Sabtu, 21 Maret 2009

ISLAM DALAM RAMALAN JAYABAYA

ISLAM DALAM RAMALAN JAYABAYA

(Telaah Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya)


PENDAHULUAN

Bagi sebagian kalangan muslim memunculkan kajian terhadap ‘keberterimaan’terhadap ramalan sudah tentu akan memantik sebuah polemik. Betapa tidak, konsep Islam dalam memandang ramalan pada dimensi supranatural telah tegas dan jelas. Umat Islam dikenai larangan atas sejumlah pengharapan spekulatif, seperti mengundi suatu pilihan dengan anak panah, berjudi, dan termasuk di dalamnya dengan jalan mempercayai ramalan. Apa yang penulis maksudkan dengan ramalan ini sudah tentu bukan merupakan sebuah upaya perkiraan masa depan dengan sejumlah metode ilmiah semacam metode forecasting penilaian kelayakan bisnis dalam perekonomian atau sejenisnya. Namun lebih kepada ramalan yang berorientasi pada klenik dan atau mengarah praktek kebatinan. Efek ramalan sendiri biasanya berlainan pada tiap-tiap individu yang berbeda. Akan tetapi umumnya, ramalan akan membuat manusia terjebak oleh angan-angan, bahkan secara negatif menjerumuskan pada kemusyrikan.

Namun harus menjadi sebuah kesadaran bahwa realitas yang lain tentang berkembangnya ramalan, akhir-akhir ini, justru semakin marak menyeruak. Semakin canggih piranti teknologi, kemudahan menikmati hidup, dan terbuka lebarnya akses informasi bukannya mengikis kepercayaan manusia modern terhadap model klenik yang satu ini. Ramalan justru seperti memanfaatkan kondisi dengan berperan mengisi kekosongan jiwa “manusia modern” dari kemiskinan spiritualitas. Ramalan bukan lagi identik dengan asap kemenyan pedupaan, spekulasi kartu tarot, bola kristal, pendulum, atau benda-benda yang dianggap memiliki tuah magis lainnya. Akan tetapi berkembang dengan menyelusup melalui layanan jasa komunikasi yang bisa diakses melalui piranti elektronik dengan biaya relatif terjangkau oleh masyarakat luas.

Di kelas menegah ke bawah, kebangkitan ramalan ditandai dengan menguatnya isu-isu lawas tentang pentahapan jaman. Kondisi perubahan sosial kemasyarakatan yang terus didera oleh berbagai kesulitan hidup, krisis kemanusiaan berkepanjangan, dan dekadensi moral telah menumbuhkan angan-angan dan penantian akan kemunculan sosok ‘ratu adil’. Tidak terkecuali, ramalan seringkali menjadi pelarian atas kehidupan yang dianggap semakin tidak pasti.

Bagi masyarakat Jawa khususnya, ramalan Jayabaya (baca: Joyoboyo) merupakan ramalan yang dianggap memiliki akurasi tinggi dalam menerangkan berbagai pertanda perubahan jaman. Ramalan ini sering diagung-agungkan sebagai memiliki gambaran tentang masa depan secara jelas dan meyakinkan. Anehnya, masyarakat yang mempercayai “kebesaran” ramalan Jayabaya, umumnya tidak memiliki pengenalan mendalam tentang keyakinannya berdasarkan sumber ‘resmi’ ramalan Jayabaya. Sikap taken for granted yang mereka tunjukkan umumnya terbentuk hanya melalui proses oral dengan sumber informasi yang tidak jarang sukar dipertanggungjawabkan. Tidak jarang mereka hanya berpatokan kepada ‘kata orang’. Demikian juga sejumlah pihak yang memposisikan diri sebagi penolak ramalan Jayabaya, umumnya juga tidak membangun sikapnya berdasarkan pengetahuan ataupun proses kajian yang jelas. Bahkan kadangkala hanya didasarkan atas sikap mula-mula yang sudah antipati terhadap istilah ‘ramalan’, maka menjadi justifikasi bahwa ramalan Jayabaya pun memiliki kadar ‘negatif’ sebagaimana penilaian awalnya.

Hadirnya tulisan terkait ramalan Jayabaya ini bukan merupakan usaha untuk melegalkan praktek ramalan. Namun lebih merupakan upaya informatif bagi para pembaca guna bersama memahami hakikat ramalan Jayabaya. Sehingga kejelasan sikap dan tindakan pembaca, terutama sebagai seorang muslim, akan terbangun berlandaskan sebuah pemahaman yang nyata. Sekaligus dalam hal ini penulis berharap, akan tumbuh sikap bahwa baik dalam posisi menerima maupun menolak terhadap hakikat sesuatu hendaknya didasarkan pada sebuah pengetahuan dan bukan hanya berdasarkan penilaian awal yang belum tentu benar apalagi sekedar ‘kata orang’.

PENULIS RAMALAN JAYABAYA

Perlu diketahui, Ramalan Jayabaya merupakan kumpulan ramalan yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Ramalan yang sering disebut dengan istilah Jangka Jayabaya (baca: jongko joyoboyo) tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai hasil karya pujangga yang memiliki akurasi tinggi dalam menggambarkan jaman dan kondisi masa depan yang diprediksi. Dengan kata lain sejumlah ‘orang Jawa’ sangat mempercayai ketepatan dan kesesuaian Jangka Jayabaya dalam menggambarkan masa depan.

Jangka Jayabaya memiliki banyak versi, minimal ada 9 (sembilan) macam versi. Umumnya kitab-kitab tentang ramalan Jayabaya tersebut merupakan hasil karya abad XVII atau XIX Masehi. Dari beragam versi Jangka Jayabaya tersebut, secara substansial kebanyakan memiliki kesamaan ide dan gagasan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan beragam versi tersebut sebenarnya mengambil dari sebuah sumber induk yang sama yaitu kitab yang disebut Musarar atau Asrar. Oleh karena itulah maka penulis memutuskan untuk membatasi kajian ini berdasarkan Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya saja. Kitab diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (baca: Ronggowarsito).[1] Serat Pranitiwakya ini dapat dikatakan mewakili ramalan Jayabaya dalam wujud yang bersifat lebih ringkas.

TOKOH JAYABAYA MENURUT SERAT PRANITI WAKYA

Jayabaya yang dimaksud dalam Jangka Jayabaya tidak lain adalah Prabu Jayabaya, raja Kediri, yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dalam meramal masa depan. Nama Prabu Jayabaya sendiri bagi masyarakat Jawa sering menjadi inspirasi dalam menciptakan gambaran tentang ratu adil. Keberadaannya kerap kali dikaitkan sebagi penitisan Dewa Wisnu yang terakhir di tanah Jawa.[2] Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa Prabu Jayabaya hidup pada atmosfer jaman Hindhuisme dimana seorang raja besar yang pernah hidup digambarkan memiliki hubungan dengan dunia mistik, sebagi wujud inkarnasi Dewa dalam rangka menjaga kelangsungan kehidupan di mayapada (bumi).

Akan tetapi pesan utama yang hendak disampaikan ramalan Jayabaya tentang sosok prabu Jayabaya, hakekatnya justru tidak mengkaitkan sang raja dengan Hindhuisme. Dalam Serat Praniti Wakya, Prabu Jayabaya digambarkan sebagai seorang yang telah menganut agama Islam. Bahkan dalam versi Serat Jayabaya yang lain digambarkan bahwa keislaman yang paling mendekati praktek Nabi adalah keislaman Prabu Jayabaya pada masa itu. “Yen Islama kadi Nabi, Ri Sang Jayabaya…” (Jika ingin melihat keislaman yang yang mendekati ajaran Nabi (Muhammad saw), orang demikian adalah Sang Jayabaya).[3] Gambaran keislaman yang dianggap terbaik demikian, jika memang benar terjadi, pembandingnya tentu adalah praktek keagamaan pada jaman Hindhuisme yang mendominasi tersebut. Parbu Jayabaya dianggap sebagai tokoh Muslim dengan parktek keislaman terbaik mendekati parktek Nabi dibandingkan banyak manusia pada masa itu yang masih mempraktekkan ajaran Hindhu.

Terkait dengan ‘keislaman’ Prabu Jayabaya, Serat Praniti Wakya menjelaskan bahwa raja Kediri tersebut telah berguru kepada Maulana Ngali Syamsujen yang berasal dari negeri Rum. Yang dimaksud dengan tokoh tersebut tentu adalah Maulana ‘Ali Syamsu Zein, seorang sufi yang kemungkinan besar berasal dari Damaskus. Pabu Jayabaya, digambarkan dalam Praniti Wakya sebagai sangat patuh menjalankan ajaran gurunya yang beragama Islam tersebut.

