TENTANG SENGKOLO/SENGKALA (sengkalan)
Sengkala berarti deretan kata berupa kalimat atau bukan kalimat yang mengandung angka tahun, dan disusun dengan menyebut lebih dahulu angka satuan, puluhan, ratusan, kemudian ribuan. Kata-kata yang terdapat dalam sengkalan bukan sembarang kata yang disusun, melainkan dipilih sesuai dengan angka tahun. Deretan kata sengkalan selain sebagai simbol angka tahun juga merupakan simbol konsep-konsep magis tradisional dalam kepercayaan masyarakat. Simbol-simbol ini dapat dipahami maknanya jika dianalisis secara semiotik. Simbol nilai kata yang terdapat dalam sengkalan ada yang langsung menunjukkan angka, tetapi ada juga yang secara tidak langsung menunjukkan angka karena nilai angka tersembunyi dan harus ditelusuri asal mulanya. Biasanya nilai angka yang tersembunyi merupakan kosa kata serapan dari bahasa Sansekerta.
Kata sengkalan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Sakakala yang berarti tahun Saka. Saka adalah nama bangsa dari India yang pernah datang ke pulau Jawa dan mengajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, diantaranya huruf Jawa dan sengkalan. Konon tahun Saka dimulai ketika Raja Saliwahana atau Ajisaka naik tahta pada tahun 78 Masehi. Sengkalan dalma bahasa asing disebut chronogram (kronogram) yang berasal dari bahasa Yunani chronos yang berarti waktu dan gramma yang berarti huruf atau aksara. Sengkalan berdasarkan bentuknya ada tiga macam, yaitu sengkalan lamba, sengkalan memet, dan sengkalan sastra. Namun jika berdasarkan jenisnya, sengkalan ada dua macam, yaitu suryasengkala dan candra sengkala.
Bentuk bentuk dari Sengkala
Sengkalan Lamba.
Sengkalan yang menggunakan rangkaian kata.
Sengkalan Memet.
Sengkalan yang menggunakan lukisan.
Sengkalan Sastra.
Sengkalan yang menggunakan huruf Jawa dan sandangannya biasa digunakan pada ukir-ukiran, hiasan keris, dan lain sebagainya.
Jenis dari Sengkala
Suryasengkala.
Sengkalan yang menunjukkan angka tahun berdasarkan perputaran matahari. Sengkalan Suryasengkala digunakan pada masa pra-Islam dengan menggunakan tahun Saka. Namun saat ini Suryasengkala jarang digunakan, karena sengkalan yang dibuat tergantung pada kebutuhan, misalnya sengkalan dengan menggunakan tahun Masehi.
Candrasengkala.
Sengkalan yang menunjukkan angka tahun berdasarkan peraturan bulan. Sengkalan Candrasengkala digunakan setelah masa Islam dengan memakai tahun Jawa. Tahun Jawa ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma sejak 1 Suro 1555 Jawa, bertepatan 1 Muharam 1043 Hijriah, atau 1 Srawana 1555 Saka, atau 8 Juli 1633 Masehi. Tahun Jawa merupakan perpaduan antara Tahun Hijriah dengan tahun Saka. Pada zaman sekarang sengkalan dapat menggunakan tahun Jawa, Saka, Hijriah atau Masehi tergantung pada sengkalan yang diperlukannya.
(Serat) Candrasengkala Gancaran.
Buku sastra disusun oleh Panitia Kapujanggan Keraton Yogyakarta. Buku ini hanya membahas mengenai masalah nilai kata dengan menyertakan cara membuat sengkalan.
Ketentuan tentang Sengkala
Gurudasanama.
Ketentuan dalam penggunaan kata-kata pada sengkalan dengan cara menggunakan sinonim atau dasar padanan kata. Hal ini dimaksudkan karena kata-kata dalam yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok (mengalami perubahan).
Gurusastra.
Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai homograf atau dasar penulisan yang sama. Ketentuan ini ada, katena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.
Guruwanda.
Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sesuku kata. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.
Guruwarga.
Cara menentukan perubahan atau pernurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sekaum. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.
Gurukarya.
Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan dengan memakai dasar sekerja. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalma sengkalan yang bernilai sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.
Gurusarana.
Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sealat. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.
Gurudarwa.
Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sekeadaan atau dalam satu keadaan yang sama. Ketentuan ini dibuat untuk meberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata, sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.
Gurujarwa.
Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar searti atau arti yang sama. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata, sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.
Pengetahuan tentang Sengkala dalam angka
Sengkalan Angka Nol.
Angka nol dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti hilang atau segala sesuatu yang tidak ada. Pada sengkalan hanya ada satu kata yang bernilai nol atau kosong, yaitu kata umbul (melesat ke atas) karena segala sesuatu yang telah hilang bernilai nol. Misalnya sengkalan tentang pelaksanaan sekaten tahun 1990, “umbuling puspa gapuranin praja”.
Sengkalan Angka Satu.
Angka satu di dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang bermakna satu, kata-kata yang bermakna jumlahnya hanya satu, benda yang bentuknya bulat, kata-kata yang berarti manusia, kata-kata yang berarti hidup dan nyata. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai satu adalah jalma, jalmi, janma, kenya, putra, aji, ratu, raja, nata, narpati, narendra, pangeran, gusti, Allah, hyang, maha, bathara, bumi, jagat, budi, buda, budaya, ron, lata, wani, semedi, luwih, nabi, lajer, wiji, witana, praja, bangsa, swarga, puji, piji, harja dan peksi. Kata peksi bernilai satu, namun sebenarnya bernilai dua, karena peksi berasal dari kata peksi (sansekerta) yang berarti burung atau binatang yang bersayap.
