Selasa, 30 Desember 2008

SASTERA LISAN BADUY

SASTERA LISAN BADUY 
 
Urang "BADUY" Kanekes, yang bermukim di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan, sebagai masyarakat tradisi murni, yang masih kuat menampakan cirri-ciri budaya Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budha. Diantaranya, penghormatan kepada Roh Karuhun (leluhur) serta tercemin pula dalam sementara bentuk sastra lisannya yang mengandung nilai falsafah Sunda buhun, seperti pada mantera. Sampai kini pada era globalissasi komunikasi, pada penghujung Abad XX, masih kuat dan mantap berdiri dengan jatidirinya. Jatidiri, kepribadian, Sunda antara lain: menghormati karuhun, menjaga dan melestarikan lingkungan serta hidup dalam bergotong royong, serta bermusyawarah untuk mufakat. 
 
Urang Baduy, baik secara etnis, geografis, sejarah, bahasa, juga dalam pengakuan mereka sendiri Urang Baduy adalah Urang Sunda. Untuk membedakan dengan Orang Sunda lainnya yang bertempat tinggal dan berasal di luar daerah Kanekes, mereka menamakan dirinya Sunda Wiwitan. 
 
Adapun istilah Sunda Wiwitan bagi orang Baduy Kanekes, pengertiannya tidak hanya terbatas pada etnik atau sub etnik, tapi juga meliputi geografis, sejarah, bahasa, budaya termasuk adat dan kepercayaan. 
 
Ada satu penuturan orang Baduy yang berbunyi: "Geunna kami ieu tah, ti nu Karolot geh, Urang Sunda bae, Sunda Wiwitan. Apanan kami ieu tah, cicing di tanah Sunda, nu Karolot urang Sunda, omong Sunda, agama Sunda". Arti bebasnya kira-kira: "Kami ini, sejak Leluhur Orang Sunda, Sunda Wiwitan. Sebab kami diam di tanah Sunda , Leluhur orang Sunda, bahasa kami Sunda, agama Sunda". Demikian dikatakan Aki Puun Janol (102 tahun) pada bulan November tahun 1978 di saung Humanya yang berada di Kawasan Baduy Jero Cibeo kepada penulis. 
 
Yang dimaksud Puun, ialah pimpinan tertinggi adat serta pemerintahan adat dan agama. Puun juga merupakan pimpinan tertingggi lembaga ilmu pengetahuan, seperti lembaga untuk meneliti peredaran bintang dalam menentukan penanggalan (kalender) Baduy, hal ini juga bisa dipakai untuk menentukan masa mulai menggarap ladang serta menuai padi. Meneliti garis sastera Bambu untuk menentukan hari kelahiran, perkawinan dan lainnya. 
Disamping sastera Bambu, orang Baduy di Kanekes, sejak para karuhun memiliki memiliki Sastera Lisan. 
 
Adapun bahasa yang dipergunakan sebagai media utama dalam sastera Lisan Baduy, adalah Bahasa Sunda dialek Baduy yang telah meninggalkan Kanekes beserta segala pranata masyarakatnya. Dalam hal ini seperti adat kepercayaan, kebiasaan, yang bertumpu pada akar keklasikan serta banyaknya kata-kata dan untaian kalimat Sunda Kuno. 
 
Dikalangan masyarakat Baduy Kanekes, unsur Sunda Kuno itu lebih banyak dibanding yang terdapat dikalangan masyarakat Sunda luar Kanekes. Hal itu dikarenakan sangat gugon tuhonnya mereka memelihara peninggalan karuhun termasuk didalamnya bahasa. Hal itu ditopang pula oleh sangat jarangnya persentuhan mereka dengan budaya luar. Terutama di Tangtu Telu, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. 
 
Karenanya, merekapun sangat tidak mengenal undak usuk basa. Bagi orang Tangtu undak usuk basa sangat asing. Contoh, untuk orang pertama dengan siapapun mereka berbicara mempergunakan sebutan aing, untuk orang kedua dipergunakan sebuatan sia. Orang Baduy Kanekes, sangat demokratis dalam berbahasa. 
 
Berikut beberapa contoh sastera lisan yang dikenal di kalangan Masyarakat Baduy: 
 
 
 
Mantera 
 
Bentuk-bentuk mantera sastera lisan yang terdapat di Baduy Kanekes, diantaranya Mantera, Pantun, Pikukuh, Pitutur, Susuwalan, Riwayat, Cerita Rakyat dan Legenda. Adapun bentuk yang tertua dilihat dari segi bahasa, kandungan isi dan falsafah, serta nafas, ialah Mantera. Aki Puun Djainte dari Baduy Jero Cikeusik, menuturkan bahwa mantera, jauh lebih tua dari pantun serta Sastera Bambu. 
 
Mantera terdiri dari beberapa tingkat. Tua, pertengahan dan muda. Mantera ini juga ditentukan peruntukannya, seperti halnya untuk apa mantera diucapkan, tahun berapa keberadaan dari mantera tersebut, serta bahasa yang dipergunakannya. Namun betapapun mudanya usia sesuatu Mantera, fungsinya dalam kehidupan ritual masyarakat Baduy, menempati urutan yang teratas. 
 
Hal ini sejajar dengan kedudukan serta wibawa pikukuh. "Bisina kagetrak kagetruj, mangkana kudu nyanybla ku omong" (untuk menjaga ada yang tergores, kita harus pamit terlebih dahulu). Ujar Jaro Inas tahun 1980, Dukun Pantun dari Baduy Jero Cikeusik, tentang mantera. 
 