Lantas, apakah ‘keislaman’ Prabu Jayabaya yang hidup dalam atmosfer jaman kehindhuan ini dapat dipertanggungjawabkan sebagai informasi yang shahih ? Hal ini merupakan persoalan yang sulit diverifikasi kebenarannya. Sebab tidak terlalu banyak bahan yang dapat digunakan untuk merekonstruksi kehidupan keagamaan pada masa hidup Prabu Jayabaya. Bahkan tidak sedikit yang menggambarkan bahwa sosok Prabu Jayabaya tidak lain hanya sekedar tokoh fiktif belaka. Penulisan beragam versi Jangka Jayabaya pun, umumnya berasal dari masa belakangan, dimana Islam telah berkembang sebagai ajaran masyarakat. Namun hal ini penting dimengerti, terutama bagi para da’i yang berdakwah kepada kaum kebatinan dan kejawen, bahwa klaim mereka tentang Jangka Jayabaya merupakan kitab milik kaum kebatinan dan kejawen adalah salah. Sebab kitab ini sesungguhnya kitab ini dihasilkan berdasarkan pengaruh ajaran Islam.

Terkait keberadaan penganut agama Islam pada masa yang diyakini sebagai ‘Jaman’ Jayabaya, bukan merupakan persoalan yang mustahil. Prabu Jayabaya diyakini hidup pada abad XII, pada masa antara tahun 1135 dan 1157 M.[5] Sedangkan pada masa sebelumnya, yaitu era pemerintahan Erlangga, abad XI, di Leran, sekitar 8 (delapan) kilometer dari Gresik, telah ditemukan batu nisan dari makam seorang bernama Fathimah binti Maimun bin Hibatullah yang memberikan informasi bahwa wanita yang diyakini beragama Islam tersebut meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H atau tahun 1082 M.[6] Bahkan menurut Prof. Dr. Hamka jauh-jauh hari sebelumnya, dalam catatan China, disebutkan bahwa raja Arab telah mengirimkan duta untuk menyelidiki seorang ratu dari Holing (Kalingga) yang bernama Ratu Shi Ma yang diyakini telah melaksanakan hukuman had. Ratu tersebut ditahbiskan antara tahun 674-675 M. Prof. Dr. Hamka menyimpulkan bahwa raja Arab yang dimaksud adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang hidup pada masa itu dan wafat pada 680 M.[7] Demikan juga hasil kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali adalah abad I H atau abad VII-VIII M.[8]

Karya sastra yang ditulis pada masa yang diperkirakan sebagai era Jayabaya, juga memiliki kecenderungan terpengaruh oleh keberadaan ajaran Islam. Disertasi Dr. Sucipta Wiryosuparto menyebutkan bahwa Kakawin Gatutkacasraya karya Mpu Panuluh, banyak menggunakan kata-kata dari Bahasa Arab.[9] Penggunaan kosa kata Arab yang serupa juga dapat ditemukan dalam Serat Baratayuddha, karya bersama Mpu Panuluh dan Mpu Sedah. Tulisan pujangga yang demikian tentu tidak mungkin terjadi kecuali telah terjadi interaksi dengan penganut agama Islam. Hal ini membuktikan bahwa telah ada komunitas umat Islam di Tanah Jawa pada masa yang diyakini sebagai era Jayabaya. Dengan demikian dakwah kepada penguasa, termasuk kepada Prabu Jayabaya pun bukan merupakan perihal yang mustahil. Demikian juga tentang keislaman sang raja Jayabaya merupakan persoalan yang sangat mungkin terjadi. Apalagi Jangka Jayabaya seringkali disebut-sebut diturunkan dari sejumlah karya yang lebih tua.

SUBSTANSI JANGKA JAYABAYA

Boleh dikatakan bahwa hampir sebagian besar isi Serat Praniti Wakya berbicara tentang “masa depan” Pulau Jawa dalam visi Jayabaya. Namun bila dicermati lebih mendalam, akan nampak bahwa Serat Praniti Wakya banyak mengambil isnpirasi penulisan dari sumber-sumber Islam berupa Al Quran dan Hadits. Berita-berita tentang akhir jaman dari kedua pusaka umat Islam tersebut kemudian diolah dalam redaksi pengarang Serat Praniti Wakya (dalam hal ini diyakini sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita). Sehingga sifat universal dari ajaran Islam tentang berita akhir jaman kemudian diterangkan dan diterapkan dalam lingkup Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar ajaaran islam dalam Serat tersebut telah mengalami proses yang disebut ‘jawanisasi’. Namun demikian, substansi Islam itu sendiri masih nampak bersifat tetap dan tidak hilang.

Simak misalnya, penuturan Jayabaya tentang kiamat. Sang Prabu menyatakan bahwa kiamat adalah “kukuting djagad lan wiji kang gumelar iki, iku tekane djajal laknat …”.[10] Sorotan lain Serat Praniti Wakya juga membahas tentang pandangan Prabu Haji Jayabaya tentang akan datangnya Yakjuja wa Makjuja[11] (Ya’juj dan Ma’juj), kiamat kubra[12] (kiamat besar), lochil ma’pule[13] (lauh al mahfudz), dan lain sebagainya.

Konsep-konsep yang termuat dalam Serat Paraniti Wakya tersebut di atas jelas tidak dapat diingkari berasal dari ajaran Islam. Deskripsi beberapa terminologi Islam dalam Praniti Wakya sebagian memang tidak bersifat lugas dan jelas. Pembabakan Jaman menjadi 3 bagian seperti jaman kaliswara, kaliyoga, dan kalisengara jelas bukan merupakan visi ajaran Islam. Demikian juga beberapa ramalan tentang ‘akan’ munculnya sejumlah kerajaan di Jawa seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura, dan Surakarta. Namun hal tersebut bukan tidak dapat dijelaskan. Penjelasan pertama, sangat mungkin sang pengarang Praniti Wakya, yaitu R. Ng. Ranggawarsita bermaksud menggambarkan pemahaman sang tokoh Prabu Jayabaya secara apa adanya, yaitu seorang muslim yang masih hidup dalam atmosfer Hindhuisme. Namun dengan penjelasan kedua, hal tersebut bisa saja timbul dari pemikiran pengarang sendiri. Saat menulis sejumlah versi ramalan Jayabaya, jelas Ranggawarsita telah hidup pada masa dimana dia bisa mengikuti sejumlah perkembangan terkait jatuh bangunnya sejumlah kerajaan pada masa lampau, seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, dan seterusnya. Penjelasan awal tersebut memiliki konsekuensi memungkinkan terjadinya pembenaran bahwa Ramalan Jayabaya memang seolah terbukti akurat. Namun mengingat bahwa tidak ada catatan pasti yang menyatakan bahwa Prabu Jayabaya merupakan sosok yang memang ‘pintar’ meramal masa depan, maka penjelasan kedua ini lebih dapat digunakan sebagai argumentasi. Sedang terkait banyaknya konsep Islam dalam ramalan Jayabaya yang kadang terlihat ‘kurang’ islami lagi, mungkin hal ini disebabkan pemahaman R. Ng. Ranggawarsita yang kurang tuntas dalam memahami Syariat Islam.

Ranggawarsita pernah belajar di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, dibawah asuhan Kyai Hasan Bashori atau sering disebut Kyai Kasan Besari dalam lidah Jawa. Sebelum berangkat ke pondok, sebenarnya Ranggawarsita telah pandai membaca Al Quran. Oleh karena pengajaran awal di pondok Pesantren Tegalsari, adalah pelajaran tentang kajian Al Quran dan Fiqih maka Ranggawarsita menjadi jengkel. Bahkan untuk melampiaskan kekesalannya, dia sering keluar dari lingkungan pondok untuk berjudi mengadu ayam. Kyai Kasan Besari akhirnya mengetahui kekesalan Ranggawarsita, maka kepada sang Ranggawarsita kemudian diajarkan ilmu tassawuf.[14] Agaknya hal ini sangat berpengaruh terhadap pemahaman syariat Ranggawarsita pada masa selanjutnya.

Sedangkan ‘ramalan’ bersifat futuristik yang seolah memiiliki kesesuaian dengan jaman yang diramalkan, hal tersebut bukannya tidak dapat dijelaskan. Misalnya ungkapan bahwa “… Nusa Jawa bakal kinalungan wesi” (Pulau Jawa akan dikalungi besi). Sebagian penafsir memaknai ungkapan tersebut berkaitan bahwa di Jawa akan timbul industrialisasi. Ada pula yang memaknai bahwa kalung besi yang dimaksud adalah penggambaran bentuk rel kereta api. Jika penafsiran ini benar, maka perlu diketahui bahwa Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda, dimana pengaruh Belanda dalam lingkungan Keraton telah merasuk sedemikian kuatnya. Sedangkan di bumi Eropa sendiri, dimulai dari Perancis dan menyebar ke seluruh Eropa termasuk Belanda, telah mengalami Revolusi industri sehingga industrialisasi maupun transportasi darat menggunakan kereta api sudah umum keberadaannya. Cerita-cerita demikian tentu dapat didengar di wilayah Keraton yang secara intens terlibat dalam pergaulan bangsa Belanda. Sudah tentu dalam pandangan Ranggawarsita, jika Jawa berada dalam genggaman Belanda, maka tidak urung ‘kalung besi’ akan mengitari Jawa. Hal itu bisa berupa industrialisasi maupun wujud rel kereta api.

Menariknya, serat Praniti Wakya sebagai buah karya R. Ng. Ranggawarsita, mediskripsikan pandangan Prabu Jayabaya terhadap tradisi kepemimpinan pendeta. Telah banyak diketahui bahwa para pendeta dalam sistem kasta Hindhu memiliki strata kedudukan paling tinggi secara sosial. Lebih tinggi dari kasta para raja dan bangsawan yang masuk ke strata kedua, yaitu kasta Ksatria. Diceritakan bahwa setelah selesai belajar kepada Maulana ‘Ali Syamsu Zain, Prabu Jayabaya bersama putranya yang bernama Prabu Anom Jayamijaya berniat mengantar kepulangan sang guru ke negeri Rum hingga ke pelabuhan. Sepulang dari pelabuhan, Prabu Jayabaya dan putranya menyempatkan diri singgah dipertapaan seorang pendeta bernama Ajar Subrata, saudara seperguruan sang Prabu namun masih menganut ajaran Hindhu. Sang pendeta bermaksud mencobai Prabu Jayabaya yang dikenal sebagi titisan Bathara Wisnu dengan memberi suguhan berupa 7 (tujuh) jenis yaitu kunyit satu rimpang, jadah (makanan dari beras ketan ditumbuk) darah, kejar sawit, bawang putih, bunga melati, dan bunga seruni masing-masing satu takir (wadah yang dibuat dari daun pisang, biasanya untuk meletakkan sesaji).[15]

Suguhan tersebut bagi Prabu Jayabaya, memiliki makna tersandi atau arti tersembunyi yang berada disebalik suguhan tersebut. Apalagi Prabu Jayabaya dan Ajar Subrata pernah menjadi saudara seperguruan sehingga dimungkinkan mereka memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama. Suguhan tersebut membuat sang Prabu sangat marah dan akhirnya membunuh sang pendeta sekaligus putrinya yang menjadi istri dari Prabu Anom Jayamijaya, putranya. Pasca peristiwa tersebut Jayabaya menerangkan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan untuk menghukum kekurangajaran sang pendeta yang secara tersandi berniat mengakhiri kekuasaan raja-raja di Jawa. Suguhan tersebut memiliki makna bahwa jika Prabu Jayabaya memakannya maka kekuasaan akan tetap berada ditangan pendeta dan jaman baru, termasuk di dalamnya berkembangnya ajaran Islam, tidak akan pernah terjadi.

Demikianlah pandangan Serat Praniti Wakya, bahwa Prabu Jayabaya adalah titisan Wisnu yang hanya tinggal dua kali akan turun ke Marcapada. Pasca Prabu Jayabaya, dikisahkan bahwa Wisnu akan menitis di Jenggala dan setelah itu tidak akan pernah menitis kembali serta tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap kemakmuran ataupun kerusakan bumi maupun alam ghaib.

“… Ingsun iki pandjenenganing Wisjnu Murti[16], kebubuhan agawe rahardjaning bumi, dene panitahingsun mung kari pindo, katelu ingsun iki, ing sapungkuringsun saka Kediri nuli tumitah ana ing Djenggala, wus ora tumitah maneh, karana wus dudu bubuhan ingsun, gemah rusaking djagad, lawan kahananing wus ginaib, ingsun wus ora kena melu-melu, tunggal ana sadjroning kakarahe guruningsun, ...”[17]

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa ajaran kedewaan dalam Hindhuisme tidak akan berlaku lagi pasca penitisan wisnu di Jenggala. Hal ini diperkuat pula bahwa pasca penitisan di Jenggala, Wisnu tidak akan memiliki tanggung jawab lagi terhadap keutuhan dunia nyata maupun dunia maya alam ghaib, termasuk alam kedewaan sekalipun. Dapat kita lihat pula bahwa pasca itu, Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan tersohor di nusantara sekalipun ternyata sudah tidak melaksanakan ajaran Hindhu secara murni, namun menjalankan sinkertisme antara ajaran Syiwa dan Budha. Selanjutnya, jaman akan berubah menuju jaman Islam yang diisyaratkan bahwa semua keadaan akan menjadisatu dengan tongkat atau pegangan guru Jayabaya yang bernama Maulana ‘Ali Syamsu Zein. Bahkan secara tersirat Serat Praniti Wakya sebenarnya mencoba mengungkapkan bahwa Bathara Wisnu, Dewa yang masuk dalam Trimurti[18] dan memiliki tanggung jawab memelihara alam semesta, ternyata telah pula menerima ajaran Islam sebagai agamanya.

PENUTUP

Demikian sekilas gambaran tentang Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya. Kitab tersebut pada dasarnya merupakan buku yang mencoba untuk memberikan apresiasi terhadap keberadaan Islam di Pulau Jawa. Hatta, di dalamnya mengandung banyak hal-hal yang musykil dan seolah tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun dengan memandang kitab tersebut sebagai bagian dari proses dakwah di Pulau Jawa, maka perlu pula kaum muslimin mengkaji dan mengapresiasi serat tersebut. Sebab telah banyak kitab Jawa yang sebenarnya memiliki nafas Islam secara kental, namun diklaim sebagi kitab Hindhu maupun kebatinan. Hal ini sudah tentu disebabkan kepedulian umat Islam yang masih minim dan sekaligus kurangnya pengetahuan terhadap naskah-naskah lama karya pujangga. Juga mengindikasikan bahwa kajian keilmuan dikalangan umat Islam, saat ini, masih belum membudaya.

Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya, karya seorang pujangga R. Ng. Ranggawarsita, seolah merupakan bentuk sinkretis perpaduan antara Islam dan kejawen. Akan tetapi nampak bahwa ajaran Islam lebih dominan sebagai substansi. Sedangkan ‘kejawen’ sendiri terposisikan sebagai kulit luar dari bentuk pemikiran Jawa yang telah terisi dengan ruh Islam.

Selanjutnya, jika pembaca termasuk ke dalam kelompok kalangan yang mempercayai ramalan Jayabaya sebagai ramalan yang memiliki akurasi tinggi, maka bersegeralah kembali kepada Islam dan sumber-sumbernya berupa Al Quran dan Ash Shunnah. Sebab, hakikatnya “ramalan” Jayabaya merupakan bagian dari upaya memahami Islam melalui proses pencarian panjang yang belum selesai. Sedangkan bagi kalangan yang menolak sebelum mengkaji hal ini sebelumnya, maka hendaknya akan dapat mengubah sikap terhadap pemahaman hakikat segala sesuatu. Bahwa sahnya sebuah amalan adalah pasca terbitnya sebuah kepahaman mendalam.

FOOTNOTE

[1] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. (PT. Yudha Gama Corp, Jakarta, 1982). Hal.

[2] Noname. Serat Praniti Wakja Djangka Djojobojo. (Penerbit Keluarga Soebarno, Surakarta, tth). Hal. 5

[3] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya …. Opcit. Hal. 20

[4] Noname. Serat Praniti Wakja … Opcit. Hal. 5. Artinya : Sedang yang menjadi pembuka cerita adalah beliau Prabu Haji Jayabaya, raja yang seperti Dewa, yang disebut ratu adil, populer di dunia sebagai titisan Dewa Wisnu.

[5] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya … Opcit. Hal. 16

[6] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya … Opcit. Hal15-16. Juga M. C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia. (Macmillan Education Ltd, London and Hampshire, 1981. Edisi Indonesia :Sejarah Indonesia Modern. Terjemah oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono. Cetakan II. (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992). Hal. 3-4

[7] Prof. Dr. Hamka. Sejarah Umat Islam. Edisi Baru. Cetakan V. (Pustaka Nasional Ltd, Singapura, 2005). Hal. 671-673

[8] Panitia Seminar Masuknya Islam ke Indonesia. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia: Kumpulan Pidato dan Pendapat Para Pemimpin, Pemrasaran, dan Pembanding dalam Seminar tanggal 17 Sampai 20 Maret 1963 di Medan. (Panitia Seminar Masuknya Islam ke Indonesia, Medan, 1963). Hal. 265

[9] Selengkapnya tentang kata-kata Bahasa Arab dalam Kakawain Gathutkacasraya lihat Prof. Dr. Sucipta Wiryosuparto. Kakawin Gatutkaca Craya. (Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 1960).