Sengkalan Angka Dua.
Angka dua di dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah dua, atau berpasangan dan bentuk-bentuk turunannya, serta kata-kata yang bermanka gandheng. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai dua, biasanya digunakan kata asta, dwi, kembar, ngelmi, aksa, samya, sembah dan supit.
Sengkalan Angka Tiga.
Angka tiga dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah tiga, dan bentuk-bentuk turunannya. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai tiga, biasanya digunakan kata guna, katon, saut, sunar, trima, trisula, ujwala, dan wredu.
Sengkalan Angka Empat.
Angkat empat dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti air dan kata-kata yang berarti kerja, serta segala sesuatu yang berjumlah empat. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai empat ialah kata papat, catur, keblat (arah mata angin), warna (kasta dalam agama Hindu), toya (air), suci dan pakarti.
Sengkalan Angka Lima.
Angka lima dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah lima, golongan raksasa, segala macam senjata, kata-kata yang berarti angin, tajam, ilham atau bisikan, perangkap, serta kata-kata yang mempergunakan kata panca. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai lima ialah driya (indra), wisaya (cerapan indra), cakra, warayang, tinulup, ati, linungit, yaksa, mangkara, marganing, pasarean, tinata, gati dan pirantining.
Sengkalan Angka Enam.
Angka enam dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti rasa, hewan berkaki enam, dan segala sesuatu yang bergerak. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai enam ialah kat gana, hangga-hangga, (laba-laba), rasa, sinesep, nikmat, kayu, winayang (digerakkan), rebah (runtuh) dan wisik (pesan).
Sengkalan Angka Tujuh.
Angka tujuh dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai arti golongan pertapa atau pendeta, gunung, suara, serta binatang yang biasa dipergunakan untuk kendaraan. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai tujuh ialah kata pandhita, resi, swara, sabda, muji (pujian, restu, ajar) dan giri (gunung).
Sengkalan Angka Delapan.
Angka delapan dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti gajah, binatang melata, dan brahmana. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai delapan adalah kata ngesti (memikirkan), madya (tengah), basuki, naga, brahmana, manggala, murti, salira, sarining, dan kata-kata turunan dari kata-kata tersebut.
Sengkalan Angka Sembilan.
Angka sembilan dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai arti dewa, bunga dan benda-benda yang berlubang atau terbuka. Kata-kata pada sengkalan yang biasanya digunakan untuk menyatakan angka sembilan ialah : kata, trus, trustaning, wiwara, anggatra, gapura, ambuka, makaring, umanjing, sekaring, puspa, kusuma, kembang, dan ngarumake (mengharumkan).
Contoh contoh dalam membaca/membuat Sengkala
Dwi Naga Rasa Tunggal.
Sengkalan yang menunjukkan tahun 1682 tahun Jawa atau 1756 Masehi, yaitu tahun mulai dipergunakannya Keraton Yogyakarta yang baru. Dwi berarti dua, naga melambangkan angka delapan, rasa melambangkan angka enam, dan tunggal berarti satu. Karena sengkalan angka tahunnya diartikan dari belakang maka sengkalan ini berarti 1682 tahun Jawa.
Dwi Naga Rasa Tunggal atau Dua Naga Satu Rasa, menggambarkan dua ekor naga yang sedang bersenggama. Rasa tunggal menunjukkan rasa kebersamaan yang dinikmati oleh kedua Naga tersebut. Dwi Naga menurut lisan yang berkembang di Keraton Yogyakarta adalah dua ekor naga yang diberi nama Kiai Jaga dan Kiai Jigut yang bertugas menjaga keselamatan keraton Yogyakarta beserta seluruh rakyatnya di bumi Mataram. Namun menurut sumber sejarah, sengkalan ini dibuat berkaitan dengan peristiwa berdirinya Keraton Yogyakarta dan peristiwa palihan Nagari, yaitu pecahnya Kerajaan Mataram menjadi Kasultnan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada tahun 1682 Jawa atau 1756 Masehi. Sehingga sengkalan itu secara asosiatif bermakna “Dua kekuatan yang secara fisik terpisah namun secara batiniah tetap satu demi terjaminnya kelangsungan hidup dan keselamatan bernegara”.
Dwi Naga Rasawani.
Sengkalan yang menunjukkan tahun ditempatinya Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1682 tahun Jawa atau tahun 1756 Masehi.
Sengkalan Dwi Naga Rasa Wani berarti “Dua Naga mempunyai perasaan berani”. Sesuai dengan sumber sejarah palihan negara yang ada, maka sengkalan ini bermakna asosiatif “Dua kekuatan yang berani dalam menegakkan kebenaran”, dan bila disesuaikan dengan peristiwa berdirinya Keraton Yogyakarta akan bermakna “Raja dan rakyat harus mmiliki keberanian demi tegaknya keraton Kasultanan Yogyakarta”.
Warna Sanga rasa Tunggal.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Bangsal Prabayaksa oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I dan ditangani oleh Kiai Riya Sindureja pada tahun 1694 Jawa atau 1768 Masehi. Penyimpanan pusaka Keraton Yogyakarta. Warna berati macam atau hal, sanga berati sembilan, rasa berati perasaan , dan tunggal berarti satu. Jadi sengkalan ini berarti sembilan macam (hal) yang berperasaan satu.
Warna sanga menunjuk pada sembilan macam benda ampilan Sultan yang tersimpan di Bangsal Prabayaksa berupa banyak (angsa) simbol kesucian dan kewaspadaan, dalang (kijang) simbol kegesitan dan kebijaksanaan, sawung (ayam jantan) simbol keberanian, galing (merak) simbol kewibawaan, ardawalika naga simbol pembawa dunia, kacu mas (sapu tangan emas) simbol daya tarik, kandhil (lentera) simbol penerangan hati rakyat, dan saput (tempat segala macam alat) simbol kesiapsiagaan. Jadi makna asosiatif sengkalan tersebut adalah sembilan sikap raja yang merupakan satu kesatuan agar dapat mengemban tugasnya dengan baik.
Trus Manunggal Pandhitaning Rat.
Sengkalan yang menunjukkan tahun didirikannya Bangsal Kencana oleh Sri Sultan Hamengku Buwana II pada tahun 1719 Jawa atau 1792 Masehi. Bangsal Kencana adalah sebuah bangunan yang dipergunakan untuk upacara-upacara kebesaran kerajaan, dan tempat raja bertahta di singgasana. Kata trus (terus atau langsung) melambangkan angka sembilan, manunggal (tunggal) melambangkan angka satu, pandhitaning (pandhita= pendeta) melambangkan angka tujuh dan rat (dunia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan angka tahun 1719 Jawa. Dan dapat diartikan “selalu satu pendeta dunia”.
Sekar Sinahut Ing Naga Raja.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Gedong Jene, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1839 jawa atau 1909 M. Kata sekar (bunga) melambangkan angka sembilan, sinahut (disambar) melambangkan angka tiga, ing (di) sebagai kata bantu, naga (naga) melambangkan angka delapan, dan raja (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkelan ini merupakan melambangkan angka tahun 1839 Jawa, dan dapat diartikan “Bunga disambar oleh naga raja”. Bunga melambangkan kemakmuran dan raja naga melambangkan seorang raja yang besar. Sehingga sesuai dengan fungsi Gedong Jene sebagai tempat tinggal raja, maka sengkalan ini bermakna semboyan bagi raja, yaitu : Kemakmuran yang dibawa oleh raja.
Kaluwihaning Warayang Ngesthi Aji.
Sengkalan yang menandai tahun 1851 Jawa atau 1921 Masehi, yaitu tahun penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII. Kaluwihaning (kelebihan) berarti angka satu, warayang (panah) melambangkan angka lima, Ngesthi (mendambakan atau memikirkan) melambangkan angka delapan, dan Aji (martabat atau raja) melambangkan angka satu. Sengkalan ini berarti “keunggulan panah mendambakan martabat”. Sengkalan ini juga bermakna “Seorang raja harus mempunyai ketajaman pikiran agar dapat menyejahterakan rakyatnya”. Makna tersebut diambil dari kata warayang (panah) yang melambangkan ketajaman pikiran, dan kata aji yang berarti raja. Jadi sengkalan tersebut sesuai dengan peristiwa penobatan raja, karena seseorang tidak mungkin dinobatkan menjadi raja apabila tidak tajam pikirannya.
Kaluwihaning Yaksa Ngesti Aji.
Sengkalan yang menunjukkan tahun penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1851 Jaa atau tepatnya pada tanggal 29 Jumadillawal 1851 Jawa yang bertepatan tanggal 8 Februari 1921 Masehi. Kaluwihaning (kelebihan) melambangkan angka satu, yaksa (raksasa) melambangkan angka lima, ngesthi (mendambakan, memikirkan) melambangkan angka delapan, dan aji (martabat atau raja) melambangkan angka satu. Sengkalan ini bisa diartikan “Kelebihan raksasa membuahkan pujian”. Kaluwihaning yaksa atau kelebihan raksasa disini yang dimaksud adalah dalam hal kekuasaan fisiknya. Jadi makna asosiatif sengkalan ini adalah keunggulan dalam kekuatan fisik harus dimiliki oleh seorang raja agar dapat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.
Jagad Asta Wiwara Narpati.
Sengkalan yang menunjukkan tahun 1921 Masehi, yaitu tahun dinobatkannya Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, tepatnya pada tanggal 8 Februari 1921 Masehi atau 1851 Jawa. Sengkalan ini dapat diartikan “Dunia membawa pintu raja” yang mempunyai makna sama dengan Hamengku Buwana, yaitu memelihara dunia. Sengkalan yang menandai penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII ini ada tiga, jagad asta wiwara narpati, kaluwihaning yaksa ngesti aji dan kaluwihaning warayang ngesthi aji. Ketiga sengkalan ini bila digabung maknanya saling berkaitan atau saling mengisi, yaitu “Raja sebagai pemelihara dunia hendaknya memiliki kelebihan dalam bidang fisik dan mental”. Lihat kaluwihaning yaksa ngesti aji, dan lihat juga kaluwihaning warayang ngesti aji.
Werdu Yaksa Naga Raja.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Bangsal Manis pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1853 Jawa atau 1922 Masehi. werdu (lintah) melambangkan angka tiga, yaksa (raksasa) melambangkan angka lima, naga melambangkan angka delapan, dan raja melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut dapat diartikan lintah yang besar adalah raja naga, yang melambangkan tahun 1853 Jawa.
Bangsal Manis berfungsi sebagai tempat pesta, tetapi kini digunakan sebagai tempat membersihkan pusaka-pusaka Keraton pada bulan Suro. Jika sengkalan tersebut dihubungkan dennga fungsi bangsal ini, maka werdu yaksa melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Linta adalah binatang air, dan air adalah lambang kesbuburan, kemudian cara makan lintah dengan jalan menghisap melambangkan kemakmuran. Sedangkan fase naga raja (raja naga) melambangkan orang yang mengadakan pesta tesrebut, yaitu Raja. Jadi sengkalan tersebut bermakna “Pesta atau upacara resmi jamuan kenegaraan dapat diselenggarakan oleh Raja karena negaranya subur dan rakyatnya makmur”.
Tinata Piranti ing Madya Witana.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Bangsal Witama oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1855 Jawa, tepatnya tanggal 27 Rajab 1855 Jawa atau tanggal 23 Februari 1925 Masehi. Tinata (diatur) melambangkan angka lima, Piranti (alat) melambangkan angka lima, ing (di) sebagai kata bantu, Madya (tengah) melambangkan angka delapan, dan witana melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini dapat diartikan “Peralatan yang diatur di tengah Bangsal Witana”, yang melambangkan tahun 1855 Jawa.
Bangsal Witana adalah tempat pusaka-pusaka Keraton pada saat upacara garebeg, sehingga jika dihubungkan dengan sengkalan tersebut, maka kata piranti (peralatan) yang dimaksud adalah pusaka-pusaka keraton. Jadi makna sengkalan tersebut adalah “Pusaka-pusaka Keraton diatur di tengah Bangsal Witana untuk upacara garebeg”.
Linungit Kembar Gatraning Ron.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Bangsal Witana oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1925 Masehi, tepatnya tanggal 25 Februari 1925 Masehi. Linungit (diukir) melambangkan angka lima, kembar (sama) melambangkan angka dua, gatraning (bentuk) melambangkan angka sembilan, dan ron (daun) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini melambangkan tahun 1925 dan bisa dibaca “Bentuk daun yang diukir menjadi sama”.
Sengkalan ini sesuai dengan ragam hias pada Bangsal Witana, sehingga makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Bangsal Witana yang sangat indah dihiasi ukiran berbentuk daun-daunan yang simetris”.
Pandhita Cakra Naga Wani.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Siti Hinggil oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1857 Jawa atau tahun 1926 Masehi. Pandhita (pandeta) melambangkan angka tujuh, cakra (senjata cakra) melambangkan angka lima, naga melambangkan angka delapan, dan wani (berani) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini dapat diartikan “Pendeta dengan senjata cakra bagaikan seekor naga yang berani” untuk melambangkan tahun 1857 Jawa.
Siti Hinggil merupakan tempat duduk raja ketika hadir dalam upacara kebesaran, maka sengkalan ini mengandung pengharapan “Semoga raja yang bertahta mempunyai jiwa pendeta, tajam pikirannya, serta pemberani sehingga dapat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya”.
Gana Asta Kembang Lata.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Siti Hinggil utara oleh Sri Sultan Hamengku Buwana pada tahun 1926 Masehi. Gana (lebah) melambangkan angka enam, asta (tangan, membawa) melambangkan angka dua, kembang (bunga) melambangkan angka sembilan, dan lata (melata atau merambat) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini berarti “Lebah membawa bunga yang merambat”, yang melambangkan tahun 1926 Masehi. Lebah sebagai simbol raja, karena lebah adalah makhluk yang rajin bekerja dan menghasilkan madu yang sangat bermanfaat. Jadi sengkalan ini merupakan sebuah pengharapan, semoga raja dapat membawa kesuburan dan kemakmuran bagi negara dan rakyatnya. Fase kembang lata (bunga yang merambat) juga menunjukkan pada nama tratag Siti Hinggil sebelum dipugar, yaitu tratag rambat.
Panca Gana Salira Tunggal.
Sengkalan yang menandai pemugaran Pagelaran oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII pada tahun 1865 Jawa atau 1934 Masehi. Panca (lima) melambangkan angka lima, gana (lebah) melambangkan angka enam, salira (badan) melambangkan angka delapan, dan runggal (satu) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini dapat diartikan “Lima lebah satu badan”, yang melambangkan tahun 1865 Jawa.
Pada saat pembangunan kembali Pagelaran ini, Indonesia masih dibawah jajahan Belanda, sehingga makna sengkalan tersebut adalah “Persatuan rakyat Yogyakarta merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan kembali pagelaran”.
Catur Trisula Kembang Lata.
Sengkalan yang menandai pemugaran Pagelaran oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1934 Masehi. Catur (empat) melambangkan angka empat, trisula melambangkan angka tiga, kembang (bunga) melambangkan angka sembilan, dan lata (merambat atau melata) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini berarti “Empat buah trisula adalah bunga yang merambat”.
Kembang lata (bunga yang merambat) sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran, sedangkan catur trisula (empat trisula) dapat diasosiasikan sebagai empat arah mata angin sebagai arah sebaran dari berkah raja kepada rakyatnya. Jadi, makna sengkalan ini adalah “Kesuburan dan kemakmuran yang dibawa raja disebarkan kepada seluruh rakyat”.
Catur Naga Rasa Tunggal.
Sengkalan yang menandai awal pembangunan Tamansari oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1684 Jawa atau 1757 Masehi. Catur (empat) melambangkan angka empat, naga melambangkan angka delapan, rasa melambangkan angka enam dan tunggal melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini dapat diartikan “Empat naga satu perasaan”, yang melambangkan tahun 1684 Jawa.
Tamansari adalah tempat rekreasi keluarga raja dan berfungsi sebagai tempat pertahanan Keraton Yogyakarta. Sengkalan pada Tamansari ini maknanya adalah “Pembangunan Tamansari akan dapat terwujud apabila ada rasa persatuan dari semua lapisan masyarakat”. Sengkalan ini juga dapat bermakna seruan persatuan seluruh rakyat untuk mengusir penjajah dengan jalan membangun tempat pertahanan.
Lajering Kembang Sinesep Peksi.
Sengkalan yang menunjukkan tahun selesainya pembangunan Tamansari pada tahun 1691 Jawa atau 1764 Masehi. Lajering (inti) melambangkan angka satu, kembang (bunga) melambangkan angka sembilan, sinerep (dihisap) melambangkan angka enam, dan peksi (burung) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini melambangkan tahun 1691 Jawa. dan dapat diatrikan “Inti bunga dihisap oleh burung”.
Sesuai dengan fungsi Tamansari sebagai tempat rekreasi keluarga raja, kata kembang (bunga) dan peksi (burung) pada sengkalan tersebut melambangkan suasana keindahan. Taman sebagai tempat untuk rekreasi akan terasa asri apabila didalamnya ditanami bunga-bunga yang menyejukkan pandangan mata, dan terdapat burung-burung yang berkicau. Jadi sengkalan ini mengatakan bahwa “Tamansari adalah tempat rekreasi keluarga raja yang sangat indah dan nyaman”.
Gapura Trus Winayang Jalma.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1699 Jawa atau 1773 Masehi semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Gapura melambangkan angka sembilan, trus (terus) melambangkan angka sembilan, winayang (dibayangkan) melambangkan angka enam dan jalma (manusia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1699 Jawa, dan dapat diartikan “Gapura yang selalu dibayangkan manusia”. Gapura disini sebagai lambang Masjid, maka sengkalan tersebut bermakna “Masjid selalu dibayangkan manusia”, karena fungsi masjid sebagai tempat ibadah sehingga kalimat ini menjadi peringatan bagi manusia agar selalu ingat kepada Tuhan.
Yitna Windu Resi Tunggal.
Sengkalan yang menunjukkan pembangunan serambi Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1701 Jawa atau 1775 Masehi, yitna (ingat) melambangkan angka satu, windu (pintu atau tetesan air) melambangkan angka nol, resi melambangkan angka tujuh, dan tunggal melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini berarti tahun 1701 Jawa, dan bermakna “Ingatlah pintu seorang resi”. Kata windu menunjukkan ajaran kebenaran, resi menunjukkan orang yang ahli dalam bidang keagamaan, dan tunggal menunjukkan Tuhan yang satu. Sehingga makna asosiatif sengkalan tersebut dalah “perhatikanlah selalu ajaran kebenaran yang telah diajarkan oleh utusan Tuhan.”
Tunggal Windu pandhita Ratu.
Sengkalan yang menunjukkan pembangunan Serambi Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1701 Jawa (1775 Masehi). Tunggal melambangkan angka satu, windu melambangkan angka nol, pandhita (pendeta) melambangka angka tujuh, dan ratu melambangkan angka satu.Jadi sengkalan ini melambangka angka 1701, dan dapat diartikan “Satu pintu pendeta raja”. Sengkalan tersebut mempunyai makna sesuai dengan fungsi masjid sebagai tempat beribadah, yaitu manusia menyembah hanya kepada satu Tuhan. Frase tunggal windu (satu pintu ) menunjukkan hanya ada satu jalan yang harus dituju, sedangkan frase pandhita ratu (pendeta raja) menunjukkan Sri Sultan sebagai kalifatullah yang berkewajiban menuntun rakyatnya kearah kebenaran,
Pandhita Nenem Sabda Tunggal.
Sengkalan yang menandai pembangunan pintu gerbang Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V pada tahun 1767 Jawa (1839 Masehi). Pandhita (pendeta) melambangkan anagka tujuh, nenem berati enam, sabda melambangkan arti angka tujuh dan tunggal berati satu. Jadi sengkelan ini dapat diartikan “Enam pendeta satu sabda”.yang melambangka tahun 1767 Jawa. Sengkalan tersebut bermakna asosiatif sesuai dengan fungsi masjid sebagai ntemopat untuk mengajarkan ajaran Tuhan. Jadi maknanya adalah para ahlui agama mengajarkan ajaran agama Islam yang berasal dari Tuhan.
Sapta Rasa Pandhita.
Sengkalan untuk menandai tahun pembangunan pintu gerbang Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1767 Jawa (1839 Masehi)
Sapta berarti tujuh, rasa melambangkan angka enam, pandhita (pendeta) melambangkan angka tujuh, dan ratu melambangkan angka satu, jadi sengkelan ini melambangkan tahun 1767 Jawa, dan dapat diartikan “Tujuh rasa pendeta raja”. Makna asosiatif sengkalan ini menunjukkan tingkatan rasa atau keimanan seorang raja yang pada intinya harus selalu dekat dengan Tuhan.