Berikut salah satu contoh mantera maysrakat Baduy : 
 
Sapun 
Awaking reuk make pasang panjang pasadun 
Pok sablapun 
Meunag Ahung tujuh kali 
Ahung deui 
Ahung deui 
Ahung malungga 
Ahung malingga 
Ahung mangdegdeg 
Ahung mangandeg 
Ahung manglindu asih 
Ka Ambu aing Sira mangambung 
Ka Bapa aing Sira mangumbang 
Pangjungjungkeun 
Panglawungkeun 
Ku Ambu aing sira manglaung 
Ku Bapa aing sira mangumpang 
Pangnyambungkeun aing saur 
Pangngapakeun aing saba 
Ka luhur ka mega beureum 
Ka mega hideung 
Ka mega si karambangan 
Ka mega si kareumbingan 
Ka mega si karenten 
Ka mega si kalambatan 
Ka mega si kaleumbitan 
Ka mega ssi antrawela 
Ka kocapna 
Ka ucapna 
Ka Puncakning ibun 
Ka guru putra hiyang bayu 
Ka nu weang nyukcruk ibun 
Ahung....... 
 
(dari pantun: Langgasari Ngora) 
 

Tingkatan mantera yang dikutip dari mantera yang dipakai dalam Pasundan Pantun Baduy tersebut, termasuk Mantera tingkat pertengahan. 
 
Berikut adalah kutipan dari Mantera yang lebih muda, diambil beberapa bait dari Mantera pada upacara Ngareremokeun (mengawinkan) Nyai Pohaci dengan Bumi. Suatu upacara yang dinamakan pula Ngaseuk. 
 
Dalam tradisi Adat sunda Wiwitan, masa Ngaseuk adalah masa Ngareremokeun padi yang diberi nama sangat indah, agung dan puitis; Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang Tresnawati, dengan Tanah atau Bumi yang bergelar sangat perkasa: 
 
Weweg sampeg, Mandala pageuh 
Mangka tetep mangka langgeng 
Mangka langgeng tunggal tineung 
Datang hiji datang dua 
Datang tilu nungku nungku 
Datang opat ngawun ngawun 
Datang lima lingga emas 
Datang genep nguren nguren 
Datang tujuh lilimbungan 
Puluhan tanpa wilangan 
 

Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH: 
 
Semoga menetap semoga bahagia 
Semoga sentausa menyatu kasih 
Datang satu datang dua 
Datang tiga berangkulan 
Datang empat berpasanagan 
Datang lima lingga cerlang 
Datang enam berpasangan 
Datang tujuh menyatu kasih 
Berpuluh tidak terhitung 
 

Sedang dalam Mantera mengundang kehadiran Nyai Pohaci Dangdayang Tresnawati pada acara Tari Baksa untuk memeriahkan Ngeslamkeun anak anak Baduy Kanekes, antara lain berbunyi: 
 
Calik calik nu geulis 
Nyai Sri calik di dieu 
Unggah ka pasaran lega 
Geusan sia gagayahan 
Geusan sia gagayahan 
Di gedong manik mandala pageuh 
Lemut teuing ku buruanana 
Lesang teuing ku bojana 
Nu geulis ranggeuy mirikiniknik 
Bar ngampar ku samak metruk 
Gasan bujang kasangna bagus 
Gasan Nyai tes netepan 
Ngajepret palisir bodas 
 

Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH: 
 
Silakan singgah nan cantik jelita 
Nyai Sri dudukdisini 
Naik ke halaman luas 
Kalulah jelita pembawa kesuburan 
Kaulah jelita pembawa kemakmuran 
Duduklah di singgasana manik mandala perkasa 
Indahnya halaman yang terhampar 
Molek istana yang tersedia 
Betapa pemurahnya wahai dikau jelita 
Nan cantik molek pembawa kemakmuran 
Duduklah beralas tikar kedamaian 
Di tempat istirahat indah alamnya 
Tempat Nyai menyantaikan diri 
Berbaring tenang dengan tentram. 
 

Adapun Mantera dalam jenis tinggi berusia tua, hanya di sablakan pada upacara sakral seperti pada jarah ke Sasaka Domas atau Sasaka Mandala, satu tahun sekali. Pengsablaannya (pembacaan mantera) Hanya dilakukan oleh Girang Puun dari Tangtu Padaageung (Baduy Jero Cikeusik). Sedangkan pengsablaan mantera tua pada upacara sakral Ngalaksa dan Ngawalu tersebut, hanya dapat dilaksanakan Baris Kolot (tertua) tertentu dari Baduy Jero (Tangtu) atau Baduy Luar (Panamping). 
 
Karenanya, wajarlah jika Sastera Lisan Baduy berbentuk Mantera tersebut, hanya dikuasai oleh beberapa Baris Kolot saja. Sehingga dikawatirkan keadaan atau kelestariannya akan cenderung menghadapi kepunahan. Paling tidak ada generasi penerusnya. 
 
Bahasa yang dipergunakan Mantera yang biasa dipakai para Girang Puun, waktu Jarah atau Muja ke Sasaka Pusaka Mandala atau Sasaka Domas, ialah bahasa Sunda Kuno. 
 
Pikukuh, adalh Hukum Adat Baduy Kanekes, yang menyumber pada keyakinan Sunda Wiwitan. Diturunkan dengan lisan turun temurun sejak kurun tahun tidak terhitung. Terjalin dalam untaian kata dan kalimat, berbentuk puisi serta prosa lirik. Seperti: Lonjor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak dapat dipotong, pendek tak dapat disambung). 
 
Pun Sapun ka Luluhuran sakabeh Aing Menta panjang nya pangampurna! 
 
 
 
Penulis adalah: Girang Puhu Bale Budaya Baduy Yayasan "Paku Tangtu Telu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar