tujuan akhir. Disini tampak kemiripan antara mahavideha —yang diuraikan sebelumnya— dengan pradhanajaya. Pada prinsipnya, triguna telah tunduk pada keduanya.
Ada disebutkan dalam Sutra Pitaka bahwa Yang Arya Ananda — salah seorang siswa utama Sang Buddha— mempunyai ingatan yang amat kuat dan amat cerdas. Hampir semua sutra-sutra dalam Tri Pitaka berasal dari ingatan beliau. Sutra-sutra umumnya dibuka dengan kata-kata beliau: “Seperti yang pernah saya dengar......dst.” Konon beliau mempunyai kecepatan berpikir, mencerap dan menyampaikan pemikirannya 7 kali lebih cepat dari manusia yang cerdas; sementara itu, manusia yang cerdas memiliki kecepatan berpikir, mencerap dan menyampaikan pemikiran 7 kali lebih cepat dari manusia normal. Jadi, Ananda 7 x 7 kali lebih cepat dalam hal ini dari manusia biasa.
Makna sentral Viveka dan Vairagya.
 
Hanya melalui daya-pemilah antara sattvam dan Purusa itulah hadir kemahakuasaan dan kemahatahuan. 
Melalui ketidak-terikatan, bahkan padanya (vairagya), benih belenggu (dosa bija) hancur, disusul dengan tercapainya Kaivalya. 
Bila dalam pencapaian-pencapaian yang tinggi ini Sang Yogi masih terikat pada kebanggaan atas kemampuannya itu, bisa menyebabkan kejatuhan. 
[YS III.50 dan III.52]

Vairagya juga diartikan ketidak-berpihakan pada segala modifikasi dan transformasi Prakriti. Sattvam adalah salah-satu modifikasi itu. Secara singkat ia dapat diartikan sebagai ‘ketidak-berpihakan’ atau ‘ketidak-terikatan’. Umumnya kita lebih berpihak pada berbagai tuntutan jasmaniah. Kecenderungan ini jualah yang menguatkan lagi sifat egoistis kita. Diri, bagi kita, umumnya ditujukan pada jasad ini. Kita terbiasa mengidentifikasikan-diri pada jasad ini. J. Krishnamurti amat menekankan penolakan terhadap pandangan keliru ini. Beliau mengingatkan:
“Janganlah keliru memandang badan saudara itu sebagai saudara sendiri; demikian juga badan astral, maupun badan mental. Masing-masing badan itu akan berbuat seakan-akan dia-lah manusia, untuk memperoleh apa yang diperlukannya. Hendaknyalah saudara mengenalnya semua, dan kenalilah bahwa saudara sendiri sebagai yang berkuasa atasnya....orang yang tidak sadar berkata pada dirinya: ‘Saya perlu barang-barang ini dan saya mesti mengupayakannya’. Akan tetapi orang yang sadar, berkata: ‘Yang mempunyai keinginan itu bukanlah aku, ia harus menunggu sebentar’.”
Lebih jauh lagi, J. Krishnamurti mengingatkan: “Badan ini adalah khewan kendaraan saudara, kuda yang saudara kendarai. Oleh karenanya, ia haruslah saudara pelihara dengan baik, dan beri perawatan secukupnya; jangan disuruh bekerja kelewat batas; saudara harus memberinya makanan makanan dan minuman yang bersih secukupnya, jauhkan dari ‘percikan lumpur yang sekecil-kecilnya’. Oleh karena tanpa mempunyai badan yang suci dan sehat, saudara tidak akan dapat melaksanakan ‘tugas persiapan’, tak akan tertahan oleh saudara tekanan yang terus-menerus itu. Akan tetapi, hendaknya saudaralah yang menguasai badan itu, bukan badan itu yang menguasai saudara”.
Terkait dengan kejatuhan seorang yogi yang disebabkan oleh kebanggaan-diri semu ini, berikut dikutipkan tulisan pendek, sebagai pengingatan terakhir, dari Sri Swami Sivananda yang amat mengena.
“Seseorang bisa saja mengabaikan dan meninggalkan istri, anak-anak, kekayaan dan semua yang lainnya, namun amat sulit dan langka yang mengabaikan ‘nama dan kemasyuran’-nya. Pratishta memantapkan ‘nama dan kemasyuran’. Ini merupakan hambatan besar dalam merealisasikan Kesadaran Tuhan. Ini pada akhirnya mengantarkan pada kejatuhan. Ini tidak memungkinkan seorang sadhaka untuk melaju ke depan di jalan spiritual. Ia menjadi budak dari penghormatan dan pemuliaan. Segera setelah ia mencapai beberapa kemurnian dan kemajuan etika-moral, para awam akan berhamburan mengerumuninya, dan iapun mulai merasa nyaman dan mensyukurinya. Ia ditendang oleh kebangaan-dirinya sendiri.
“Ia pikir dirinya sebagai seorang Mahatma besar. Ia malah diperbudak oleh para pengagumnya. Ia tak bisa menyadari kejatuhannya yang perlahan. Saat ia mulai bergabung lagi dengan bebas dengan para perumah-tangga, iapun mulai kehilangan yang hanya secuil, yang diperolehnya selama delapan hingga sepuluh tahun dalam sadhana yang intens. Dan kini, ia tidak lagi dapat mempengaruhi khalayak. Para pengikutnyapun mulai meninggalkannya, oleh karena mereka tidak menemukan pelipur hati atau pengaruh spiritual apapun dengan bergabung dengannya.
“Orang-orang pada berkhayal bahwa Sang Mahatma memiliki banyak siddhi-siddhi dan dimana mereka yang mandul bisa memperoleh anak-anak melalui kemurahan hatinya, memperoleh kesehatan yang sempurna, jejamuan Himalaya yang dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit dan mampu membangunkan aura serta kebugaran tubuh. Mereka umumnya memang selalu mendekati para sadhu dengan beraneka motif mementingkan diri sendiri terselubung dan yang sejenisnya.
“Dengan bergabung dengan orang-orang yang tidak semestinya, sang sadhaka kehilangan vairagya dan viveka. Kemelekatan dan kenafsuanpun tubuh kian semarak dalam benaknya. Oleh karenanyalah, Anda harus selalu ‘menyembunyikan diri’. Tak seorangpun boleh tahu sadhana jenis apa yang sedang Anda praktekkan. Anda hendaknya jangan sekali-kali mencoba untuk memamerkan kekuatan-kekuatan psikik dari siddhi-siddhi. Anda harus amat rendah hati. Anda mesti bertindak bagaikan orang biasa, awam. Anda tak boleh menerima hadiah-hadiah besar dari para perumah-tangga kaya. Anda akan dipengaruhi dengan pemikiran-pemikiran destruktif oleh yang memberi hadiah-hadiah. Anda hendaknya jangan pernah berpikir bahwa Anda lebih unggul dari orang ini atau orang itu. Anda tak boleh memperlakukan orang lain dengan jijik. Anda harus memperlakukan orang lain dengan penghormatan besar dan dengan pertimbangan yang dalam. Penghargaan pasti datang dengan sendirinya. Anda harus memperlakukan penghormatan, pemuliaan, nama dan kemasyuran, layaknya tahi sapi dan racun, sementara mengenakan ketidak-berhargaan dan tanpa-penghormatan layaknya kalung yang menghiasi leher Anda setiap waktu. Hanya dengan begitulah Anda akan mencapai tujuan dengan aman sentosa”. 
oOo

 
TERCAPAINYA CITA-CITA SANG YOGI.

Yang diharapkan dari Pemanfaatan Samyama yang benar.
 
Melalui Samyama terhadap kejadian-kejadian dan kelangsungannya, dicapai viveka. 
Darisini muncul ketajaman visi terhadap lebih dari satu hal atau kejadian yang serupa, yang tidak dapat dibedakan menurut kelas, karakteristik, atau posisinya. 
Pemahaman secara simultan terhadap semua objek berikut setiap aspeknya adalah viveka-jñana. 
[YS III.53 - III.55] 

Viveka-jñana merupakan pencapaian internal, sebagai kulminasi pendakian spiritual seorang sadhaka. Disini tampak bahwa yoga mengarahkan para sadhaka pada Jñana Yoga atau menjadi seorang jñani sempurna. Dalam berguru spiritual di jaman dahulu, konon yang mula pertama diminta adalah penguasaan viveka dan vairagya, demikian Swami Krishnananda pernah mengutarakan.
Terkait dengan itu ada baiknya kita simak paparan pengalaman J. Krishnamurti, dalam ‘masa persiapan’-nya sebelum memasuki tingkat diksha (inisiasi). Dalam sebuah kitab kecil, yang ketika itu ditulisnya di bawah bimbingan Annie Besant, yang diberi judul (dalam bahasa Indonesia) "Dikaki Guru Sejati", diungkap: 
“Mereka yang berdiri disamping-Nya, tahu apa sebabnya mereka ada disini, dan apa yang seharusnya mereka perbuat, merekapun berusaha melakukannya. Orang-orang lain, belum tahu apa yang harus mereka kerjakan, dan oleh karena itu mereka sering berbuat bodoh. Mereka mencoba menemukan jalan untuk diri sendiri, yang menurut pikiran mereka akan memberi kesenangan pada mereka, tanpa mengerti, bahwa ‘semuanya adalah Satu’; dan dengan hanya menuruti kehendak 'Yang Satu' itulah sebenarnya kebahagiaan teranugrahi kepada siapapun juga. Semestinya mereka mengikuti yang sejati, akan tetapi mereka malah mengikuti yang tidak-sejati. Sebelum mereka dapat belajar membedakan yang dua itu, belumlah mereka menempatkan dirinya di sisi Tuhan. Jadi, penguasaan viveka adalah langkah yang pertama”. 

Seperti yang dipaparkan dalam sutra III.55, Samyama hendaknya diarahkan pada penyempurnaan viveka-jñana; ia jelas bukan untuk mengumpulkan berbagai siddhi, atas dalih apapun. Patanjali memaparkan Yoga Sutra ini utamanya guna menunjukkan jalan menuju Kaivalyam; bukan untuk menjerumuskan siapapun lantaran dibelenggu oleh siddhi-siddhi itu.

Bagi mereka yang memang punya motivasi-awal ingin menarik dan mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya, siddhi-siddhi tentu merupakan pencapaian penting yang amat didambakan. Siddhi-siddhi —kemampuan adikodrati yang memang mengagumkan ini—amat menggiurkan dan punya daya-tarik yang besar bagi kebanyakan orang. Awam amat mudah dikecoh dan ditarik lewat pamer siddhi-siddhi ini. Paradigmanya bak ‘gayung bersambut’. Padahal Ashtanga Yoga samasekali tidak dirancang untuk itu. Ini akan lebih ditegaskan lagi oleh Patanjali dalam Kaivalya Pãda.