Bathara Trus Sabdaning Ratu.
Sengkalan untuk menandai tahun penggantian atap sirap Msjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwanan VI pada tahun 1791 Jawa (1863) Masehi. Kata Bathara (batara) melambangkan angka satu , trus (terus atau langsung) melambangkan angka sembilan, sabdaning (sabda) melambangkan angka tujuh, dan ratu (raja)melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangka angka tahun 1791 Jawa, dan dapat diartikan “Batara langsung kepada sabda Raja”. Arti sengkalan tersebut sesuai dengan tugas raja sebagai kalifatullah yaitu pemimpin negara dan agama Allah di dunia. Bathara (batara) menunjuk pada hal yang bersifat ketuhanan, dan sabdaning ratu (sabda raja) menunjuk pada perkataan raja yang berupa petunjuk. Makna asosiatif sengkalan tersebut ialah “raja sebagai pemimpin agama mempunyai tugas menyampaikan firman Tuhan kepada rakyat lewat sabdanya”.
Rebahing Gapura Swara Tunggal.
Sengkalan yang menunjukkan tahun 1796 Jawa (1867 Masehi) dimana terjadi gempa bumi hebat di Yogyakarta yang mengakibatkan runtuhnya serambi Masjid Agung Yogyakarta. Kata rebahing (runtuhnya) melambangkan angka enam, gapura melambangkan angka sembilan, swara (suara) melambangkan angka tujuh, dan tunggal melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1796 Jawa, dan dapat diartikan “Runtuhnya gapura suara satu” Frase rebahing gapura menunjukkan peristiwa runtuhnya serambi Masjid Agung, dan frase suara tunggal (suara satu) merupakan simbol kehendak Tuhan. Makna asosiatif sengkalan ini adalah “Runtuhnya serambi Masjid Agung merupakan kehendak Tuhan”.
Warna Murti Paksa Nabi.
Sengkalan yang menunjukkan tahun 1284 H (1867) yang menandai runtuhnya serambi Masjid Agung Yogyakarta. Kata warna (keadaan) melambangkan angka delapan, paksa (bagian atau golongan) melambangkan angka delapan, dan nabi melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1284 H, dan dapat diartikan “Keadaan badan golongan nabi”. Makna asosiatif sengkalan tersebut menunjukkan keadaan umat pengikut nabi, yaitu orang-orang yang selalu berbuat sesuai dengan aturan dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi.
Pandhita Trus Giri Nata.
Sengkalan untuk menunjukkan tahun 1997 Jawa (1869 Masehi) yang menandai pemugaran serambi Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Kata pandhita (pendeta) melambangkan angka sembilan, giri (gunung) melambangkan angka tujuh, dan nata (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1797 Jawa, dan dapat diartikan “Pendeta langsung kepada raja gunung”. Maksud giri nata (raja gunung) di sini adalah sebutan Siwa untuk menunjukkan Tuhan. Sehingga makna asosiatif sengkalan tersebut ialah “raja sebagai pemimpin agama bertanggung jawab langsung kepada Tuhan”.
Gati Murti Nembah Ing Hyang.
Sengkalan yang menandai tahun pemugaran serambi Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VI pada tahun 1285 H (1868 M). Kata gati (sepenuh hati) melambangkan angka lima, murti (badan) melambangkan angka delapan, nembah (menyembah) melambangkan angka dua, ing (kepada) sebagai kata depan, dan Hyang (Tuhan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut melambangkan tahun 1285 H, dan dapat diartikan “Dengan sepenuh hati badan menyembah kepada Tuhan”. Makna asosiatif sengkalan tersebut mengandung peringatan, yaitu “Umat Islam hendaknya sungguh-sungguh dalam melakukan sembahyang”.
Murti Trus Giri Nata.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pemugaran pintu gerbang Masjid Agung Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VI, yaitu pada tahun 1798 Jawa (1869 M). Kata murti (badan) melambangkan angka delapan, trus (terus atau langsung) melambangkan angka sembilan, giri (gunung) melambangkan angka tujuh, dan nata (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1798 Jawa, dapat diartikan “Badan langsung kepada raja”. Sedangkan makna asosiatif sengkalan ini menunjukkan bahwa Masjid adalah tempat berkomunikasi antara manusia dengan Tuhannya, yang bersifat langsung.
Panembahing Ing Ngelmi Ngesthi Puji.
Sengkalan yang menandai pembuatan pintu Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1822 Jawa (1892 M). Kata panembahing (penghormatan) melambangkan angak dua, ing (kepada) sebagai kata depan, ngelmi (ilmu) melambangkan angka dua, ngesthi (memikirkan atau mendambakan) melambangkan angka delapan, dan puji (penghargaan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1822 Jawa. dan mempunyai arti “Penghormatan kepada ilmu mendambakan penghargaan”. Maksud kalimat ini adalah manusia hendaknya mencari ilmu supaya hidupnya menjadi berharga.
Kayu Winayang Ing Brahmana Buda.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Museum Sana Budaya oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1866 Jawa (1935 M). Kata kayu melambangkan angka enam, winayang (dibayangkan atau digerakkan) melambangkan angka enam, ing (oleh) sebagai kata depan, Brahmana melambangkan angka delapan, dan Buda melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1866 Jawa, dan mempunyai arti “Kayu yang digerakkan oleh Brahmana Buda”.
Makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Kehidupan duniawi sebagai kehendak Tuhan”. Makna kayu atau pohon dipadamkan dengan kata kayon (gunungan) yang menggambarkan kehidupan makhluk dan dunia yang digerakkan oleh Tuhan sebagai dalangnya. Makna tersebut sangat sesuai dengan fungsi museum sebagai tempat untuk mempelajari hasil kebudayaan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Wiwara Harja Manggala Praja.
Sengkalan yang menunjukkan tahun pemugaran Tugu Pal Putih pada tahun 1819 Jawa (1989 M), yang rusak karena gempa bumi. Kata wiwara (pintu) melambangkan angka sembilan, harja (indah atau selamat) melambangkan angka satu, manggala (pemuka, pemimpin) melambangkan angka delapan, dan praja (kerajaan, rakyat) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut melambangkan tahun 1819 Jawa, dan mempunyai arti “Pintu selamat pemuka rakyat”. Maksud kelimat ini sesuai dengan fungsi Tugu Pal Putih sebagai tanda untuk memasuki kompleks Keraton Yogyakarta yang merupakan “Pintu yang membawa keselamatan bagi pemuka rakyat (raja)”.
Asta Manembah Trusing Gusti.
Sengkalan untuk menandai peringatan sekaten pada tahun 1922 Jawa (1989 M). Kata asta (tangan) melambangkan angka dua, manembah (menyembah) melambangkan angka dua, trus (terus, langsung) melambangkan angka sembilan, ing (kepada) sebagai kata depan, dan Gusti (Tuhan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1922 Jawa, dan mempunyai arti “Tangan menyembah langsung kepada Tuhan”. Maksud kalimat tersebut sebagai peringatan kepada manusia bahwa yang disembah hanyalah Tuhan dan tidak bisa melalui perantara.
Anggatra Basuki Sekaring Budi.
Sengkalan yang menunjukkan perayaan sekaten pada tahun 1989 M (1922 Jawa). Kata anggatra (membentuk) melambangkan angka sembilan, basuki (keselamatan) melambangkan angka delapan, sekaring (bunga) melambangkan angka semilan, dan budi melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1989 Masehi, dan mempunyai arti “Keselamatan adalah bentuk bunga dan budi”. Makna asosiatif sengkalan tersebut merupakan peringatan bagi manusia, bahwa manusia dalam kehidupannya akan selalu memetik hasil dari budinya. Hal ini di dalam filofosi Jawa disebut ngundhuh wohing pakarti.
Sunaring Panembah Sekaring Jagad.
Sengkalan yang menandai peringatan sekaten pada tahun 1923 Jawa (1990 M). Kata sunaring (sinar) melambangkan angka tiga, panembah (penyembah) melambangkan angka dua, sekaring (bunga) melambangkan angka sembilan, dan jagad (dunia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1923 Jawa, dan mempunyai arti “Sinar penyembah bunga dunia”. Makna asosiatif sengkalan ini adalah “perbuatan manusia pada jalan Tuhan dapat membahagiakan kehidupan di dunia”. Frase sunaring panembah (sinar penyembah) menunjukkan pancaran perbuatan seseorang yang berbakti kepada Tuhan. Sedangkan frase sekaring jagad (bunga dunia) menunjukkan hasil perbuatan yang baik di dunia.
Umbuling Puspa Gapuraning Praja.
Sengkalan yang menandai peringatan sekaten pada tahun 1990 M (1923 Jawa). Kata umbuling (melesatnya) melambangkan angka nol, puspa (bunga) melambangkan angka sembilan, gapuraning (gapura) melambangkan angka sembilan, dan praja (kerajaan, negara) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini tahun 1990 M, dan mempunyai arti “Melesatnya bunga gapura kerajaan”. Makna asosiatif sengkalan ini adalah “Keharuman Yogyakarta menyebar ke seluruh penjuru dunia”, karena sekaten bertujuan untuk mengangkat budaya Yogyakarta sehingga dapat menarik wisatawan dalam dan luar negeri untuk datang berkunjung.
Gapura Papat Ambuka Jagad.
Peristiwa kembalinya kota Yogyakarta dari pendudukan pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1949 M ditandai dengan sengkalan tahun 1949 M ditandai dengan sengkalan gapura papat ambuka jagad. Sengkalan tersebut terdapat pada Monumen Yogya Kembali. Kata gapura melambangkan angka sembilan, papat berarti empat, ambuka (membuka) melambangkan angka sembilan dan jagad (dunia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjuk pada tahun 1949 M, dan mempunyai arti “empat gapura membuka dunia”. Maksudnya adalah peristiwa kembalinya kota Yogyakarta kepada Negara Republik Indonesia masih ada. Frase gapura papat (empat gapura) menunjukkan keempat penjuru dunia, frase ambuka jagad (membuka dunia) menunjukkan pengakuan keberadaan RI oleh dunia. Jadi makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Seluruh dunia hendaknya mengetahui bahwa RI masih hidup walaupun telah berusaha dijajah kembali oleh Belanda”.
Gapura Sinupit Mangkara Manunggal.