[10] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 28. Artinya: Kiamat adalah hancurnya dunia dan benih (kehidupan) yang terhampar ini, itu (ditandai) dengan datangnya Dajjal laknat …

[11] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 29

[12] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 30

[13] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 31

[14] Moh. Hari Soewarno. Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco Tentang Islam. (PT. Antar Surya Jaya, Surabaya, 1985). Hal. 16-17. Buku ini menurut penulis banyak memiliki kelemahan dari sisi data, analisa, dan metodologi terutama dalam membahas tentang Serat Darmagandul dan Suluk Gatoloco.

[15] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 19-20

[16] Istilah Wisnu Murti menunjukkan salah satu nama penitisan Dewa Wisnu dalam tiap-tiap masa dalam pandangan masyarakat Jawa pra-Islam. Dalam dunia pewayangan Jawa, terutama kisah Ramayana, penitisan Wisnu menjelma menjadi Ramawijaya dan Laksmana. Pada ramawijaya menitis Wisnu Purba (baca : purbo yang “artinya memiliki wewenang”). Sedangkan pada diri Laksmana menitis Wisnu Sejati. Sedangkan pada era Mahabarata Wisnu Murti pernah menitis pada tokoh Kresna dan Arjuna. Sedangkan dalam Lakon wayang Wahyu Purba Sejati, digambarakan bahwa setelah meninggalnya Ramawijaya dan Laksmana, tokoh dari era Ramayana. Kemudian Wisnu Purba menitis pada tokoh Kresna dan Wisnu Sejati menitis pada Arjuna di era Mahabarata. Namun kisah lain menyebutkan bahwa Wisnu Sejati kemudian merasa tidak betah berada dalam tubuh Arjuna, sebab sebelumnya tokoh Laksmana terkenal sebagai karakter wayang yang menjalani hidup wadat (selibat=tidak menikah). Sedangkan Arjuna memiliki istri banyak. Dengan demikian Kresna, Raja Dwarawati atau Dwaraka, mendapat dua penitisan sekaligus yaitu Wisnu Murti dan Purba. Sedangkan Arjuna hanya merupakan penjelmaan Wisnu Murti.

[17] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 21-22. Artinya: “…aku ini adalah Wisynu Murti, berkewajiban membuat kesejahteraan di bumi, dan penitisanku dibumi tinggal tersisa dua kali, penitisan ketiga adalah diriku ini, sedangkan selanjutnya di Jenggala, pasca itu aku sudah tidak menitis sebagi manusia lagi, sebab hal itu bukan tanggungjawabku lagi, makmur atau rusaknya dunia serta keadaan alam ghaib, aku sudah tidak boleh campur tangan, semuanya sudah menjadi tanggung jawab sesuai tongkat yang dimiliki guruku .”

[18] Trimurti merupakan ajaran Hindhu yang menyebutkan bahwa terdapat tiga unsur ketuhanan yaitu Brahma, Wisnu, Syiwa, dan Wisnu. Brahma berperan sebagai pencipta alam raya, sedang Wisnu menjadi pemelihara, dan syiwa adalah anasir kekuatan perusak alam semesta.