Dalam “Understanding Yoga”, Sri Swami Sivananda dengan mengingatkan para peminat Yoga agar berhati-hati. Beliau memaparkan beberapa contoh yang umum ditemukan, yang beliau tegaskan sebagai ‘bukan Yoga’. Diantara contoh-contoh yang seringkali mengelirukan dan mengecoh awam itu adalah: 
• Seorang lelaki mengubur dirinya hidup-hidup dalam satu kotak di bawah tanah. Ia melakukannya dengan menutup lubang hidungnya dengan menggunakan Khechari Mudra (salah-satu cara pengaturan nafas dalam HathaYoga). Tanpa diragukan lagi, ini memang sebuah Kriya yang sulit. Ia kemudian memasuki Jada Samãdhi. Ini merupakan suatu keadaan seperti tidur nyenyak. Samskara-samskara dan vasana-vasana tidak terbakar melalui Samãdhi ini. Ia tidak bangkit kembali dengan membawa serta pengetahuan luhur superintuisional (jñana). Ini tak dapat memberikan Mukti atau Kebebasan. Ini hanya sejenis pertunjukan prestasi kekuatan saja. Ini bukanlah ciri spiritualitas sejati. Orang-orang umumnya memanfaatkan Kriya ini untuk mendapatkan uang, nama dan kemasyuran. Setelah mereka keluar dari kotak itu, merekapun menengadahkan tangannya meminta uang. Mereka juga seringkali membuat transaksi terlebih dahulu, sebelum mereka masuk ke dalam kotak itu. 
• Seseorang yang terikat tangan dan kakinya dengan rantai besi dan dikurung dalam satu ruangan. Sebelum Anda mengunci pintu ruangan itu ia berdiri di belakang Anda. Masuklah ke dalam ruangan untuk melihatnya; Andapun melihatnya masih disana. Tak diragukan lagi, ini tentu teramat mengagumkan. Ini hanyalah sebuah trik. Ini sejenis jãlam atau ilusi. 
• Beberapa orang dapat duduk di atas selembar papan yang dipenuhi paku-paku tajam sambil mengunyah ular layaknya mengunyah coklat. Bila Anda menusukkan sebatang jarum panjang pada kedua tangannya; tak ada darah yang keluar. 
• Beberapa diantaranya dapat menuangkan air dari batu. Seorang yogi palsu, charlatan yogi, dapat mempertunjukkan semua itu melalui kehebatan trik-trik atau jãlam-nya. Akan tetapi semua itu tidak ada hubungannya samasekali dengan yoga sejati. 
Masyarakat awam umumnya akan mudah terkecoh dan menyangka bahwa seseorang sebagai seorang yogi atau Guru spiritual, bila ia mampu menunjukkan beberapa bentuk siddhi. Ini benar-benar merupakan kekeliruan serius. Mereka tak seharusnya dipercaya secara berlebihan hanya lantaran itu. Awam amat mudah menjadi korban tipuan para yogi palsu ini. Mereka seharusnya menggunakan nalar sehatnya. Mereka seharusnya mempelajari cara-cara yang digunakan, kebiasaan-kebiasaan, watak, kelakuan, vritti, svabhava, keturunan, dsb., dari para calon Guru spiritualnya, dan bila perlu menguji pengetahuan mereka tentang kitab-kitab suci, sebelum mereka menarik suatu kesimpulan apapun tentang itu.
 
Tercapainya cita-cita Sang Yogi Sejati.
 
Manakala sattvam sama sucinya dengan Purusa, inilah Kaivalyam. 
[YS III.56] 

Sattvam merupakan sifat luhur dari Pradhana, dari semesta material ini. Sementara Purusa sendiri memang suci adanya. Sattvam yang benar-benar murni —samasekali tanpa kontaminasi dari sifat Rajas dan Tamas— akan sedemikian jernih dan transparannya sehingga tidak memberi pewarnaan atau penyifatan lain apapun kepada Purusa—yang sejak awal memang suci itu. Sattvam yang benar-benar murni sama artinya dengan tidak ada samasekali pengaruhnya terhadap Purusa, sehingga Purusa kembali tegak dalam kesucian-Nya. Kondisi inilah yang dimaksudkan dengan ‘sattvam sama sucinya dengan Purusa’. Walaupun hampir sepanjang bagian ini kita disajikan banyak siddhi yang dimungkinkan lewat Samyama, namun pada sutra terakhir ini kita diberi penegasan yang teramat jelas, bahwasanya Kaivalya identik dengan Kesucian Batin. Batin yang bebas dari segala kekotoran adalah batin yang suci. Dalam batin yang suci inilah Kaivalyam ditemukan. Jalan Pensucian Batin juga adalah Jalan Pembebasan.


 
MENGGAPAI KEBEBASAN SEJATI. 

Memasuki Kaivalya Pãda adalah memasuki gerbang paparan alam Kebebasan Sejati. Untuk dapat mengikutinya dengan baik, diperlukan pemahaman yang memadai tentang konsepsi pembebasan ala Sankhya —yang merupakan pijakan dasar dari Yoga Darsana, disamping memahami beberapa prinsip pokok tentang Hukum Karma, terutama yang terkait dengan masa —lampau, kini dan yang akan datang— terbentuknya vasana dan matangnya vasana menjadi phala. Semua ini tak dapat dipisahkan dengan doktrin Samsara.

Siddhi sebagai Alat-bantu untuk menyingkirkan Hambatan-hambatan Alamiah. 

Dari pembawaan kelahiran, obat-obatan tertentu (usadhi), mantra, tapa ataupun samãdhi, dapat bangkit kekuatan supra-natural (siddhi). 
Evolusi dari yang lebih rendah menuju yang lebih tinggi dicapai, selaras dengan hukum alam (prakriti). 
Peralatan —yang berasal dari prakriti—tidaklah menyebabkan manifestasi, namun daripadanya dimungkinkan tersingkirkannya hambatan-hambatan alami, layaknya yang dilakukan oleh seorang petani. 
[YS IV.1 - IV.3] 

Siddhi-siddhi merupakan sesuatu yang alamiah bagi Sang Yogi; mereka datang dengan sendirinya, bersamaan dengan ditundukkannya pengaruh dari kekuatan Prakriti. Siddhi-siddhi tidak lagi berbahaya bagi beliau; mereka telah kehilangan daya pikatnya di mata Sang Yogi. Seorang Yogi Sejati telah terbekali secukupnya sikap-batin luhur pada tahapan-tahapan Yama-Niyama dan Asana, terbekali daya tahan dan proteksi terhadap godaan-godaan luar dalam Pranayama dan Pratyahara, maupun kekuatan tandingan dalam Samyama.
Beliau amat maklum bahwa, segala sesuatu yang beliau alami dan jalani di dunia, hanya bekerja sesuai alurnya Prakriti. Sementara beliau masih menyandang jasad yang berasal dari alam, maka ia mesti toleran pada kaidah-kaidah alam. Seorang Yogi Sejati bukanlah penentang hukum alam; bahkan sebaliknya, beliau hidup selaras dan harmonis dengannya, kendati Purusa telah tegak dan berdiri dengan ajegnya.
Seorang petani yang baik, akan dengan rajin membersihkan saluran air yang mengairi sawahnya. Sampah-sampah ataupun kotoran yang menghalangi aliran air tentu tak dibiarkan begitu saja mengganggu, apalagi sampai menyumbatnya. Membersihkan saluran, tidak melawan hukum alam. Bahkan sebaliknya; dengan membersihkan saluran air petani membantu pemanfaatan air dengan baik sehingga tak terbuang sia-sia. Saluran yang tersumbat oleh sampah, kotoran, rerumputan dan tanaman air liar dapat menjadi penyebab meluapnya air sehingga ia terbuang percuma dan membanjiri area sekitarnya. 
Tersingkirnya Asmita mencerahkan kembali Citta.
 
Citta yang jernih (cittany), tanpa dikotori oleh berbagai bentuk-bentuk pemikiran (nirmana), dimungkinkan dari tersingkirkannya ke-aku-an (asmita). 
Berbagai aktivitas pikiran yang beraneka-ragam dan tak terhitung banyaknya dalam kehidupan duniawi (pravritti) ini, kini terkendali hanya oleh satu kesatuan citta. 
Apa yang terlahir melalui dhyana, tidak menyisakan bekas atau pengaruhnya lagi. 
Karma bukan lagi hitam atau putih bagi Sang Yogi, apalagi tiga jenis —hitam, putih dan abu-abu—seperti bagi yang bukan Yogi. 
Dari semua jenis perbuatan beliau, pahala yang dihasilkan hanya berupa perwujudan dari vasana yang telah matang saja. 
[YS IV.4 - IV.8] 

Asmita-lah yang mengalami dan yang merasakan baik atau buruk dari perbuatan, karena dialah yang menganggap dirinya sebagai ‘pelaku’, yang beranggapan bahwa ‘ini aku’, ‘ini punyaku’ atau sejenisnya. Dengan tersingkirkannya asmita, maka kléša lain pun kehilangan dayanya. Dengan hilangnya daya hambat kléša, citta termurnikan kembali. Sang Yogi tak lagi menerima pahala baik atau buruk dari perbuatannya.
Tiada subha ataupun asubha karmavasana —yang dikiaskan sebagai hitam-putih (krsna-sukla) oleh Patanjali—lagi yang berpotensi sebagai penyebab berlangsungnya kelahiran berikut. Sesungguhnyalah tumimbal-lahir telah hancur bagi beliau; kelangsungan hidup dalam kurun kelahiran ini hanya mengikuti prarabdha karma-nya dan hukum alam yang berlaku bagi jasad yang masih dikenakannya. Sancita karma vasana-nya telah terbakar habis oleh api Yoga. Demikianlah Sang Jivanmukta. Apa yang beliau lakukan merupakan nishkamakarma, perbuatan tanpa pamerih, tanpa motivasi. Sisa umur beliau abdikan bagi semua, demi kebaikan semua. Sesungguhnya, kelahirannya ini merupakan kelahiran terakhirnya; tiada suatu sebabpun yang mengharuskannya untuk terlahir di alam kehidupan manapun. 
Bagaimana dengan mereka yang telah, menjelang, maupun belum berhasil dalam kehidupannya ini? Rinciannya disampaikan lewat paparan sutra-sutra berikut.
 
EVOLUSI KOSMIS DAN TUJUAN.

Evolusi Kosmis tetap berjalan sesuai hukumnya.
 
Walaupun dipisahkan oleh kelahiran (jati), tempat (desa), maupun waktu (kala), yang berkaitan dengan ingatan (smrti), kesan-kesan (samskara) serta kebiasaan-kebiasaan tetap berlangsung, karena yang merangsangnya tetap ada, namun itu tidak menjadi penyebab lagi (anadhitvam). 
Hadirnya sebab, motif, struktur, dan tujuannya tetap mempersatukan mereka (smrti, samskara serta kebiasaan-kebiasaan); hanya dengan tidak hadirnya semua (sebab, motif, struktur, dan tujuan) itulah mereka tidak hadir pula. 
Masa lampau dan masa depan (atita-anagata) eksis secara bergantian betapa adanya, mengikuti prinsip-prinsip kosmis yang mengaturnya (dharmanah). 
Baik berwujud kasar maupun halus, mereka hanyalah guna yang menyertai Atman (guna atmanah). 
(Sedangkan) evolusi menuju panunggalan merupakan realitas dari keberadaan Sang Yogi kini (vastu tattvam). 
[YS IV.9 - IV.14] 

Sebagai penjelasan atas paparan sutra-sutra sebelumnya, kini Patanjali memaparkan prinsip hukum semesta berkaitan dengan sebab-akibat yang saling bergantungan dari semua keberadaan, disamping kesinambungan proses evolusi yang dialami oleh seorang Yogi yang belum berhasil menuntaskan evolusinya.
Sepanjang masih ada yang memotivasi kemunculan suatu sebab, maka selama itu pula akibat akan tetap menyertainya. Segala macam bentuk kelahiran, berapa lama, kapan serta dimana kelahiran itu terjadi, apakah dalam wujud kasar —dengan panca mahabhuta— maupun halus hanya menggunakan kelima atau beberapa tan-matra saja, akan selalu terjadi. Semua itu berpangkal pada adanya penyebab, motif, struktur atau susunannya, serta tujuan-tujuannya yang masih tersisa. Demikian pula pada waktu atau jaman apa kelahiran berikutnya akan terjadi, dan berapa lama harus dialami. 
Dalam pada itu, kelangsungan waktu berjalan sesuai hukumnya, masa depan menjadi masa kini, dan masa kini terlewati dan menjadi masa lalu. Prinsip kosmis yang mengatur segala keberadaan. Berdasarkan hukum kosmis itulah, bila seorang pendamba kebebasan, penyatuan, dalam kurun tertentu mengakhiri hidupnya pada satu alam kehidupan tertentu, kesan-kesan (samskara) serta ingatan-ingatannya akan dambaannya itu tetap terbawa sebagai benih-benih perbuatan bagi kelahiran berikutnya (kriyamana karma vasana) untuk diteruskannya. Kriyamana karma-vasana inilah yang menjadi benih kelahiran demi kelahiran di berbagai alam kehidupan, kasar maupun halus. Ia menjadi sahabat setia dalam berbagai kelahiran.
Beruntunglah mereka yang telah terjun ke dalam Yoga, para pendamba penyatuan dan kebebasan (mumukshu) dalam kelahirannya ini; pencapaian yang diraihnya dalam kehidupan ini membentuk vasana-nya dan akan terus membimbingnya dalam evolusi spiritual pada kelahiran-kelahiran berikutnya. Itulah sesungguhnya yang menjadi realitas keberadaannya; evolusi yang berkelanjutan hingga tercapainya tujuan akhir, menyatu dan melebur di dalam-Nya. Paradigma ini, juga ditegaskan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita. 
Tujuan tetap sama, hanya pengkondisinya yang berbeda.
 
Tujuan (vastu) tetap sama, sementara kondisi yang menyertai citta-lah yang berbeda—karena cara kerjanya berbeda. 
Vastu tidaklah tergantung pada satu kondisi tertentu dari citta saja, karena bila kondisi itu tak hadir, lantas apa yang akan terjadi padanya? 
Oleh terjadinya pencitraan terhadap citta —yang disebabkan oleh pusaran-pusaran pikiran— inilah vastu menjadi disadari atau tidak disadari (jñatãjñatam). 
Pengetahuan yang ajeg merupakan modifikasi-modifikasi dari citta juga adanya, namun bagi Sang Yogi, itu terkendali sepenuhnya oleh kehadiran Hyang Purusa yang tiada berubah. 
[YS IV.15 - IV.18] 

Bagi yang telah terjun menuju kebebasan, tujuan satu-satunya adalah kaivalyam. Mereka ini juga disebut sebagai ‘pelawan arus’, yang dengan gagah-berani terjun melawan arus tumimbal-lahir yang maha-deras ini. Sekali tujuan ditetapkan dalam suatu kelahiran, ia akan mengalir sebagai missi lanjutan dalam kelahiran-kelahiran berikutnya.
Mungkin saja citta dalam suatu kelahirannya atau dalam kondisi tertentu, tampak berbeda; akan tetapi citta sesungguhnya jernih, dan kembali terjernihkan seperti sediakala. Pengalaman-pengalaman dari pendakian spiritualnya di masa lalu, pasti muncul kembali sebagai ‘vasana spiritual’. Paradigma ini seringkali mengecoh banyak orang. Jangankan orang awam, para peminat dan penekun-pun bisa terkecoh karenanya; padahal keterkecohan itu tak perlu terjadi bila Hukum Karma Phala dan Samsara benar-benar dipahami. Yang bijak mengatakan bahwa, derajat kesucian batin seseorang hanya dapat diketahui oleh mereka yang memiliki kesucian batin yang sekurang-kurangnya setara dengannya.
Pengalaman-pengalaman pada kehidupan lampau yang tersublimasi berupa vasana inilah yang mewarnai atau memberi citra-artifisial kepada pandangan murni, seperti juga halnya dengan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan ini. Mereka mengendap sebagai kesan-kesan mental dan ingatan dan membentuk kebiasaan-kebiasaan. Nah, kumpulan mereka inilah yang ter-refleksi di permukaan berupa kepribadian berikut nasib seseorang dalam setiap kelahirannya.

 
YANG MENGHALANGI PENCERAHAN SEMPURNA.

Menyadari Pencitraan yang bisa menghalangi Pencerahan Sempurna.
 
Buddhi tidak bersinar sendiri, sebab ia berasal dari apa yang dicerap (drsyatvat); 
dan pada saat yang bersamaan dua hal tak dapat dicerap sekaligus. 
Kesadaran hanya bertindak sebagai perantara dari ingatan dan kesan-kesan yang dicerap oleh buddhi dan mengacaukannya; ini merupakan kemunduran. 
[YS IV.19 dan IV.21]
 
Dalam kejernihan, dalam hening, yang bekerja hanya kesadaran dan pencerapan atau persepsi murni. Pencerapan murni sebetulnya juga buddhi adanya. Namun disini ia ada dalam keadaan pasif. Ia tidak pilih-pilih dan tidak melakukan kerja menilai, bahkan tidak melakukan pencerapan secara khusus. Ia lebih terfungsikan sekedar sebagai pemerhati. Seperti telah disampaikan sebelumnya, smrti, vasana-vasana dan samskara-samaskara-lah yang memberi pewarnaan terhadap apa yang dicerap. Mereka hanyalah hasil cerapan dari buddhi. Buddhi-lah yang mencerap dan mengalami pewarnaan itu; bukan citta. Bilamana pewarnaan ini terjadi, maka ini merupakan kemunduran bagi sang penekun. Berikut ditegaskan kembali bahwa:

(Sesungguhnya) citta tidak dipengaruhi oleh samskara; yang berubah-ubah adalah buddhi, oleh karena buddhi mengadakan identifikasi menurut intuisinya. 
Ia yang menyadari, paham kalau semua itu hanyalah pemahaman yang telah mengalami pewarnaan. 
Walaupun diperlengkapi dengan tak-terhitung banyaknya keinginan yang disebabkan oleh kombinasi dari vasana-vasana, namun semua itu dipahami hanya sebagai pewarnaan atau pencitraan saja. 
[YS IV.22 - IV.24] 

Bila suatu benda berwarna didekatkan pada sebuah kristal asli yang jernih, maka warna dari benda tersebut tampak mewarnai kristal itu. Bila benda berwarna merah yang mendekatinya, maka merah-lah tampaknya kristal itu; walaupun sesungguhnya, kristal tersebut tidak berwarna. Daya-cerapnya yang besar terhadap cahaya-lah yang menyebabkan ia seolah-olah berwarna. Secara analogis, dapat dikatakan bahwa daya-cerap itu merupakan perangkat kerja dari buddhi, dan kristal itu adalah citta. 
Menyadari kalau demikian kejadiannya, para bijak berulang-ulang mengajurkan para penekun untuk bergabung dan mendekatkan-diri dengan para bijak dalam satsanga, guyub dengan para suciwan, dan menjauhi paguyuban tak senonoh. Dengan demikian, apa yang tercerap akan terseleksi, sehingga bersifat mengingatkan dan mengarahkan pada penjernihan kembali citta dan menguatkan viveka.
Viveka senantiasa menyertai Sang Yogi.
 
Bagi yang telah sempurna visi spiritualnya (visesa darsina atma), Atman-nya sepenuhnya terlepas dari gelora perasaan dan gejolak pikiran. 
Sejak inilah viveka menjadi sentosa, dan kesadaran menggapai Kaivalya. 
Walaupun masih terjadi selingan berupa kemunculan pemikiran-pemikiran lain, sebagai konsekwensi dari kecenderungan-kecenderungan sebelumnya (samskarãbhyah) hingga interval tertentu, pemusnahannya tak sulit lagi; sama halnya dengan pemusnahan kléša (yang sudah dipaparkan sebelumnya). 
[YS IV.25 - IV.28] 

Yoga memang merupakan pengembangan dari Sankhya. Dalam Sankhya belum menyebut-nyebut Isvara maupun Atman, dan hanya menyebut Purusa. Demikian pula halnya dengan citta, Sankhya menyebutnya mahat yang secara esensial dapat dipadankan dengan citta. Baik mahat maupun citta bukanlah produk, namun lebih merupakan gagasan-awal yang melatari diproduksinya berbagai produk. Persis di bawah citta ada buddhi —intelek, daya cerap, setelah itu barulah asmita dan manas menyusul. Buddhi, asmita dan manas barulah merupakan produk, dan berada dalam hierarki yang lebih rendah dibanding citta.
Dalam Wrhaspati Tattwa dan Tattwa Jñana ditemukan istilah ambek—yang dalam penggunaannya dapat diartikan sebagai hasrat yang kuat yang diserta semangat yang muncul sebagai akibat dari munculnya bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan akibat terjadinya interaksi dan adanya kontak-kontak indriawi maupun ingatan. Ia merupakan jelmaan langsung dari manas. Daripadanyalah muncul berbagai bentuk keinginan yang begitu banyak jumlah dan ragamnya. Beliau yang telah jernih, yang telah bersinar kembali citta-nya, viveka-nya pun jadi semakin sempurna. Oleh karenanyalah—seperti yang disebutkan dalam sutra tadi—manas dan ambek tak lagi mempengaruhi beliau.
Pemusnahan samskarãbhyah disebutkan sama dengan pemusnahan kléša. Pada prinsipnya ia adalah pemusnahan ego, asmita atau ahamkara itu sendiri. Ego-lah sumber dari kléša yang lainnya. Ego menjadikan segala sesuatunya terpusat pada si diri semu ini. Disinilah semua itu bermukim dan berpotensi mengotori. Asmita terutama didominasi oleh rajas dan tamas. Sesuai kejadiannya, asmita masih terhitung adik kandung dari buddhi; walaupun ia amat kuat, sesungguhnya buddhi yang terlengkapi viveka mampu menundukkannya. Namun, bagi seorang Yogi yang telah bersinar kembali citta-nya, kabut kléša sirna secara pasti, tak ubahnya kabut pagi yang sirna bersamaan dengan terbitnya sang mentari.

 
DHARMAMEGHA SAMÃDHI DAN SAMPAINYA DI PUNCAK.

Dharmamegha Samãdhi, berbuahnya kebajikan Sang Yogi.
 
Sang Yogi Sempurna tak lagi mempunyai keterikatan pada keakuan, sebagai akibat dari perlindungan viveka secara terus-menerus; 
ini membentuk kabut kebajikan (dharmamegha samãdhi), sebagai hasil dari meditasi yang terus-menerus pada kebajikan. 
Inilah yang menjadi pembebas dari segala pengaruh karma dan kléša. 
Segala bentuk kekotoran batin sirna (sarvãwarana malãpetasya), karena bagi pengetahuan suci yang tiada terbatas semesta material hanya kecil saja, tiada arti. 
[YS IV.29 - IV.31]
 
Apapun yang dilakukan oleh Sang Yogi setelah keberhasilannya, adalah kebajikan. Jadi setelah pencapaian, perbuatan-perbuatan menimbulkan ‘kabut kebajikan’ (dharma megha). Seperti disebutkan, inilah yang beliau gunakan untuk memastikan musnahnya karma-vasana dan kléša. Paradigma ini ada yang menyebutkannya dengan istilah ‘membakar karma’. Bila kita tengok lagi sutra I.24 Samãdhi Pãda yang mengatakan “Isvara adalah Purusa Istimewa (purusa visesa Isvarah), tak tersentuh oleh kekotoran batin (kléša) yang mengakibatkan penderitaan, perbuatan-perbuatan (karma) dan kesan serta hasil dari perbuatan-perbuatan itu”; maka dapat dipahami kemana kita sesungguhnya digiring oleh Patanjali. 

Akan tetapi, bagi yang masih gandrung pada phala dari kebajikannya, dan berkata dalam hati: “Inilah phala dari upaya dan kebajikanku selama ini”, asmita dan rasa kepemilikan (mamakara) segera menyergap lagi. Bukan hanya memaparkan status itu saja, agaknya Patanjali juga mengingatkan lagi akan hal ini dalam sutra di atas. Karena subha karma phala yang menumpuk sedemikian banyaknya membentuk dharma megha, mereka bisa jadi tak terbakar habis dalam kehidupan ini. Dan ini dapat menarik beliau untuk terlahir di alam surga atau alam para dewa. Ini juga merupakan pengaruh dari sisa-sisa kléša yang halus, karena masih tersisanya asmita.
 
Fenomena terbentuknya dharma megha jelas tidak dapat diabaikan oleh para sadhaka sejati yang benar-benar mendambakan dan mengupayakan Kaivalyam. Dalam “Vivekachudamani”-nya, Sri Sankaracharya mengingatkan: “Ia yang benar-benar telah membunuh kenafsuan-nya dengan pedang Vairagya yang sempurna, menyeberangi samudra Samsara, dengan tanpa halangan dan hambatan-hambatan”.
 
Sementara Wrhaspati Tattwa mengajukan tiga resep utama: 
(i) Jñana-bhyudreka —pemahaman menyeluruh dan utuh tentang berbagai implikasi pengetahuan spiritual; 
(ii) Indriyayogamarga —tidak terbelenggu dan diperbudak oleh indria dan tenggelam di dalam kenikmatan nafsu sensual; dan 
(iii) Trsnadosaksaya —tidak terikat akan phala perbuatan baik dan bebas dari cinta dan benci. 

Hingga disini, tampak kalau viveka dan vairagya disebut-sebut dalam banyak kesempatan, dan dalam posisi yang amat menentukan. Mereka sebetulnya adalah dua dari sadhana chatushtaya. Selengkapnya adalah: viveka, vairagya, sat sampat dan mumukshutva. Bhagawan Sathya Narayana memandang sadhana chatushtaya sedemikian pentingnya dan menyebutnya sebagai persyaratan mutlak bagi seorang Jñani. Kecuali sat sampat, ketiganya telah dibahas dan disinggung sebelumnya. Mereka sadhana-sadhana tingkat tinggi yang amat fundamental bagi keberhasilan seorang sadhaka, disamping sebagai tandingan dari sifat-sifat atau kecenderungan ke-asura-an atau asuri sampat.
 
Sat sampat atau enam sadhana kedewataan ini terbentuk oleh enam sadhana utama, yakni: 
• Sama: dapat mengendalikan kecenderungan pikiran dan perasaan yang senantiasa mengarah ke dunia luar. Pratyahara mempersiapkan seorang sadhaka untuk mencapainya.
• Dama: dapat menasehati diri sendiri dan mengendalikan indria. Ini terkait dengan Svadyaya dan Tapa, dua komponen praktek spiritual dalam Kriya Yoga; disamping Pratyahara. 
• Uparathi: kemampuan menarik indria dari dunia objek, untuk diarahkan ke dalam. Lagi-lagi ini terkait langsung dengan Pratyahara. 
• Titiksha: kemampuan untuk menanggung kesulitan dan penderitaan dengan sabar, tabah dan ketenangan. Ini merupakan hasil dari pelatihan pengekangan atau Tapa. 
• Sraddha: keyakinan yang teguh pada-Nya dan pada jalan menuju-Nya. Ini secara pasti membangun kesempurnaan Isvarapranidhana. 
• Samadhana: kemantapan dan keseimbangan batin; ia berpadanan dengan Upeksha dalam Catur Paramãrtha. 
Mencapai Mukti jelas bukan pendakian yang mudah. Seorang Yogi yang cukup berhasil sekalipun, masih menghadapi berbagai godaan-godaan halus yang dapat menjatuhkannya. Setelah Pangeran Siddharta memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Ke-buddha-an, Mara masih tetap menggoda bahkan hingga setahun sesudahnya. Pengingatan wanti-wanti dari Patanjali sepantasnyalah dipandang sebagai sesuatu yang senantiasa mengingatkan untuk berhati-hati, agar jangan sampai terjebak oleh hasil kebajikan sendiri, disamping mengingatkan secara wanti-wanti untuk senantiasa menyempurnakan viveka-jñana.
Manakala Sang Yogi sampai pada Puncak Pendakiannya.
 
Setelah berhasil segala upayanya, evolusi dari transformasi triguna-pun terhenti (samaptir gunãnãm). 
Kesinambungan momen-momen dalam evolusi akhirnya dipahami dengan jelas hanya sebagai proses transformasi yang berbeda satu dengan yang lainnya, oleh Sang Yogi.
Bersamaan dengan kembalinya guna ke alamnya (gunãnãm prati prasavah), tiada apapun yang perlu dicapai lagi (purusãrtha šúnyãnãm); inilah Kaivalyam; 
citta terang-benderang dalam kesujatian. 
[YS IV.32 - IV.34] 

Sri Swami Sivananda menerjemahkan sutra terakhir (IV.34) ini dengan: “Kemahardikan (Kaivalya) adalah status pada mana sifat-sifat semesta material (guna) mencapai keseimbangannya dan bergabung kembali ke asalnya, tidak lagi punya suatu kegunaan dalam kaitannya dengan Sanghyang Purusha (Sang Jiva). Sang Jiva-pun mantap didalam Sifat Sejati-nya, yang adalah Kesadaran Murni. 
Pada puncaknya, triguna —kekuatan kekal dari Prakriti— dikembalikan ke asalnya —yakni Prakriti. Jiva kembali kepada Sifat Sejati-nya yang adalah Kesadaran Murni, yang terang-benderang, yang sempurna. Inilah titik-kulminasi dari paradigma pembebasan yang disebut Kaivalyam. Dengan dipaparkannya tiga sutra terakhir ini, maka berakhirlah Yoga Sutra Patanjali.

 
PENUTUP 
JALAN KESUCIAN SEKALIGUS JALAN KELEPASAN.
Setelah mengikuti dengan seksama paparan Patanjali, kita seakan dihadapkan pada ketidak-mungkinan untuk menggolongkannya ke dalam satu jalan spiritual saja. Yama dan Niyama saja misalnya, merupakan landasan disiplin moral bagi penekun jalan spiritual manapun. Bahkan mereka tidak terbatas pada agama, ras, bangsa dan suku bangsa, jenis kelamin, usia maupun profesi. Mereka tak hanya dibutuhkan manusia di jaman Veda-veda saja. Mereka dibutuhkan oleh umat manusia di segala jaman dan dalam segala situasi dan kondisi.
 
Yama dan Niyama bersifat universal; mereka jelas bukan hanya milik bangsa India ataupun umat Hindu saja. Mereka merupakan tatanan moral-etik luhur bagi umat manusia, yang sarat nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan holistik. Ini dimungkinkan oleh karena para bijak dan orang-orang suci jaman dahulu merancangnya lewat pengetahuan intuitif beliau yang sempurna terhadap kondisi variatif dari setiap manusia dalam sifat-sifat fisikal, mental maupun spiritualnya. Mereka bukan juga sebentuk spekulasi filosofis atau sekedar ajaran moral-etik yang tidak implementatif samasekali, dogmatik, tak masuk akal atau bersifat takhyul.

Bhakti dan Karma Marga terkandung secara nyata dalam paparan awal Sadhana Pãda, dalam sebutan Kriya Yoga. Disana ada pola hidup sederhana dan pengekangan diri dari rongrongan hawa nafsu dan berbagai keinginan melalui laku tapa, sebagai terapan untuk mensucikan diri lahir-batin. Ada pula Isvarapranidhana, penyerahan dan perlindungan hanya kepada Tuhan. Di dalamnya ada rasa sujud, penyerahan diri dan bhakti, ada pelayanan yang tanpa-pamerih (nishkama karma). Disana juga ada pembelajaran-diri secara mandiri (svadhyaya), yang menjauhkan kita dari sikap dogmatis dan fanatisme.

Viveka dan vairagya serta petunjuk-petunjuk dalam memupuk jñana dan prajña memberi suatu ciri Jñana Marga yang kuat pada Yoga Sutra. Bahkan, Yoga Sutra memaparkan tri pramana, tiga metode penalaran dalam memperoleh vidya, bahkan mencapai jñana. Baik viveka maupun vairagya disebut-sebut secara berulang dalam banyak sutra-sutranya. Menjelang mengakhiri Yoga Sutra, kembali Patanjali menegaskan: "Lalu, semua kekotoran batin sirna, oleh karena bagi pengetahuan suci yang tiada terbatas, semesta material hanya kecil saja, tiada arti." Ini menyiratkan dengan jelas betapa Patanjali memberi arahan langsung pada penguasaan jñana.

Belakangan, ternyata Maharshi Vyasa-pun memberi dukungan kuat terhadap arahan ini. Lewat Bhagavad Gita-nya dengan gamblang Sri Krishna memaparkan:

"Diantara mereka (yang memuja-Ku), jñani selalu memusatkan pikirannya dan berbakti pada Yang Tunggal, adalah yang termulia; dia sangat 'Ku kasihi karena diapun amat mengasihi-Ku. Memang mereka semua mulia, akan tetapi jñani 'Ku pegang sebagai Diri-Ku Sendiri, sebab jiwanya seimbang sempurna dan tujuan tertingginya hanyalah Aku. Pada banyak akhir dari kelahiran manusia, jñanavan datang pada-Ku karena tahu Vasudeva adalah segalanya. Sungguh sukar dijumpai mahãtma serupa ini."

Seorang jñani akan dengan gigih memberdayakan manas guna merebut vidya. Karena beliau menyadari betul betapa ‘sa vidya ya vimuktaye’ —pengetahuan bisa mengantarkan pada vimukti, kebebasan—seperti yang juga disebutkan oleh Yajurveda. Sementara beliaupun mengingatkan bahwasanya ‘vidya vuhina pasu’ —tanpa menguasai vidya manusia tak ubahnya binatang— seperti yang disebutkan oleh penyair Bhartrihari dalam Nitisatakam-nya, yang kesohor itu.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana memberdayakan manas untuk merebut vidya. Untuk ini, Sri Sankaracharya memberi petunjuk, yakni dengan mempelajari Catur Veda, Sad Darsana, Upanishad-upanishad, Bhagavad Gita dan Brahmasutra. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu? Untuk mempelajari hingga betul-betul menguasainya, boleh jadi dibutuhkan banyak kelahiran, seperti yang pernah dialami oleh Rshi Bharadvaja. Dikisahkan bahwa, selama tiga kelahiran berturut-turut beliau mempelajari semuai itu. Nah....disinilah Yoga dengan jelas memposisikan dirinya sebagai solusi alternatif. Yoga mengantarkan langsung pada Panunggalan dengan Tuhan—sumber dari semua Veda-veda.

Yoga Marga —atau lebih umum dikenal sebagai Raja Yoga—juga dikenal sebagai jalan spiritual-mistis. Ini mungkin terlahir dari kenyataan, dimana Patanjali memberi porsi yang cukup besar pada upaya mistis dalam Vibhuti Pãda, yang dengan panjang-lebar memaparkan perolehan kekuatan-kekuatan spiritual-mistis (siddhi-siddhi) lewat samyama terhadap objek-objek eksternal maupun internal tertentu. Sementara itu, di banyak bagiannya, Patanjali juga wanti-wanti mengingatkan bahwa bukan itu tujuan Yoga; mereka hanya dampak-samping, yang bahkan dapat mengakibatkan kejatuhan bagi Sang Yogi. Sementara itu, Pranava Japa, basis dari Japa Yoga, disinggung dalam lebih dari satu sutra.

Makanya, akan terlampau menyempitkan, bilamana Yoga Sutra hanya dipandang sebagai salah-satu marga saja. Jauh lebih mengena bilamana memandangnya sebagai suatu pustaka suci lengkap tentang Yoga—yang memaparkan secara mendasar pokok-pokok ajaran dan manual dalam delapan tahapan praktis bagi berbagai kecenderungan manusia.

Walaupun sejak awal Patanjali dengan tegas merumuskan Yoga sebagai ‘citta vritti nirodha’, tak urung sementara penekun cenderung terjebak dalam pencapaian siddhi-siddhi dan jatuh dari tujuan luhurnya. Apa yang kita saksikan disini adalah kelemahan umum kita, disamping menegaskan kembali kekuatan Prakriti lewat triguna-nya. Mungkin karena menyadarinya kelemahan-kelemahan umum manusia, pada bagian akhir Vibhuti Pãda Patanjali menyampaikan pengingatannya: “Manakala antara sattvam dan Purusa telah sama-sama sucinya, inilah Kaivalyam”. Dalam Samãdhi Pãda sebelumnyapun beliau sudah mengingatkan: “Setelah terpenuhi segala manfaatnya, evolusi dari transformasi triguna-pun terhenti...Tujuan akhir Purusa tercapai bersamaan dengan sirnanya guna; guna kembali ke alamnya (yakni Prakriti)...”.

Pada akhir Kaivalya Pãda, penulis dengan lancang mencoba memberi kesimpulan bahwasanya Yoga —seperti yang diajarkan dalam Yoga Sutra—tiada lain adalah Jalan Kesucian (Visuddhi Marga) menuju pada Kelepasan Sempurna—terbebas dari siklus Samsara. Bagaimana kesimpulan itu ditarik? Bagaimana argumentasinya sehingga disebut demikian? Inilah yang kita coba simak secara ringkas berikut ini.

Ada beberapa konsepsi mendasar yang menggiring kita pada penyimpulan seperti itu. Yang pokok untuk ditinjau disini adalah adalah: 
(i) Essensi dari Asana, Pranayama dan Pratyahara. 
(ii) Essensi dari Yama-Niyama, khususnya Sauca dan Tapa. 
(iii) Citta vritti nirodha. 

Sebagai jalan spiritual praktis, ia tidak saja memaparkan konsepsinya saja, namun wajib memberi tuntunan penerapannya secara praktis —berupa sadhana-sadhana lahiriah dan batiniah—yang mungkin untuk dilakoni.
Asana dan Pranayama, memberi tuntunan praktis berupa sadhana-sadhana lahiriah, guna membentuk ketahanan tubuh, menjaga kondisi kesehatan, memberdayakan dan mengendalikan daya-vital atau prana. Dalam ketahanan itulah dapat diharapkan terbangunnya ketahanan mental-spiritual serta sikap-mental yang tangguh yang dibutuhkan di dalam menjalaninya. Sementara Yama dan Niyama merupakan disiplin moral-etik yang membentuk sikap batin luhur, kedewataan. Pratyahara, disamping sebagai konservasi daya-vital, dengan meniadakan pemborosan prana melalui kontak-kontak indria dengan objek-objeknya, juga memperkokoh vrata dan memungkinkan lahirnya pemahaman yang lebih baik, lengkap dan menyeluruh tentang si diri itu sendiri. Ini berarti tersimpannya cukup enerji-fiskal dan enerji-mental guna mempertahankan dan memperkokoh sikap-mental dalam berkehidupan suci. Oleh karenanya pula, bagi seorang penekun sejati, dianjurkan untuk menjadikan Pratyahara sebagai ‘terminal’.
Nah....inilah yang secara lahir-batin menjadikan manusia siap untuk mententramkan batinnya sendiri. Manas yang tentram, akan mudah dijinakkan untuk kemudian dikendalikan. Daripadanya, Buddhi-pun jernih dan bersinar terang guna diarahkan menuju tataran mental-spiritual yang lebih dalam lagi, hingga akhirnya Citta termurnikan kembali. Inilah titik kulminasi dari proses pensucian itu—citta vritti nirodhah. 
Sekali lagi, besar harapan saya apa yang mampu dipersembahkan lewat buku ini ada manfaatnya bagi Anda. 
Semoga kita semua selalu ada dalam bimbingan dan limpahan anugrah-Nya. 
Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita!

 
RAJA YOGA ~ Dasar-dasar Pemahaman dan Petunjuk-petunjuk Praktis bagi para Penekun 

Oleh:

SRI SWAMI SIVANANDA SARASVATI
FILOSOFI DARI YOGA.
Disebutkan bahwasanya penemu dari Yoga klasik adalah Hiranyagarbha Sendiri. Adalah Maharishi Patanjali yang memformulasikan pengetahuan ini dalam suatu sistem pengajaran yang diberi nama Ashtanga Yoga atau Raja Yoga. Ini membentuk salah-satu dari Shad-Darsana, Enam Sistem Filsafat Hindu Klasik. Vyasa telah menjelaskan Yoga Sutra Patanjali dan ini telah berhasil dikembangkan lebih jauh lagi oleh seorang pujangga terpelajar yang cemerlang bernama Vachaspati Mishra, serta melalui tulisan-tulisan yang mengagumkan dari Vijñana Bhikshu.
Yoga, sepaham dengan Sankhya; mereka memegang pandangan dimana ada suatu prinsip yang bersifat kekal dan hadir dimana-mana, yakni Prakriti disamping suatu prinsip pluralitas dari Kesadaran yang juga ada dimana-mana, yakni Purusha. Yoga juga menerima prinsip ketiga yakni: Ishvara. Kontak antara Purusha dengan Prakriti inilah menimbulkan evolusi lanjut dalam berbagai implikasinya. Purusha —karena Aviveka (tiada berkemampuan untuk membedakan)— menyangka ada suatu individu ketika mengidentifikasi Prakriti beserta berbagai modifikasinya itu.
Yoga menitik-beratkan pada metode pembebasan Purusha dari belenggu ini, melalui upaya yang benar. Oleh karena itu, Yoga lebih merupakan metode praktis guna pencapaian, ketimbang suatu paparan filosofis semata. Sebagai suatu sistem filsafat (Darsana), ia merupakan Sa-Ishvara Sankhya, yaitu dengan memasukkan ke-duapuluhlima Tattva dari Sankhya serta menambahkan satu lagi yakni: Ishvara. Dengan demikian, Yoga melengkapi karakteristiknya sebagai suatu sistem Sadhana yang bersifat praktis.
Ketika diselubungi oleh tembok penghalang kebodohan (Aviveka), Purusha menyangka bahwa Ia tidak sempurna, tak-lengkap, dan menyangka kalau kelengkapan itu hanya dapat dicapai melalui penggabungannya dengan Prakriti. Purusha lalu —katakanlah demikian—mulai menggapai Prakriti; dan dengan disinari oleh kesadaran-Nya, Prakriti yang tiada berdaya (lembam) mulai mempertunjukkan berbagai objek-objeknya secara kaleidoskopis. Purusha, disebabkan oleh Prakriti-Samyoga—penyamaan-diri dengan Prakriti, tampak ingin merasakan kenikmatan dari objek-objek ini. Ia berbuat seperti yang sudah-sudah; tampak berupaya meraih objek-objek tersebut. Kini belenggu—walaupun sesungguhnya tidak esensial bagi Purusha—menjadi lengkap dan selanjutnya lingkaran visi serupa itu tersimpan terus. Transmigrasi dari masing-masing individu, seperti itu, adalah konsekwensi dari Aviveka beserta segala efek-efeknya. Yoga, melalui proses ilmiahnya, memotong lingkaran ini satu-per-satu dan mengantarkan menuju Kaivalya Moksha, yang merupakan realisasi dari Purusha (sejati), yang bebas dari Prakriti beserta segenap evolusinya.
Jauh dalam lubuk hati setiap orang, ada suatu keyakinan yang mendalam akan adanya Makhluk Tertinggi, kepada siapa seorang Sadhaka berpaling untuk memohon bantuan dan bimbingan, perlindungan maupun inspirasi. Namun sang ego tidak mengijinkan ini terjadi. Hanya dengan cara melepaskan Purusha dari penjara sang ego saja, Purusha dapat dilepaskan dari jaring Prakriti. Sang ego memang dengan bersusah-payah bisa ditundukkan melalui analisa subjektif saja; akan tetapi adalah mudah untuk membedakan ego—yang terpisah dari Purusha—bila ia dengan suka-rela menyerahkan-dirinya sebagai suatu persembahan pada altar-persembahan kepada Yang Maha Kuasa; inilah Ishvarapranidhana. Inilah hipotesa dari Yoga, sebagai tambahan dari nasehatnya agar berupaya dengan gigih (Sadhana-Marga).
YOGA SUTRA PATANJALI — Untaian Permata Mulia Spiritual-filosofis.
Raja Yoga adalah raja dari semua Yoga. Ia secara langsung berurusan dengan batin. Dalam Yoga ini tidak ada perjuangan dengan Prana maupun jasmani (Apana). Tidak diperlukan lagi kriya-kriya dari Hatha Yoga. Sang Yogi duduk dengan sederhana, memperhatikan dan mententeramkan gelembung-gelembung pemikirannya. Beliau mengheningkan-cipta, menjinakkan gelombang pikiran dan memasuki kondisi tanpa-pemikiran (thoughtless state) atau Asamprajñata Samãdhi; itulah Raja Yoga.
Walaupun Raja Yoga merupakan suatu falsafah dualistika yang mengolah Prakriti dan Purusha, ia membantu siswa Advaitik untuk merealisasikan penunggalannya. Walaupun diingatkan tentang keberadaan Purusha, pada puncaknya Purusha menjadi identik dengan Purusha Tertinggi (Parama Purusha) atau Brahman, seperti yang disebutkan dalam Upanishad-upanishad. Raja Yoga mendorong siswa untuk mencapai tingkatan tertinggi di tangga spritual, yakni Brahman.
Sistem Yoga dari Patanjali tertuang dalam bentuk sutra-sutra. Sebuah sutra berupa sebuah sloka pendek yang padat makna. Ia berupa ungkapan-ungkapan aphoristis. Ia mengandung kedalaman makna, serta signifikasi-signifikansi tersembunyi. Para Rshi di jaman dahulukala punya suatu tradisi dalam mengekspresikan ide-ide filosofis maupun realisasinya, hanya dalam bentuk sutra-sutra saja. Amat sulit mengertikan maksud yang terkandung didalam sutra-sutra, tanpa bantuan komentar atau penjelasan seorang pembimbing atau Guru yang telah memahami Yoga dengan baik. Seorang Yogi yang sepenuhnya telah merealisasikan Yoga, akan mampu menjelaskan sutra-sutra dengan indahnya. Secara harfiah, sutra juga berarti sebuah untaian. Layaknya berbagai bunga beraneka warna yang dirangkai secara apik, dan membentuk sebuah rangkaian bunga. Seperti juga mutiara-mutiara yang diuntai menggunakan seutas tali untuk membentuk sebuah kalung, demikian pula halnya ide-ide dari Sang Yogi teruntai cantik dalam sutra-sutra.
Yoga Sutra disusun dalam beberapa bab. Bab pertama adalah Samãdhi-pãda. Ia memaparkan beberapa jenis Samãdhi. Ia berisikan 51 Sutra. Hambatan-hambatan dalam meditasi, lima bentuk Vritti (pusaran pikiran) dan cara mengendalikannya, tiga bentuk Vairagya, sifat-sifat dari Ishvara, berbagai metode untuk mencapai Samãdhi serta cara untuk menghadirkan kedamaian hati melalui pengembangan sifat-sifat luhur, juga dipaparkan disini.
Bab kedua adalah Sãdhana-pãda. Ia terdiri atas 55 Sutra. Ia memaparkan Kriya Yoga, seperti, Tapa, ajaran penyerahan-diri pada Tuhan, lima Klesha atau noda-noda batin, metode-metode untuk menghancurkan noda-noda yang menghalangi pencapaian Samãdhi ini, Yama dan Niyama beserta hasil-hasilnya, praktek Āsana dan Pranayama beserta manfaat-manfaatnya, Pratyahara serta keuntungan yang diperoleh, dll.
Bab ketiga adalah Vibhuti-pãda. Ia terdiri dari 56 Sutra. Ia menyangkut Dharana, Dhyana serta berbagai bentuk Samyama pada objek-objek eksternal, pikiran, chakra-chakra internal serta beberapa objek lain, yang dapat menghadirkan berbagai macam Siddhi.
Bab ke-empat adalah Kaivalya-pãda atau bab Kebebasan Sejati, yang tersusun dari 34 Sutra. Ia memaparkan tentang kebebasan yang dicapai oleh seorang Yogi yang telah matang (full-blown Yogi), yang telah dapat membedakan dengan baik mana Prakriti dan mana Purusha, yang telah terpisah dari Tri Guna. Ia juga memaparkan tentang pikiran dan prilakunya. Dharmamegha Samãdhi juga dijelaskan disini.
KONDISI-KONDISI BATIN DALAM PRAKTEK RAJA YOGA.
Raja Yoga memberikan perhatian khusus terutama pada batin, modifikasi-modifikasinya dan pengendaliannya. Ada lima kondisi batin yakni, Kshipta, Mudha, Vikshipta, Ekagra (Ekagrata) dan Niruddha. Umumnya pikiran—yang adalah proponen batin yang paling aktif—berlarian ke segala arah; sinar-sinarnya terpencar dan kacau. Inilah yang disebut dengan kondisi Kshipta. Terkadang batin lupa diri, ia dipenuhi oleh kedunguan (Mudha). Ketika Anda berlatih berkonsentrasi, pikiran tampak dapat terpusat sejenak, namun cepat terganggu lagi. Kondisi batin inilah yang dinamakan Vikshipta. Akan tetapi bila ia bertahan lebih lama dan telah dilatih secara berulang-ulang, dan dibantu dengan merafalkan Nama Tuhan, ia menjadi terpusat pada satu titik. Keterpusatan inilah yang disebut kondisi Ekagrata. Nantinya, iapun sepenuhnya terkendali—Niruddha. Ia siap untuk tercerap dalam Parama Purusha, ketika Anda memasuki Asamprajñata Samãdhi.
Guna mencapai kedamaian batin, Anda harus menyemaikan empat sifat-sifat luhur —Maitri, Karuna, Mudita and Upeksha. Anda harus punya Maitri (rasa persahabatan yang penuh welas asih), Anda memandang semuanya dalam sikap-batin yang setara. Anda harus memiliki sifat Karuna (rasa belas-kasihan) kepada mereka yang sedang dirundung malang. Andapun mesti punya Mudita (rasa empati dan bersimpati) pada mereka yang lebih beruntung dari Anda. Rasa kebercukupan atau belas-kasihan secara pasti menghancurkan kedengkian. Semuanya adalah saudara-saudara kita. Bila seseorang ditempatkan pada posisi yang lebih baik dari Anda, berbahagialah atasnya. Bila sedang lewat di antara orang-orang hina, pandanglah mereka tiada beda dengan kita. Inilah yang dinamakan Upeksha (stabil dalam tiada membeda-bedakan). Dengan jalan ini Anda akan mencapai kedamaian hati.
NODA-NODA BATIN.
Lima Noda batin yang merupakan sumber penderitaan adalah: 
1. Avidya — kebodohan batiniah: memandang kekal yang tak-kekal, murni yang tak murni; 
2. Asmita — egoisme; 
3. Raga —keterikatan atau kecintaan; 
4. Dvesha —ke-engganan, penolakan atau kebenciaan; dan 
5. Abhinivesha —keterikatan yang kuat pada kehidupan rendah, yang menimbulkan ketakutan yang amat sangat pada kematian. 
Samãdhi menghancurkan semua ini. Raga dan Dvesha, rasa suka-tak-suka, punya lima kondisi: Udara (termanifestasikan sepenuhnya), Vicchinna (tersembunyi atau terselubung), Tanu (menipis), Prasupta (tidak aktif ) dan Dagdha (terbakar musnah). 
• Pada manusia duniawi yang masih terlelap dalam keduniawian, Raga dan Dvesha merupakan Udara Avastha. Mereka ada dalam kondisi yang meluas; maksudnya, Raga dan Dvesha bermain secara penuh dan tanpa tendeng aling-aling lagi. 
• Vicchinna Avastha adalah kondisi dimana Raga dan Dvesha tersembunyi. Pasangan suami-istri terkadang bertengkar; saat itu cinta tersembunyi sejenak. Setelah si istri tersenyum kembali, cintapun menampakkan dirinya lagi. Inilah contoh dari Vicchinna Avastha. 
• Beberapa orang yang melakukan sedikit Pranayama, Kirtan dan Japa. Pada mereka Raga dan Dvesha mulai menipis; kondisi inilah yang dinamakan Tanu Avastha. 
• Terkadang pula, berhubung kondisinya tidak sesuai, mereka dalam kondisi tidak aktif —Prasupta Avastha. 
• Namun dalam Samãdhi mereka terbakar musnah —Dagdha. 
Raga dan Dvesha memastikan Samsara ini. Pikiran (manas) adalah suatu kekuatan yang tidak memiliki suatu entitas nyata, namun sementara waktu seolah-olah demikian, dan menyelubungi Jiva. Ia mengatasi Prana. Ia juga mengatasi materi. Akan tetapi di atas pikiran ada kemampuan memilih dan memilah-milah (Viveka). Viveka dapat mengendalikan pikiran; kerinduan terhadap Diri-Jati Anda atau Atma-Vichara dapat mengendalikan pikiran. Bilamana Anda telah menghancurkan Raga-Dvesha lewat meditasi dan Samãdhi, pikiran akan sirna (tiada berdaya lagi). Yang mesti Anda upayakan setiap hari adalah melatih konsentrasi ke dalam (dharana), walau hanya lima atau sepuluh menit; Andapun akan mampu mengendalikan pikiran dan memasuki alam Samãdhi.
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MEDITASI.
Ada beberapa hambatan dalam bermeditasi. Vedanta menguraikan hambatan-hambatan tersebut berupa: kerisauan (laya), pikiran yang cepat berubah (vikshepa), keinginan-keinginan terselubung (kashaya) dan keterjebakkan dalam kebahagiaan yang timbul dalam Samãdhi yang lebih rendah tingkatannya (rasasvada).
Patanjali mengutarakan: “Penyakit, kebodohan, keragu-raguan, kecerobohan, kemalasan, keduniawian, ilusi, kehilangan tujuan, ketidak-stabilan mental —semua itu merupakan hambatan-hambatan dalam Yoga.” Duka-cita, kemurungan, gemetaran (tremor), tarikan dan hembusan nafas yang tidak wajar merupakan pembantu-pembantu yang lebih menguatkan hambatan-hambatan utama itu. Anda harus menyingkirkannya terlebih dahulu.
Bila Anda dikuasai kantuk tatkala bermeditasi, berdirilah, basuh muka dengan air dingin, lakukan beberapa Āsana dan Pranayama. Kantukpun akan berlalu. Di jaman dahulu, bagi mereka yang memiliki choti (jalinan rambut panjang), ada yang mengikat rambutnya ke paku di dinding ruangan —sehingga bila jatuh tertidur saat bermeditasi, paku seolah-olah menarik rambut dan membangunkannya. Makanlah makanan ringan saja di malam hari.
Abhyasa dan Vairagya merupakan dua jalan terbaik untuk menyingkirkan berbagai hambatan. Vairagya (tanpa kegandrungan) bukan berarti lari dari dunia. Vairagya merupakan suatu sikap-batin. Analisalah pemikiran-pemikiran Anda sendiri. Amankanlah motivasi-motivasi luhur Anda. Sedapat mungkin, hindarilah objek-objek yang paling Anda gandrungi. Bilamana kegandrungan pada sesuatu telah lenyap, selanjutnya Anda dapat menggunakan pengalaman tersebut sebagai acuan guna melepaskan kegandrungan-kegandrungan yang lain.
TIGA KELAS PENEKUN.
Raja Yoga adalah jalan mulia untuk membebaskan diri dari penderitaan. Ia mencakup perlakuan intensif terhadap empat masalah besar manusia: penderitaan, sebab-sebab penderitaan, terbebas dari penderitaan dan jalan pembebasannya. Praktek latihan dari metode-metode yang disajikan dalam Raja Yoga mengantarkan pada pemusnahan segala derita dan pencapaian kebahagiaan sejati. Berlatihlah mulai hari ini! Jangan lewatkan barang seharipun. Ingat, masing-masing hari mengantarkanmu semakin mendekat pada tujuan akhir dari kelahiran kita sebagai manusia di dunia ini. Anda telah menyianyiakan banyak hari, banyak bulan dan banyak tahun selama ini. Anda tak menyadarinya karena Anda telah meminum minuman keras yang bernama Moha. Karena itulah Anda tidak mengerti sebab sesungguhnya dari semua derita hidup duniawi ini.
Penyebab utama dari derita ini adalah Avidya. Manakala mentari pemilah-milah (Viveka) telah terbit di dalam, Sang Purusha mulai menyadari kalau Ia berbeda dengan Prakriti, bahwa Ia bebas dan tiada terpengaruhi. Raja Yoga memberi Anda sebuah metode paling praktis yang mengantarkan Anda pada kondisi yang mengagumkan ini.
Menurut Raja Yoga, ada tiga tipe penekun —Uttama, Madhyama dan Adhama Adhikari. Bagi masing-masing tipe, disediakan tiga jenis Sadhana. 
• Bagi Uttama Adhikari (penekun kelas utama) Raja Yoga menyediakan Abhyasa dan Vairagya. Ia mempraktekkan meditasi kepada Sang Diri-Jati; ia mempraktekkan Chitta-Vritti-Nirodha (penghentian pusaran-pusaran batin) dan dengan cepat memasuki alam Samãdhi. Inilah praktek Abhyasa yang didukung oleh Vairagya. 
• Bagi Madhyama Adhikari (penekun kelas menengah) disediakan Kriya Yoga: Tapa, Svadhyaya dan Ishvarapranidhana. Tapa adalah kesederhanaan atau kepolosan. Ketanpa-akuan (egolessness) dan pelayanan tanpa pamerih, merupakan bentuk-bentuk teragung dari Tapa. Kerendahan hati dan tanpa keinginan untuk kepentingan pribadi atau ketulusan, juga merupakan bentuk-bentuk teragung dari Tapa. Praktekanlah mereka melalui pelayanan terus-menerus, tanpa henti dan dengan tanpa pamerih. Praktekkanlah tiga jenis Tapa yang disebutkan dalam Bhagavad Gita. Penerapan disiplin diri seperti upavasa, dll., juga merupakan praktek dari Tapa ini. Svadhyaya adalah mempelajari kitab-kitab ajaran spiritual juga melaksanakan japa (merafalkan secara berulang-ulang) dari Ishta Mantra Anda. Ishvarapranidhana adalah penyerahan-diri sepenuhnya kepada Tuhan dan melaksanakan setiap tugas sebagai Ishvararpana, sebagai persembahan kepada-Nya. Tiga bentuk Sadhana dari para Madhyama Adhikari yang terbenam dalam meditasi yang mendalam, secara cepat akan mengantarkannya mencapai Kaivalya Moksha. 
• Bagi Adhama Adhikari, tipe penekun ter-rendah, Raja Yoga menyediakan Ashtanga Yoga atau delapan tahapan Sadhana —Yama, Niyama, Āsana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan Samãdhi. 
ASHTANGA YOGA.
Raja Yoga dari Patanjali umumnya juga disebut Ashtanga Yoga yaitu Yoga dengan delapan lengan (tahapan); melalui pempraktekannya, kebebasan dapat dicapai. Kedelapan lengan tersebut adalah: Yama, Niyama, Āsana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samãdhi.
Delapan tahap ini telah tersusun sedemikian rupa secara ilmiah. Mereka merupakan langkah-langkah alamiah dalam sebuah tangga yang mengantarkan manusia menuju sifat-sifat kedewataannya yang sejati. Semua jaring-jaring yang melekatkan Purusha pada Prakriti dipotong secara pasti. Pemutusan ini membebaskan Purusha untuk menikmati Kebebasan, Kaivalya Moksha. Inilah tujuan dari Raja Yoga.
Yama dan Niyama memurnikan perbuatan seseorang dan menjadikannya lebih Sattvik. Tamas dan Rajas —yang merupakan pilar-pilar kokoh Samsara—diruntuhkan dengan sepuluh kanon dari Yama dan Niyama (Panca Yama dan Panca Niyama Brata); kesucian batinpun meningkat. Sifat-sifat individu menjadi Sattvik.
Āsana memberi kemampuan pada individu untuk mengendalikan impuls-impuls Rajasik; dan pada saat yang bersamaan membentuk landasan kuat Antaranga Sadhana, atau proses Yoga di dalam (yang membentuk suatu sikap-batin luhur—pen.).
Pranayama mengantarkan penekun bertatap-muka secara langsung dengan Prinsip-Kehidupan (Life-Principle). Kendalikan Prinsip-Kehidupan; ini memberikan suatu pandangan mendalam pada kekuatan yang memotivasinya. Ia dibuat sadar atas fakta bahwasanya keinginan menjaga kekuatan-hidup. Keinginanlah yang menyebabkan terjadinya eksternalisasi pikiran. Keinginanlah tempat peraduan dari Vritti-vritti. Vritti-vritti bersama-sama membentuk pikiran, dan pikiranlah yang menghubungkan Purusha dengan Prakriti.
Bila pikiran hancur, maka Vritti-vritti pun terkikis. Bila Vritti-vritti terkikis, maka keinginanpun akan tercabut hingga ke akar-akarnya. Sang Yogi lalu dengan cepat bisa menarik ke dalam semua sinar pikirannya dari tenaga penggeraknya yang ada di luar. Proses inilah yang disebut dengan Pratyahara.
Guna menemukan akar dari pikiran, yang merupakan benih-keinginan, ia membutuhkan sinar yang menerangi seluruh pikirannya. Pada saat yang bersamaan, sinar itu memberi kekuatan untuk bertahan terhadap eksternalisasi pikiran dan memutuskan lingkaran setan itu, memutuskan hubungan keinginan untuk memanifestasikan dirinya lagi akibat adanya aktivitas pikiran itu sendiri. Sorotan sinar yang terkonsentrasi ini akan terpancar langsung ke akar dari pikiran itu sendiri; dan pikiran pun terpegang dan terawasi. Inilah yang dinamakan Dharana.
Nah....kesadaran yang telah sedemikian lamanya mengalir keluar, kini terkumpul kembali dan mengalir kembali menuju sumbernya, yakni Purusha yang ada di dalam. Inilah proses dalam Dhyana.
Hubungan dengan Prakriti kini telah sirna. Purusha mengalami kondisi kebebasan transendental —Kaivalya— dalam Nirvikalpa Samãdhi. Kebodohan pun hancur kini. Purusha kini menyadari bahwa kesadaran-Nyalah yang memberi kekuatan pada Prakriti untuk menyenangkan-Nya, memberi-Nya kenikmatan, menyelubungi-Nya, dan akhirnya membelenggu-Nya. Ia kini menikmati kebahagiaan yang merupakan sifat sejati-Nya, dan tetap tinggal bebas dan penuh kebahagiaan selamanya (Anandam). Semua bentuk-bentuk pemikiran sirna untuk selamanya dalam Nirvikalpa Samãdhi. Benih-benih keinginan dan VĀsana serta Samskara hangus sepenuhnya; inilah yang disebut dengan Nirbija Samãdhi.
Sang Yogi yang berada dalam Status Tertinggi ini kehilangan seluruh kesadaran eksternalnya, demikian pula halnya dengan semua kesadaran dualitas atau kebhinekaannya; beliau bahkan kehilangan ide tentang aku-nya (Asmita) dalam Asamprajñata Samãdhi. Inilah Status Tertinggi dimana Sang Purusha berada mantap dalam Svarupa-Nya.
TEKUNLAH WAHAI PENEKUN SEJATI!
Jangan berkhayal bahwa Anda seorang Uttama Adhikari, dimana Anda cukup duduk bermeditasi dan langsung tercerap dalam Samãdhi. Anda akan mengalami kejatuhan yang mengenaskan. Setelah berlatih bertahun-tahun sekalipun Anda tidak akan memperoleh suatu kemajuan yang berarti, karena jauh di dalam lubuk-hatimu masih bersembunyi keinginan-keinginan dan keserakahan, Vritti-vritti yang berada jauh dari jangkauan Anda.
Tekunlah! Lakukanlah analisis yang cermat terhadap hati dan pikiranmu. Walau Anda seorang penekun kelas wahid sekalipun, anggaplah diri hanya sebagai penekun kelas terendah dan latihlah selalu kedelapan tahapan Sadhana, seperti yang diuraikan oleh Raja Yoga. Semakin banyak waktu yang Anda habiskan pada dua langkah pertama, yakni Yama dan Niyama, semakin sedikit nantinya waktu yang akan Anda perlukan untuk mencapai kesempurnaan meditasi. Memang persiapan membutuhkan waktu cukup lama. Tapi jangan menunggu hingga sempurna dalam Yama dan Niyama, sebelum melangkah menuju Āsana, Pranayama dan meditasi.
Cobalah meraih kemantapan dalam Yama dan Niyama, dan pada saat yang bersamaan latihlah Āsana, Pranayama dan meditasi sebanyak Anda bisa. Dengan demikian keberhasilan akan lebih cepat tercapai. Andapun akan lebih cepat tercerap ke dalam Nirvikalpa Samãdhi dan mencapai Kaivalya Moksha. Bagaimana kondisi tertinggi tersebut?; tak seorangpun pernah mengutarakannya, karena sesungguhnya terlampau terbatas kata-kata guna mengungkapkannya.
Berlatihlah dengan tekun, wahai penekun sejati, realisasikanlah Sang Diri-Jati. Semoga engkau bersinar laksana seorang Yogi sempurna dalam kehidupan ini!