TELA'AH TERHADAP SERAT DARMA GANDUL

TELA’AH TERHADAP SERAT DARMA GANDUL


PENDAHULUAN
Jawa adalah sebuah peradaban, walaupun belum diakui secara aklamasi oleh dunia. Kehidupan di Jawa telah dimulai jauh sebelum kedatangan Hindhu. Jawa dalam kemandirian peradabannya merupakan sebuah manifestasi sistem yang sukar ditundukkan oleh pengaruh yang berasal dari luar. Hindhu sendiri misalnya, tidak sepenuhnya agama yang berasal dari India tersebut mampu mengubah ‘sifat bangsa’ Jawa yang egaliter. Sistem Kasta dalam Hindhu tidak sepenuhnya merasuk dalam pemikiran Jawa. Bahkan sistem Kasta tersebut terdekonstruksi oleh pola pikir jawa dan mengalami proses jawanisasi. Maka kemudian terbentuklah ajaran agama Hindhu menjadi ‘Hindhu kejawen’.
Di Jawa juga terdapat sejumlah aliran kebatinan yang tumbuh dan berkembang. Di antara banyak aliran kebatinan tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pemikiran Jawa banyak dipengaruhi oleh beberapa kitab antara lain Darmagandul, Gatoloco, Hidayat Jati, dan Serat Centhini. Dalam hal ini penulis akan coba untuk membahas buku darmagandul sebab tulisan tersebut menceritakan tentang ketidakpuasan para pendukung Majapahit melihat hancurnya kerajaan Hindhu tersebut dan digantikan oleh kerajaan Islam. Perlu diketahui bahwa buku Darmagandul menyatakan bahwa seolah-olah rakyat Jawa pada masa itu, termasuk kerajaan majapahit dan para penguasanya, adalah penganut agama Budha. Tentu saja keterangan ini berbeda dengan versi sejarah yang kita ketahui yang menyebutkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindhu.
Buku Darmagandul merupakan tulisan yang sebagian besar mengisahkan tentang keruntuhan kerajaan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam versi Darmagandul Majapahit runtuh akibat serangan dari Adipati Demak yang bernama Raden Patah. Sebenarnya Raden Patah masih merupakan putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir, dengan seorang putri dari China. Namun, menurut buku Darmagandul, para ulama yang dipimpin sunan Giri dan Sunan Benang (Bonang) yang tergabung dalam majlis dakwah wali sanga, memprovokasi Raden Patah agar merebut tahta kerajaan dari ayahnya yang masih kafir, karena memeluk agama Budha. Bujukan para wali berhasil, sehingga pada akhirnya Majapahit dapat dibumi hanguskan dan Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Buku darmagandul juga mengupas tentang ‘budi buruk’ para ulama yang oleh Prabu Brawijaya diberi kebebasan untuk berdakwah diwilayah Majapahit, namun pada saat Islam telah menjadi besar mereka berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi baik sang raja Brawijaya. Hal ini ditunjukkan dengan ekspresi penulis Darmagandul ketika mengartikan wali adalah walikan (kebalikan). Artinya diberi kebaikan namun membalas dengan keburukan.
Penulis menggunakan buku Darmagandul terbitan Toko Buku “Sadu-Budi” Solo. Buku tersebut merupakan cetakan keempat dengan angka tahun 1959 yang ditampilkan dalam bentuk gancaran dengan Bahasa Jawa Ngoko. Buku tersebut ditulis berdasarkan kitab induk yang dimiliki oleh K.R.T. Tandanagara. Buku Darmagandul tersebut diberi keterangan sebagai buku yang mengisahkan tentang cerita runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak yang dimulai sejak orang Jawa meninggalkan agama Budha dan beralih menganut agama Islam.
PERMASALAHAN
Secara umum buku Darmagandul tidak memberikan penjelasan tentang identitas instrinsik berupa nama penulis (anoname) dan masa kepenulisan. Selain itu buku tersebut menampilkan diri sebagai salah satu tulisan yang menampilkan cerita sejarah. Sebagaiman telah menjadi pandangan umum, sejarah adalah fakta tunggal yang bisa ditafsirkan berdasarkan motif dan rasionalisasi tertentu. Padahal kajian sejarah membutuhkan kepastian sumber sejarah atau setidaknya sebuah bentuk otoritas tertentu. Maka penulis akan mencoba mengkaji buku Darmagandul tersebut berdasarkan batu uji sebagai berikut:
1. Siapa penulis buku Darmagandul dan kapan masa penulisannya ?
2. Bagaimana kisah runtuhnya kerajaan majapahit dan Berdirinya Demak ?
3. Apa dan bagaimana intisari ajaran serat Darma gandul ? 
MEMAHAMI IDENTITAS PENULIS DARMOGANDUL
Kitab Darmagandul (sering ditulis dengan Darmo Gandul atau Darma Gandhul atau Darmo Gandhul) merupakan sebuah buku kontroversial yang berusaha memojokkan agama Islam dan mengembalikan suku Jawa kepada kepercayaan nenek moyangnya yaitu agama Budha. Isinya secara dominan mengisahkan tentang kehancuran dan keruntuhan majapahit akibat serangan Demak dan Politik ‘kotor’ para wali. Sedangkan isinya yang lain merupakan bentuk pengajaran beberapa falsafah dan pemikiran ‘ilmu kehidupan’ dari seorang guru bernama Kyai Kalamwadi dengan muridnya yang bernama Darmagandul.
Identitas pengarang Serat Darmagandul tidak jelas. Demikian juga latar belakang dan masa penulisannya. Sebagian besar kalangan meyakini bahwa Serat Darmagandul ditulis pada masa peralihan antara runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak. Jika asumsi ini benar, maka latar belakang penulisan Serat Darmagandul bisa ditebak yaitu kegundahan hati penulis Serat melihat banyaknya rakyat Majapahit yang memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Budha secara masal. Namun jika asumsi tersebut salah maka identitas penulis Darmagandul tetap bisa diidentifikasi sebagai oknum yang menderita islamophobia dan sekaligus menunjukkan kebencian terhadap eksistensi Islam.
Secara umum buku Darmagandul banyak memiliki kesalahan data dalam mengungkapkan fakta sejarah. Oleh karena itu sulit dipastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak. Bukti lebih kuat justru menekankan bahwa buku tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan bangsa Eropa di Bumi Nusantara. Oleh karena itu cerita sejarah dalam serat tersebut boleh diabaikan dari kedudukannya sebagai sebuah fakta.
Misalnya diceritakan bahwa dalam sebuah peperangan, tentara Demak yang terdiri dari orang-orang Giri mengalami kekalahan kerana tidak mampu menghadapi tentara Majapahit yang menggunakan bedhil (senapan) dan mimis (peluru). Hal tersebut diungkapkan sebagai berikut :
… wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis, …
Dari kalimat di atas, sulit dipahami bahwa tentara Majapahit telah mengenal senjata api berupa senapan. Sedangkan fakta sejarahnya, senapan dengan istilah bedil, baru dikenal oleh orang Jawa pasca kedatangan bangsa Eropa di bumi Nusantara. Maka jelas bahwa buku Darmagandul baru ditulis pasca kedatangan bangsa Eropa dan bukan pada masa peralihan antara kejatuhan Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak sebagaimana diyakini sebagian kalangan.
Selain itu buku ini juga telah menceritakan tentang hubungan antara para auliya’ dari berbagai negeri dengan pohon pengetahuan dalam bentuk perbandingan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :
“ Sastra warna-warna paringane Kang Maha Kawasa, iku wajib dipangan, supaya sugih pangreten lan kaelingan, mung wong kang ora ngerti sastra paring Gusti Allah, mesti ora ngerti marang wangsit. Auliya’ Gong Cu kumentus niru sastra tulisan paring Gusti Allah, nanging panggawene ora bisa, sastrane unine kurang, dadi pelon, para auliya panggawene sastra dipatoki cacahe, mung aksara Cina kang akeh banget cacahe, nanging unine pelo, amarga Auliya kang nganggit kesusu mangan woh kawruh, ing mangka iya kudu mangan woh wit Budi, Auliya mau lali yen tinitah dadi manusa, ewadene meksa nganggo kuwasane Kang Maha Kuwasa, anggayuh kang dudu wajibe, kesusu tanpa panglulu nganggit aksara kang tanpa etungan cacahe, jenenge sastra godhong, godhonge wit budhi lan wit kawruh, dipethik saka satitik, ditata dikumpulake, banjur dianggit kanggo sastra, mulane aksarane nganti ewon, Auliya China kesiku, amarga arep gawe sastra urip kaya yasane Gusti Allah. Auliya Jawa enggone mangan woh Budi nganti wareg, mula enggone nganggit aksara sanadyan ora pati akeh cacahe, nanging wis bisa nyukupi, sarta unine ora pelo. Auliya Walanda enggone mangan woh wit kawruh uga ngati wareg, dene enggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Auliya Arab enggone mangan woh wit Kuldi akeh banget. Dene enggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Nanging yen sastra yasane Gusti Allah dadine saka sabda, wujude dadi dewe, mulane unine iya cetha, satrane ora ana kang padha.”
Perbandingan dalam kategori sastra dan jumlah aksara antar bangsa kemudian digunakan untuk menetukan harkat dan martabat serta ‘ketinggian’ pengetahuan dan budi, jelas merupakan ide yang ahistoris. Aksara Jawa dalam kenyataan yang sebenarnya tidak cukup baik untuk menuliskan semua huruf yang bisa dilafalkan melalui suara. Sebagai contoh, dalam kaidah penulisan huruf Jawa terdapat konsep aksara swara dan aksara rekan. Aksara swara adalah huruf yang digunakan untuk menuliskan huruf vokal di awal kata yang digunakan pada kata-kata yang berasal dari manca, seperti pada kata Allah, Eropah, Umar, dan lain sebagainya. Sedangkan aksara rekan adalah huruf-huruf yang digunakan untuk menuliskan pelafalan huruf manca yang tidak terdapat dalam aksara Jawa, seperti za, fa, gha, kha, dan dza. 
Selain itu kata ‘Auliya Walanda’ menunjukkan bahwa Serat Darma Gandul ditulis pada masa atau pasca penjajahan Bangsa Belanda. Kata Walanda yang berarti Belanda (sebutan untuk Netherland dari bangsa Indonesia) tidak mungkin dikenal pada masa peralihan antara Majapahit dan Demak. Maka teori masa penulisan yang menyebutkan, antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, dengan demikian jelas terbantahkan.
Buku Darmagandul seringkali menggunakan frase wit kawruh yang bermakna pohon pengetahuan. Idiom ‘pohon pengetahuan’ bukanlah kata-kata yang wajar dalam nalar Jawa. Falsafah Jawa lebih sering menampilkan kata-kata seperti banyu bening (air bening), banyu penguripan (air penghidupan), cahya, sunar, pepadhang, dan berbagai frase yang melibatkan air atau identik dengan cahaya, bukannya pohon semacam pohon pengetahuan. Penggunaaan kata pohon (wit atau taru) secara simbolis, dalam pemikiran Jawa, umumnya digunakan untuk menggambarkan kebijaksanaan, pengayoman, dan beberapa hal yang identik dengan kewibawaan penguasa. Jika dirunut kepada ajaran Budha sekalipun tidak akan dapat ditemukan ajaran yang identik dengan pohon pengetahuan. Pohon Bodhi, dalam ajaran Budha, yang dianggap sebagai pohon dimana Sidharta Gautama menerima ilham di bawahnya, secara harfiah lebih mudah dimaknai sebagai pohon penerangan agung atau kesadaran yang sempurna atau ilham atau pencerahan dan bukannya pengetahuan. Lantas dari mana ide tentang pohon pengetahuan tersebut bersumber ? Dari penggalan di bawah ini, ide tentang pohon pengetahuan akan dapat dilacak.
“ Darmogandul matur, nyuwun diterangake bab enggone Nabi Adam lan Babu Kawa pada kesiku dening Pangeran, sabab saka enggone padha dhahar wohe kayu kawruh kang ditandur ana satengahing taman firdaus. Ana maneh kitab kang nerangake kang didhahar Nabi Adan lan Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing swarga. Mula nyuwun diterangake, yen ing kitab Jawa diceritaake kepriye, kang nyebutake kok mung kitab Arab lan kitabe wong Srani ”.
Ide tentang Pohon Pengetahuan dalam Serat Darmagandul, tidak bisa diingkari, dapat dilacak ke dalam pemikiran kekristenan. Hal ini dapat ditinjau dalam Kitab Perjanjian Lama dalam Kejadian 2 : 16-17 sebagai berikut :
Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,
tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
Ide pohon pengetahuan dalam dalam Kitab Perjanjian Lama tersebut seolah-olah ditolak dengan kalimat dalam Darmogandul sebagai berikut :… Yen Kitab Jawa ora nyebutake mangkana (maksudnya kisah Pohon pengetahuan atau Pohon Kuldi) ”. Akan tetapi ide-ide tentang pohon pengetahuan dalam Perjanjian Lama tersebut dalam berbagai tempat justru diakomodasi oleh serat Darma Gandul. Pada saat yang bersamaan terjadi miskonsepsi dalam buku Darmogandul tentang penilaiannya terhadap “Pohon Kuldi” dalam pandangan Islam. Pohon Kuldi (syajaratul khuldi) yang bermakna pohon kekekalan pada hakikatnya adalah upaya pendefinisian yang dilakukan oleh Iblis terhadap pohon yang tumbuh di jannah dimana Allah melarang Adam untuk mendekatinya. Dengan demikian nama pohon Kuldi dalam pandangan Islam bukan merupakan propername haqiqi yang dikenal dalam konsep Islam, namun secara substansial maupun aksi merupakan bentuk kekejian dan pengelabuhan Iblis terhadap Adam.
Dalam beberapa tempat, penulis Darmogandul nampaknya lebih menguasai doktrin kekristenan dibandingkan ajaran Islam dan Budha, dalam hal ini yang coba dibelanya. Bahkan penulis Darmogandul memiliki itikad untuk menampilkan bahwa agama Nashrani lebih memiliki keunggulan dibandingkan agama-agama lainnya. Motif ini dapat ditelisik dimana, agama lain dalam hal ini Islam, senantiasa ditempatkan dalam image negatif. Sementara nashrani ditempatkan secara positif dalam gambaran sebagai berikut :
“… Kang diarani agama Srani iku tegese sranane ngabekti, temen-temen ngabekti mrang Pangeran, ora naganggo nembah brahala, mung nembah marang Allah, mula sebutane Gusti Kanjeng Nabi Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake, mangkana kang kasebut ing kitab Ambiya.” 
Dalam buku Darmagandul juga terdapat cerita tentang salah satu putra Nabi Dawud yang bernafsu untuk menggantikan kekuasaan ayahnya. Sang anak lantas melakukan kudeta (coup d’etat). Namun Nabi Dawud berhasil merebut kembali tahtanya dan sang anak kemudian melrikan diri dan tewas dengan kepala tersangkut di pohon saat menunggang kuda. Cerita tersebut dijabarkan sebagai berikut :
“…carita tanah Mesir, panjenengane Kanjeng Nabi Dawud, putrane anggege keprabone rama, Nabi dawud nganti kengser saka nagara, putrane banjur sumilih jumeneng nata, ora lawas Nabi Dawud saged wangsul ngrebut negarane. Putrane nunggang jaran mlayu menyang alas, jaranae ambandang kecantol-cantol kayu, putrane Nabi Dawud sirahe kecantol kayu, ngati potol gumantung ana ing kayu, iya iku kang di arani kukuming Allah.”
Cerita tentang kisah putra Dawud yang durhaka sebagaimana cerita di atas sudah tentu tidak akan dijumpai dalam sumber-sumber Islam, baik Al Quran, hadits, maupun kitab klasik lainnya. Sebab cerita tersebut bersumber langsung dari kitab umat Nashrani yaitu Perjanjian Lama dalam kitab 2 Samuel pasal 15 sampai 18. Secara ringkas cerita dalam kitab 2 Samuel tersebut adalah Absalom, putra Raja Dawud, berniat menarik simpati rakyat dengan menangani perkara pengadilan di kerajaan ayahnya. Hakikatnya, Absalom sedang mempersiapkan diri dan menghimpun kekuatan ntuk memberontak kepada sang Ayah. Maka sejumlah persepakatan gelap dibuat sehingga banyak rakyat memihak Absalom. Mengetahui posisi politiknya kurang menguntungkan, maka Dawud kemudian meloloskan diri beserta pegawai dan keluarganya yang lain. Pada giliran selanjutnya Dawud dapat memukul mundur tentara Absalom. Absalom yang mengendarai bagal (binatang keturunan kuda dan keledai) berlari. Ketika melewati jalinan dahan pohon Tarbantin yang besar, kepala Absalom tersangkut, sedangkan bagal yang dikendarainya terus berlari. Dengan demikian kisah dalam serat Darmagandul pada dasarnya merujuk langsung ke dalam Perjanjian Lama, kitab yang diakui oleh umat Kristen dan Yahudi sebagai kitab suci.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan di atas maka identitas penulis dan masa penulisan buku Darmagandul dapat disimpulkan point-point sebagai berikut :
1. Penulisan buku Darmagandul dilakukan pada masa penjajahan Belanda atau bahkan ada kemungkinan jauh setelahnya, mengingat telah ada bentuk pemahaman yang mendalam terhadap kitab Perjanjian Lama. Dengan asumsi bahwa penulis kitab Darmagandul merupakan orang Jawa, maka pada masa penulisannya seharusnya sudah ada terjemahan Bible dalam Bahasa Jawa atau bahasa lain yang mungkin dapat dipahami. Dengan demikian anggapan bahwa buku tersebut ditulis pada masa transisi antara keruntuhan majapahit dan berdirinya kerajaan Demak dengan sendirinya terbantahkan.
2. Identitas penulis buku Darmagandul adalah orang Kristen atau setidaknya pernah mempelajari kekristenan. Jika bukan keduanya maka setidaknya penulis buku tersebut adalah penghayat sinkretisme agama atau bahkan seorang ‘perenialis pilih kasih” sebab menganggap semua agama sama baiknya, kecuali Islam. Namun demikian identitas penulis Darmagandul sebagai seorang yang terjangkiti Islamophobia sukar dibantah.
3. Penulis buku Darmagandul bukan penganut agama Budha. Sebab telah gagal menjelaskan beberapa doktrin mendasar dalam ajaran Budha. Salah satu contohnya penulis buku Darmagandul mengadopsi konsep kedewaan dalam doktrin agama Hindhu. 
SEPUTAR KERUNTUHAN MAJAPAHIT
Buku Darmagandul menyebutkan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan semata-mata karena serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah. Dengan sangat yakin penulis Darmagandul memaparkan hal tersebut sehingga boleh dikatakan bahwa buku tersebut menolak kemungkinan selain itu. Akan tetapi telah kita buktikan di atas bahwa buku Darmagandul tersebut bukan ditulis pada masa transisi antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, sebagaimana anggapan sebagian kalangan. Maka sejumlah item yang dipaparkan oleh buku Darmagandul boleh diabaikan sebagai sumber sejarah, sebab bukan merupakan sumber utama sejarah yang terpercaya sekaligus dimuati sejumlah kepentingan dan motif tersembunyi. Namun demikian keruntuhan Majapahit patut mendapatkan porsi pembahasan tersendiri.
Berdasarkan kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak Abad pertama hijriyah. Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya. Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan, salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah. Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya, adalah tidak benar.

Pada masa kerajaan majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar. Alasannya pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.

Sementara itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang telah menganut agama Islam, umumnya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam. Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama. Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan dilingkungan kerajaan dan didiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang memilih Islam maka bias dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin lemah.

Padahal, pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat perang paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang tersebut merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana) dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar. Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syech Siti Jenar. Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami pengeroposan dari dalam.

Dengan demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura, dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Dengan demikian tuduhan bahwa keruntuhan Majapahit akibat ‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.

INTISARI TULISAN DALAM DARMAGANDUL

Buku Darmagandul berusaha menggambarkan bahwa pengajar Islam di Jawa yang disebut wali sanga merupakan sekumpulan ulama yang memiliki moralitas dan integritas pribadi yang buruk. Melalui cerita yang disampaikan dalam bentuk dialog, digambarkan bahwa sejumlah wali senantiasa kalah dalam sejumlah dialog. Sehingga mereka kemudian dicitrakan sebagai pihak yang tersalah dan bodoh.

Sebagai contoh dalam perdebatan antara Sunan Benang (Bonang) dengan Raja Jin yang bernama Buto Locaya. Sebelumnya Sunan Benang digambarkan sebagi pribadi yang sewenang-wenang dan tidak berfikir panjang dalam melakukan sebuah tindakan. Diceritakan bahwa Sunan Benang mengutuk sebuah desa sehingga aliran sungai berpindah ke tempat lain. Akibatnya tempat baru yang dialiri sungai tersebut terjadi banjir bandang. Maka dengan marah Raja Jin Buto Locaya kemudian berdebat dengan Sunan Benang. Dalam perdebatan Buto Locaya selalu digambarkan sebagai pihak yang menang secara argumentasi sedangkan Sunan Benang berada pada pihak yang dikalahkan. Jika diamati, argumentasi yang digunakan dalam berbagai dialog dan isi keseluruhan buku darmagandul, dibangun berdasarkan bentuk silogisme yang mentah akibat kesalahan pengambilan premis dan penyimpulannya. Sebagai contoh misalnya premis pertama menyatakan bahwa Islam berasal dari Mekah, premis kedua adalah Mekah itu tanahnya panas, tidak ada tanaman yang mau tumbuh, hawanya panas dan jarang hujan, kemudian kesimpulannya adalah jika orang Jawa meninggalkan ajaran lamanya dan melakukan konversi agama beralih kepada Islam, maka tanah Jawa akan menjadi langka pangan, berhawa panas, dan jarang hujan. Demikian bentuk silogisme tersebut. Ditinjau dari segi manapun konklusi yang diambil dari kedua premis tersebut merupakan argument yang tidak logis dan sukar diterima akal sehat bahkan oleh akal sakit sekalipun.

Kemudian Sunan giri digambarkan sebagai juru tenung atau tukang sihir. Hal ini terlihat bahwa dalam salah satu bagian cerita Sunan Giri mengusulkan agar Prabu Brawijaya ditenung saja agar tidak merusak kondisi politik dan ketentaraan. Kemudian pasca Raden patah berkuasa, tersebutlah Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga yang tidak mau tunduk kepada kesultanan Demak. Kedua adipati tersebut juga merupakan putra dari Prabu Barwijaya sebagaimana Raden Patah. Maka keduanya kemudian disingkirkan oleh Sunan Giri dengan jalan ditenung sampai mengalami kematian.

Sedangkan Sunan Kalijaga digambarkan menyesali keadaan yang telah berjalan. Maka sebagai tanda penyesalannya, dia mengganti penampilannya berbeda dengan para wali yang lain. Yaitu menggunakan baju wulung dan bukannya baju surban sebagaimana umumnya para wali. Bahkan sampai pada kesimpulan bahwa untuk mencari ilmu sejati tidak harus berguru kepada orang Arab (Islam maksudnya) namun cukup dengan mengeksporasi dirinya sendiri.

Ide ‘nyleneh’ bertebaran ditampilkan dalam kitab tersebut. Antara lain serat Darmagandul berusaha meyakinkan pembaca bahwa Latta dan Uzza, berhala yang disembah oleh kaum kafir Quraisy, seolah-olah merupakan manifestasi Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam penyebutan penyebutan nama ‘Hyang Latawalhujwa’ dibeberapa tempat. Selain itu terdapat pernyataan bahwa kaum muslimin pada dasarnya bukan menyembah Tuhan namun menyembah tugu batu yang bernama Ka’bah. Pernyataan demikian seringkali ditemukan pada era saat ini. Biasanya lahir dari kekurangmengertian terhadap ajaran Islam. Dalam anggapan Darmagandul, ka’bah adalah buatan Nabi Ibrahim, seorang manusia. Lantas buku tersebut mempertanyakan mengapa orang Islam tidak menyembah batu-batu besar di Gunung Kelud saja, padahal batu gunung tersebut justru adalah ciptaan Tuhan. Tentu saja persoalannya bukan siapa menciptakan apa dan konsekuensinya. Namun Ka’bah merupakan batu penjuru bagi umat Islam, lambang kesatuan Kiblat sekaligus menjadi bukti bahwa Islam merupakan ajaran Tauhid. Pembinaan terhadap Ka’bah, dalam doktrin Islam, mengacu pada pembinaan Baitul Makmur dimana atas perintah Allah para Malaikat melakukan Thawaf mengitarinya. Pada hakikatnya bukan menyembah Ka’bah ataupun Baitul Makmur namun menyembah kepada Allah dengan mengikuti perintah dan tata cara penyembahan yang telah di atur oleh-Nya.

Lantas apakan gambaran tentang tentang para wali sebenarnya adalah demikian adanya ? Atau Apakah Serat Darmagandul merupakan sebuah kebenaran ? Sulit dipastikan, apalagi jika menggunakan serat Darmagandul sebagai sumber sejarahnya. Sebagaimana telah dibuktikan di atas Serat darmagandul bukan merupakan sumber utama sejarah sebab tidak ditulis pada masa peralihan antara kerajaan majapahit dan Kesultanan Demak sebagaimana anggapan orang. Kemudian banyak disisipi dengan berbagai motif dan kepentingan tersembunyi. Sedangkan puncak dari motif dan kepentingan dalam penulisan buku Darmagandul digambarkan sebagi suara kutukan roh Prabu Brawijaya terhadap Raden Patah sebagai berikut :

“Entek katresnanku marang anak. Den enak mangan turu. Ana gajah digetak kaya kucing, sandyan matiya ing tata-kalaire, nanging lah eling-elingen ing besuk, yen wis ana agama kawruh, ing tembe bakal tak wales, tak ajar weruh ing nalar bener lan luput, pranatane mengku praja, mangan babi kaya dek jaman Majapahit.”

Maksud kutukan roh prabu Brawijaya tersebut suatu ketika, agama Islam akan dikalahkan oleh agama kawruh. Agama kawruh sebagaimana telah dijelaskan sebangun dengan pohon pengetahuan yaitu yang dimaksud adalah Agama atau ajaran Kristen. Dengan demikian seolah-olah kitab Darmagandul merupakan kitab Jawa yang seolah-olah menggambarkan dan memberikan ramalan masa depan bahwa Islam di Jawa akan ditundukkan oleh agama Kristen yang salah satu cirinya adalah mengajar benar dan salah serta memakan babi seperti umumnya orang Majapahit. Jelas umat Budha tidak semua makan daging. Demikian juga muslim tidak memakan daging babi. Dan hal ini merupakan bukti yang nyata bahwa buku Darmagandul sejak awal memang merupakan buku dimaksudkan dan dipersiapkan guna kepentingan misi penginjilan. Mengingat bahwa penyebaran ajaran Nashrani di Indonesia telah dilakukan semenjak penjajahan bangsa Eropa di bumi Nusantara yang dilakukan dengan kekerasan. Hal itu mengingatkan kita bahwa penjajahan bangsa Barat terhadap dunia Timur selalu ditopang oleh slogan gold (kekayaan), glory (kekuasaan politik), dan gospel (penyebaran Injil).

PENUTUP
Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka dapat dismpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Penulis buku Darmagandul adalah penganut agama Nashrani yang terobsesi dengan kegiatan missi atau setidaknya pernah berinteraksi secara intensif dengan Kitab Bible
2. Masa penulisan buku Darmagandul adalah pada saat penjajahan Belanda di bumi Nusantara atau bahkan pasca itu. Dengan demikian hal ini memabantah pendapat sebagian kalangan bahwa buku tersebut ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. 
3. Buku Darmagandul memiliki banyak kesalahan dari sisi sejarah dan miskonsepsi dalam sejumlah contentnya. Hal ini wajar sebagai bukti bahwa penulis Darmagandul bukan pelaku utama sejarah tersebut sehingga pada hakikatnya buku Darmagandul adalah sebuah buku fiksi.
4. Dengan demikian buku Darmagandul tidak dengan serta merta dapat digunakan dalam menggali sumber sejarah terkait keruntuhan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak.
Wallahu a’lam
Berdasarkan cerita oral, telah ada pendahulu kerajaan di Jawa seperti Medang Kamulan, Medang Pura, dan lain-lain.
Sistem Kasta dalam Hindhu menunjuk hierarkhi manusia berdasarkan martabat dan keturunannya. Dalam Hindhu dikenal 4 macam kasta yaitu Brahmana, Satria, Waisya, dan Syudra.
Rahmad Subagya. Agama Asli Indonesia. (Sinar Harapan, Jakarta, 1981). Hal. 237
Noname. Darmagandul. Cetakan IV. (Sadu-Budi, Surakarta, 1959). Hal. 48
Bahasa Jawa memiliki penggunaaan yang berbeda untuk masing-masing strata social. Berdasarkan strata social tersebut Bahasa Jawa dibagi menjadi tiga yaitu Bahasa Jawa Ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Bahasa Ngoko digunakan untuk strata social masyarakat umum atau oleh seorang bangsawan dan orang terhormat kepada bawahannya. Bahasa Kromo dipakai oleh orang yang memiliki derajad dan status sosial sama namun telah akrab. Sedangkan Bahasa Krama Inggil digunakan oleh seorang yang memiliki derajad dan status social rendah terhadap orang yang memiliki derajad dan status social lebih tinggi dengan tujuan untuk menghormati. 
Secara harfiah kata kalamwadi artinya perkataan yang menjadi rahasia.
Noname. Darmagandul. Ibid. Hal. 21. Tulisan tersebut dapat diartikan sebagai berikut : tentara Majapahit menembak (dengan senapan = ambedil), sedangkan tentara Giri berjatuhan mati akibat tidak kaut menghadapi melesatnya peluru.
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 54. Artinya : Beragam sastra pemberian Gusti Allah wajib dimakan agar kaya dengan pengetahuan dan ingatan, orang yang tidak mengenal sastra pemberian Allah pasti tidak akan mengerti ilham. Auliya Gong Cu dengan congkak meniru sastra pemberian Gusti Allah, namun pembuatannya tidak bisa, sastra bunyinya kurang, jadi pelat, para Auliya pembuatan sastra ditentukan jumlahnya, namun aksara China banyak sekali jumlahnya, namun bunyinya pelat, sebab Auliya China terburu-buru memakan buah pohon pengetahuan, padahal juga harus memakan buah pohon Budi, Auliya tadi lupa bahwa dirinya tercipta sebagai manusia, maka karenanya memaksa menggunakan kekuasaan Yang Maha Kuasa, mengharap yang bukan wajibnya, terburu-buru menerima panglulu (pujian yang menjerumuskan) menggunakan sastra yang tidak terhitung jumlahnya, dinamakan sastra daun, daun dari buah pohon Budi dan pohon Pengetahuan, dipetik dari sedikit, ditata dan dikumpulkan, lantas dikarang untuk sastra, maka aksara China ribuan jumlahnya, Auliya China dikutuk, sebab berkemauan membuat sastra hidup seperti buatan Gusti Allah. Auliya Jawa memakan buah pohon Budi sampai kenyang, maka mengarang aksara yang tidak terlalu banyak namun sudah bisa mencukupi dan bunyinya tidak pelat. Auliya Belanda memakan buah pohon pengetahuan sampai kenyang juga, sedangkan jumlah aksara yang dikarangnya ditetapkan jumlahnya juga. Auliya Arab memakan buah pohon Kuldi banyak sekali. Sedangkan aksara yang digunakan juga ditentukan jumlahnya. Akan tetapi sastra buatan Gusti Allah, tercipta dari Sabda, maujud dengan sendirinya, maka bunyinya jelas, sastranya tidak ada yang sama. 
Selengkapnya baca T. Hadisoebroto. Aksara Djawa : Tatanan Panulise Basa Djawa sarta Latin. (Pantjawarna, Solo, 1959). Hal. 29 
Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 35
Drs. Abu Ahmadi. Perbandingan Agama. Jilid I. Cetakan VII. (AB Sitti Syamsiyah, Surakarta, 1974). Hal. 48
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 50. Artinya : Darmogandul berkata, meminta keterangan tentang Kisah Nabi Adam dan Ibu Hawa yang dikutuk oleh Tuhan, karena telah makan buah dari Kayu (pohon) Pengetahuan yang ditanam ditengah taman Firdaus. Ada kitab lain yang menerangkan bahwa yang dimakan oleh Nabi Adam dan Ibu Hawa adalah buah Kuldi, yang ditanam di surge. Maka mohon diterangkan, kalau dikitab Jawa bagaimana ceritanya, yang menyebutkan mengapa hanya Kitab Arab dan Kitab agama Nasrani.
Kejadian 2:16. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)
Kejadian 2:17. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 50. Artinya : Kalau Kitab Jawa Tidak menyebutkan demikian. Yang dimaksud adalah kitab Jawa tidak menyebutkan tentang Kisah Nabi Adam dan Hawa memakan buah pohon pengetahuan sebagaimana ajaran Kristen atau makan buah pohon Kuldi sebagaimana diklaim dalam Darmagandul sebagai ajaran Islam.
Syaikh Ahmad Musthafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Juz I. (Terj. Drs. M. Thalib). (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 88
Penulis Darmogandul seolah-olah mendedikasikan kitabnya untuk membela agama Budha dan ajarannya. Namun dalam banyak kesempatan agaknya sang penulis Darmogandul kurang memahami ajaran Budha itu sendiri. Hal tersebut terlihat dari pemaknaan Pohon Bodhi, konsep kedewaan, dan beberapa konsep kehidupan lainnya yang justru berlawanan dengan doktrin pokok dalam ajaran Budha.
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 48. Artinya : Yang dinamakan agama Nasrani artinya sarana berbakti : benar-benar berbakti kepada Tuhan, tanpa menyembah berhala, hanya menyembah Allah, Maka gelar Gusti Kanjeng Nabi Isa adalah Putra Allah, karena Allah yang mewujudkannya, demikian yang termaktub dalam kitab Ambiya. 
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 27. Artinya : cerita dari Mesir, Beliau Nabi Dawud, putranya bernafsu menggantikan kekuasaan sang ayah. Nabi Dawud sampai terdesak meloloskan diri keluar dari Negara, Anaknya tersebut kemudian menggantikan sebagai raja, tidak seberapa lama Nabi dawud kembali berhasil merebut negaranya. Anaknya melarikan diri dengan mengendarai kuda menuju ke hutan. Kuda tersebut berlari tanpa tentu arah tersangkut-sangkut kayu. Putra Nabi dawud kepalanya menyangkut di kayu sampai terpotong menggantung dikayu. Itulah yang dinamakan hukum Allah.
Lihat 2 Samuel 15 : 6. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)
Lihat 2 Samuel 15: 12. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)
Lihat 2 Samuel 15 : 14-16. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)
Lihat 2 Samuel 18 : 7-8. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)
Lihat 2 Samuel 18 : 9-10. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 52
Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265
Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9
Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672
A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 48
Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370
Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325
Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57
H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364
Syekh Siti Jenar merupakan tokoh kontrovesial yang eksistensinya sebagai sosok historis masih dipertanyakan. Namun demikian sejumlah pendapat menyatakan bahwa dia bertanggung jawab atas penyebaran ajaran syi’ah dan sekaligus paham wihdatul wujud di Pulau Jawa. Menurut salah satu sumber dia memiliki nama asli Syeh Jabaranta dan pernah tinggal lama di Persia. Lihat MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Wali Songo. (Amanah, Surabaya,tth). Hal. 139
Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.
Buku Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 46-47
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15-16
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 16
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 29
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 46
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 49
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 14, 37, 40, 31
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15
Selengkapnya dapat dibaca Prof. Dr. H. Abubakar Aceh. Sejarah Ka’bah dan Manasik Haji. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1984). Hal. 49-50 
Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 49. Artinya : telah sirna rasa cintaku keada anak. Sudah diberi kenikmatan makan tidur. Ada gajah digertak seperti kucing, walaupun mati dalam tata lahir, namun ingat-ingatlah suatu hari nanti, jika telah ada agama pengetahuan, maka akan akau balas, akan kuajarkan benar dan salah, peraturan tentang tatanegara, makan daging babi seperti jaman Majapahit.
Lihat Kejadian 2:17 sebagai berikut : Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
Lihat Kolonel Inf. R. Soegondo. Ilmu Bumi Militer Indonesia. Jilid II. (Pembimbing, Jakarta, 1954). Hal. 227
Catatan :

Janganlah kita terjebak pada sifat dan kebiasaan menyimpulkan sesuatu, tanpa medalami apa yang tersurat dan bagian luarnya saja, karena biasanya akan cenderung mudah menyalahkan orang lain ,, bisa dikatakan merasa benar sendiri.. sedangkan kebenaran di dunia ini bersifat nisbi, kebenaran yang sejati berada di tangan yang maha benar.


Jumat, 06 Maret 2009

AKU Sopo INGSUN??

AKU Sopo INGSUN??



AKU yang sesungguhnya adalah perbendaharaan kata yang tersembunyi. 

Jika engkau ingin menemui - KU

Selamilah ke dalam samudera batinmu paling dalam.

Yang Gelap dan Terangnya takkan terjangkau oleh pandangan mata Jasmanimu. 

Karena AKU tidak berada di dalam gelap dan terangnya pandangan matamu yang PALSU dan MENYESATKAN jalanmu. 

AKU adalah Spirit yang “ TULIS TANPO PAPAN KASUNYATAN “

AKU adalah Substansi yang “ GUMANTUNG TANPO CENTHELAN “

AKU adalah Esensi yang “ LUNGGUH DUMUNUNG neng BATIN sing SUCI “

Ketika AKU terkurung oleh badan jasmani.

AKU lah yang DZAHIR.

Mengejahwantah dalam ASMA, SIFAT dan AF’AL yang “ SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE “


Tetapi…., Ketika AKU mengurung dan menyelimuti badan Jasmani.

AKU lah yang BATIN.

Mengejahwantah dalam DZAT yang ” TAN KENO KINOYO NGOPO “


Siapa SEMAR..??

Siapa SEMAR..??



Batara Semar

MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. 

Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.


Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
tidak pernah lapar
tidak pernah mengantuk
tidak pernah jatuh cinta 
tidak pernah bersedih
tidak pernah merasa capek
tidak pernah menderita sakit
tidak pernah kepanasan
tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia. 

Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga. 

Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta. 

Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna. 

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya. 

Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar. 

Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.

Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada.
Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.


Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar. 

SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.


SERAT DEWO RUCI



Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
“angkatan tua”, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk “ilmu kasampurnan” .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan “bahasa” orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.

Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.

Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia.”Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.

“Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur,” kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:

O Gilgamesh, whither do you fare?
The life you seek, you will not find
When the gods created man,
They apportioned death to mankind;
And retained life to themselves
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Make of each day a festival of joy,
Dance and play, day and night!
Let your raiment be kept clean,
Your head washed, body bathed,
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Let your wife delighted your heart,
For in this is the portion of man

Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada “the portion of man”.Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .

Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.

Filosofi Dewa Ruci

Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.

Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.

Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.

Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.

Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:”Serat Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.

Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.

Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian …….Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.

Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut….! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.

Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.

Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula :”Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan”.
“Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.

Kemudian dikatakan :”Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah”.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.

Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.

Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.

Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.

Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :”Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.

Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.

Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.

Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.MAKNA AJARAN DEWA RUCI

- Pencarian air suci Prawitasari

Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.

- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka

Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.

- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala

Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.

Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).

Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)

Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

- Samudra dan Ular

Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.

Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.

3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.

4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.

5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.

6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.

7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.

8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.

9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.

10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.

11. Samadi.

12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah. Pertemuan dengan Dewa Suksma RuciSesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :

- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.

- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.

Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.

Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima

Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.

Tusuk konde besar dari kayu asem

Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.

Tanda emas diantara mata.

Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.

Kuku Pancanaka

Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.

Melambangkan :

1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.

2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.

Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.