Judul asli “RAJA YOGA”; diinterpretasikan dari edisi website The Divine Life Society yang telah di-update pada hari Minggu 14 Juli 1996.

 
BUTIR-BUTIR MUTIARA YOGA-SAMÃDHI YANG TERCECER.

”Batin yang tidak tercela, tidak lemah, tidak ada yang dikehendakinya, tidak ada yang diharapkannya, jernih tanpa noda, tidak dapat dihancurkan; Cetana seperti itu tanpa objek, tiada lagi ia merasakan badan, bebas dari Catur Kalpana. Catur Kalpana adalah ‘tahu’, ‘diketahui’, ‘pengetahuan’ dan ‘mengetahui’. Semua itu tak adalagi bagi Sang Yogiswara. Itulah yang disebut Samãdhiyoga. Ia juga adalah Sadanggayoga, sebagai pengetahuan suci Sang Pandita, hingga ditemukannya Sanghyang Wisesa. Sikap ke-yogiswara-an yang demikian itu, terjaga oleh Dasasila”.

Dasasila dan Cetana.

Dalam paragraf dari Wrhaspati Tattwa - 59 di atas, ada beberapa kata kunci yang menarik untuk disimak lebih dalam lagi, yakni: Cetana, Catur Kalpana, Sadangga-Yoga dan Dasasila.
Dasasila adalah sepuluh sikap-mental luhur yang mendasari prilaku Sang Yogiswara. Dasasila, juga disebut sebagai ‘Pembangun Yoga’. Dasasila merupakan dasar moralitas di dalam menjalani jalan spiritual. Penerapannya amat menentukan sempurnanya keberhasilan seorang sadhaka. Sebutan lain —yang mungkin lebih akrab di Nusantara—adalah Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata, yang di dalam Yoga Sutra disingkat Yama dan Niyama saja.
Cetana adalah ungkapan dalam bahasa Kawi, yang dalam bahasa sanskertanya adalah Caitanya. Cetana berarti kesadaran spiritual tinggi yang dicapai oleh para Yogi Sempurna. Mendiang Shri Caitanya Prabhu misalnya, amat dipuja oleh sampradaya Hare Krishna, dapat kita ambil sebagai contoh dari penggunaan makna dari istilah Cetana ini.
Cetana adalah hakekat sejati, yang sesuai kesuciannya dengan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan kesucian: Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa. Kesuciannya ditentukan oleh kuat-lemahnya pengaruh Maya. Paramasiwa Tattwa sepenuhnya bebas dari pengaruh Maya, Siwa Tattwa masih dipengaruhi Maya, sedangkan Sadasiwa Tattwa berada di antara keduanya. Disini, Paramasiwa-lah yang dipandang sebagai Nirguna Brahman, sedangkan Sadasiwa adalah Saguna Brahman, bila mengikuti peristilahan Advaita Vedanta.
Cetana dicapai melalui Leburnya Catur Kalpana.

Serupa dengan paparan sloka Wrhaspati Tattwa tadi, Patanjali dalam Yoga Sutra memerinci hanya tiga saja; ini diungkapkan dalam sutra I.41: “Bila pusaran-pusaran (vritti) telah surut, maka batin menjadi jernih transparan bagai sebuah kristal, si pengamat (grahitr), proses mengamati (grahana) dan objek-objek yang diamati (grahya) mentransformasikan dirinya menjadi apa adanya (samãpatti).”
Ungkapan yang amat mirip dengan paradigma itu pernah saya dengar dari seorang Wiku, yang telah tiada kini, dengan ungkapan sebagai berikut:
"Manunggaling kang kinaweruhang, kang kinaweruhi, weruh lan kaweruhi". Bilamana kita terjemahkan secara bebas, kira-kira ia menjadi: "Bersatu-padunya antara yang mengetahui, yang diketahui, tahu dan pengetahuan itu sendiri". Mungkin, dengan amat susah beliau mengungkapkan fenomena batiniah itu; namun itulah yang mampu terungkap melalui kata-kata.
Menyatupadukan Catur Kalpana berarti tercapainya Cetana. Inilah idealisasi Samãdhiyoga dalam Wrhaspati Tattwa. Dan demi pencapaian status Samãdhiyoga ini, dipaparkan enam langkah praktis yang disebut Sadanggayoga: Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan Samãdhi.
Sadanggayoga dalam Upanishad.

Beda dengan Ashtãnga Yoga-nya Patanjali, Sadanggayoga tidak lagi menyebut Yama, Niyama dan Āsana, namun langsung melangkah dari Prãnãyama. Disini seolah-olah Yama, Niyama dan Āsana sudah dirangkum dan inklusif di dalam Dasasila. Sebagai tambahan, disini diperkenalkan tahap Tarka yang tidak ditemukan di dalam Yoga Sutra. Bagaimana gerangan status batin yang disebutkan dengan Tarka ini?
Wrhaspati Tattwa menjelaskan bahwa Tarka itu bersih, jernih, damai bagaikan akasa; tapi tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan angkasa atau langit karena tanpa sabda —suara halus di dalam— sekalipun. Ia benar-benar jernih dalam kesunyian, tanpa bentuk-bentuk pemikiran dan persepsi apapun. Jelas ia bebas dari vicara maupun vikalpa. Penjelasan serupa juga dapat kita temukan dalam pustaka Tattwa Jñana —sebuah sastrãgama Nusantara lainnya. Bilamana Tarka ini yang mendahului Samãdhi, tentu Samãdhiyoga yang dicapai adalah Nirvikalpa Samãdhi, menurut istilah yang digunakan oleh Patanjali.
Sistem yogasadhana yang juga menggunakan istilah Tarka adalah yang dikemukakan di dalam Maitri Upanishad. Disana disebutkan: “Perintah untuk melaksanakan panunggalan ini adalah demikian; Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan Samãdhi.” Maitri Upanishad menyebut langkah-langkah yang sama dengan Sadanggayoga-nya Wrhaspati Tattwa. Sementara itu, di dalam sebuah ulasannya, Swami Satya Prakas Saraswati menginterpretasikan Tarka hanya sebagai kontemplasi atau perenungan, yang secara mendasar berbeda dengan apa yang dipaparkan dengan jelas di dalam Wrhaspati Tattwa. Perenungan (vicara) masih menggunakan objek, baik berwujud maupun tanpa-wujud; atau, bila Rshi dalam Maitri Upanishad memang memaksudkannya demikian, maka Samãdhi yang dimaksudkan disini masih merupakan Savikalpa Samãdhi, menurut peristilahan Yoga Sutra.
Persepsi yang Bukan-Persepsi.

Bila kita cermati keempat aspek fungsional dari Catur Kalpana, kita dapat menangkap bahwa apa yang disebutkan sebagai Catur Kalpana adalah ‘proses dan unsur pencerapan’; mungkin istilah ini lebih akrab dengan telinga kita. Secara fungsional, semua itu dikerjakan oleh ‘persepsi’. Secara menyeluruh sloka tadi membicarakan hanya dua proponen batin tertinggi saja, yakni: kesadaran dan persepsi; dimana persepsi yang dimaksudkan disini bukanlah cerapan melalui organ-organ indriawi, seperti yang umumnya dikenal. Ia cerapan murni, tanpa penilaian, tanpa rasa suka atau tak-suka, tanpa pengharapan pun penolakan, tidak membenarkan pun menyalahkan atau bentuk-bentuk penghakiman lain layaknya yang dilakukan oleh campuran pikiran dan perasaan. Ia melampaui rasio dan emosi —yang kontroversinya malah menimbulkan konflik internal yang tiada henti. Ia tanpa dualitas. Ia juga kita kenal dengan sebutan intuisi.
Secara teknis, baik pikiran, apalagi perasaan atau emosi, tak lagi mengotori suasana batin Sang Yogiswara. Mereka secara praktis telah gugur, tertinggalkan dalam tataran yang lebih rendah, bersamaan dengan terlaluinya Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana dan Dhyãna. Hingga Dhyãna, pikiran telah tersublimasikan dan bercahaya sebagai Buddhi, sebagai kecerdasan kosmis, sebagai intuisi. 
Fenomena ini amat berhampiran dengan fenomena-fenomena alami dalam suatu proses pendakian sebuah gunung. Awan, kabut dan mendung hanya masih berpengaruh hingga ketinggian tertentu saja. Selebihnya udara jernih, tenang; angin, awan, hujan, badai telah tertinggal di bawah. Bukan karena mereka ditenangkan atau kebetulan tak ada angin berhembus, namun semua itu hanya berlangsung pada tataran dengan ketinggian tertentu saja. Bila Anda pernah mendaki gunung di daerah tropis yang cukup tinggi —katakanlah 3000 meter ke atas— pada musim penghujan fenomena ini akan jelas teramati. Pada ketinggian tersebut matahari bersinar terang, langsung menyimari bumi tanpa halangan. Dari sana dapat dilihat dengan amat jelas betapa awan berarak searah dengan hembusan angin. Ada bagian bumi yang digelapi untuk beberapa saat, untuk kemudian terang kembali bersama dengan berlalunya awan di atasnya. Terang, gelap, terang, gelap....dan seterusnya; demikianlah kondisi dataran rendah yang masih berada di bawah awan.
Demikian pula halnya dengan pendakian spiritual. Pada ketinggian tertentu, Rajas dan Tamas telah kehilangan kekuatannya bagi Sang Yogi. Merekalah kekuatan Prakriti yang mengombang-ambingkan manusia dalam berbagai bentuk pemikiran dan perasaan. Manakala yang satu-satunya tertinggal adalah Sattvam, Buddhi-pun menjadi bercahaya. Citta atau kesadaran murni dengan leluasa menyinari batin Sang Yogi. Bagi yang telah terliputi Buddhisattvam, pengaruh dunia sudah sedemikian tipis, walaupun secara kasat-indria beliau masih tampak seperti biasa di dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.
Tanpa perumpamaan pendakian gunung tadi, mungkin agak sulit bagi kita untuk membayangkan dan mengungkapkan kondisi kesadaran yang terbebas samasekali dari persepsi, murni, jernih bak kristal dan damai itu, dengan kata-kata. Mungkin itulah sebabnya mengapa agak sulit bagi kita untuk menemukan paparan yang jelas tentangnya, baik secara lisan maupun tulisan. Ia jauh lebih mudah dirasakan lewat praktek langsung dalam sadhana, daripada dibicarakan. Praktek langsung memberi pengalaman langsung yang amat berharga. Yoga adalah praktek langsung, secara empiris, bukan sekedar himpunan berbagai konsepsi-konsepsi spiritual-filosofis saja.
Menurut Tattwa Jñana, sesuai dengan kandungan Triguna-nya, makhluk hidup dapat dibedakan atas tiga kelompok besar, yakni: Buddhisattvam, Buddhirajas dan Buddhitamas. Kandungan Triguna inilah yang menentukan jasad apa yang dikenakannya kini dan nanti. Binatang dan tetumbuhan, Buddhi-nya tidak bercahaya akibat didominasi oleh gelapnya Tamas. 
Warisan Luhur yang sangat patut dibanggakan.

Kita sebetulnya telah diwarisi metode-metode luhur yang bermutu tinggi, yang tak kalah, bahkan siap bersanding dengan metode-metode yang datang belakangan, apakah itu dalam kemasan Yoga, maupun Meditasi. Bila kita pandai-pandai mengemas dan tak cepat berputus-asa di dalam menggali dan menggali serta menghimpun ceceran mutiara-mutiara Yoga-Samãdhi Nusantara, kitapun dapat menjadikannya ‘komuditas ekspor’. Yang pasti, kita tak mesti senantiasa jadi bulan-bulanan dan konsumen empuk bagi pemasaran komuditas spiritual impor. Pengaruh Sankhya, ternyata terasa amat kental, justru dalam ajaran Yoga Nusantara. Yoga telah dikembangkan jauh ke akarnya (Sankhya Darsana) oleh para Yogiswara Nusantara; dan atas fakta ini, kita boleh berbangga.
Harapan saya, semoga tulisan pendek ini berfungsi sebagai penggugah nurani kita. Penggugah, untuk mencintai kembali apa yang menjadi warisan kita semua tanpa kecuali. Keagungan Borobudur dan Prambanan, hanyalah kulit terluar dari budaya spiritual-religius Nusantara yang menyentak dan membeliakkan mata dunia. Isinya masih ada, masih tersimpan rapi di bumi Nusantara. Ia kini sedang menunggu untuk dijamah dan ditampilkan lagi oleh para pewarisnya. Mengakhiri tulisan ini saya sajikan sekelumit sloka dari pustaka kuno Tattwa Jñana berikut.
“Inilah tujuan Sanghyang Jñana Tattwa yang ditujukan pada Anda sekalian, yang menyebabkan kembali ke asal apabila Anda tahu dan dapat merasakan intisarinya. Memahami Sanghyang Jñana Tattwa dengan baik, dan dengan kesadaran melaksanakan Prayogasandhi di bawah penerangan Samyagjñana, yang berdasarkan Tapa, Brata, Yoga dan Samãdhi, merupakan obat dari Atma yang sengsara”.