Makam Imogiri mulai dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung pada tahun 1529 Jawa (1607 M). Peristiwa tersebut ditandai dengan sengkalan gapura sinupit mangkara manunggal. Kata gapura melambangkan angka sembilan, sinupit (dijepit) melambangkan angka dua, mangkara (udang) melambangkan angka lima, dan manunggal (bersatu) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjukan tahun 1529 Jawa, an mempunyai arti “Gapura dijepit oleh udang yang bersatu”. Makna asosiatif sengkalan tersebut sesuai dengan nama gerbang utama makam Imogiri, yaitu gapura supit urang yang terletak pada bagian paling luar dan sekaligus sebagai jalan menuju makan Sultan Agung.
Sucining Driya Marganing Swarga.
Sengkalan yang menandai selesainya pembangunan makam Imogiri pada tahun 1554 Jawa (1623 M). Kata sucining (kesucian) melambangkan angka empat, driya (indera) melambangkan angka lima, marganing (jalan, karena) melambangkan angka lima, dan swarga (sorga) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjukkan tahun1554 Jawa, dan mempunyai arti “Sucinya indera jalannya surga”. Kalimat sengkalan tersebut bermakna asosiatif “Perbuatan baik di dunia merupakan bekal untuk menuju sorga”, yang merupakan seruan bagi umat manusia untuk selalu berbuat baik supaya kelak bahagia di alam baka.
Winayang Rasa Wisayaning Ratu.
Sengkalan untuk menandai peresmian Bangsal Duda di kompleks makam Kotagede oleh Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1566 Jawa (1664 M). Kata winayang (digerakkan) melambangkan angka enam, rasa (rasa) melambangkan angka enam, wisayaning (kehendak) melambangkan angka lima, dan ratu (Raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjuk pada tahun 1566 Jawa, dan mempunyai arti “Digerakkan oleh rasa kehendak raja”. Makna asosiatif kalimat ini adalah lembangunan Bangsal Duda karena keinginan raja, yaitu atas inisiatif Sultan Agung Anyakrakusuma sendiri.
Hangga-hangga Tinulup Nangisi Putra.
Selain sengkalan winayang rasa wisayaning ratu, peresmian Bangsal Duda dikompleks makam Kotagede oleh Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1566 Jawa (1644 M) juga ditandai dengan sengkalan hangga-hangga (laba-laba) melambangkan angka enam, tinulup (tersumpit) melambangkan angka enam, nangisi (menangis) melambangkan angka lima, dan putra (anak) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1566 Jawa, dan mempunyai arti “laba-laba menangisi anaknya yang tersumpit”. Kata nangisi (menangis) menunjukkan kesediahan karena kehilangan sesuatu, sehingga sengkalan ini sesuai dengan tempatnya yang berada di makam.
Toya Saliran Sembahan Jalmi.
Sengkalan yang menandai pemugaran Kolam Salinan di kompleks makam Kotagede pada tahun 1284 H (1867 M). Kata toya (air) melambangkan angka empat, Saliran (nama kolam saliran, atau badan) melambangkan angka delapan, sembahan (pujaan) melambangkan angka dua, dan jalmi (manusia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1284 H, dan mempunyai arti “air saliran pujaan manusia”. Makna asosiatif sengkalan ini menunjukkan bahwa Kolam Saliran yang terlatak di kompleks makam Kotagede dihargai manusia karena fungsinya untuk membersihkan diri. Dahulu kolam saliran ini dikerjakan sendiri oleh Ki Ageng Mataram dan Panembahan Senapati.
Wisiking Trus Pandhita Nata.
Selain sengkalan toya saliran sembahan jalmi, pemugaran kolam Saliran di kompleks makam Kotagede pada tahun 1796 Jawa (1867 M) juga ditandai dengan sengkalan wisiking trus pandhita nata. Kata wisiking (bisikan, ilham) melambangkan angka enam, trus (terus, langsung) melambangkan angka sembilan, pandhita (pendeta) melambangkan angka tujuh, dan nata (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjuk pada tahun 1796 Jawa, dan mempunyai arti “Ilham langsung kepada pendeta raja”. Makna asosiatif kalimat tersebut menunjukkan bahwa ilham untuk memugar Kolam Saliran diterima langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwana VI, atau dengan kata lain pemugaran Kolam Saliran dilakukan karena Sri Sultan Hamengku Buwana VI mendapat ilham.
Ngrasa Trus Sabdeng Nata.
Pemugaran tembok Masjid Makam Kotagede yang rusak karena gempa bumi di tandai dengan sengkalan ngrasa trus sabdeng nata, yang menunjuk pada tahun 1796 Jawa (1867 M). Kata ngrasa (merasa) melambangkan angka enam, trus (terus, langsung) melambangkan angka sembilan, sabdeng (sabdanya) melambangkan angka tujuh, nata (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengketa ini melambangkan tahun 1767 Jawa, dan mempunyai arti “Selalu merasakan sabdanya raja”.
Sengkalan tersebut sesuai dengan fungsi masjid sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam. Makna asosiatif sengkalan tersebut ialah “Umat Islam selalu mersakan sabda raja yang merupakan petunjuk dari Allah”.
Muji Nikmat Sarining Jalmi.
Makam Kotagede yang rusak karena gempa bumi diperbaiki pada tahun 1867 M (1796 Jawa). Ditandai dengan sengkalan muji nikmat sarining jalmi. Muji (memuji) melambangkan angka tujuh, nikmat melambangkan angka enam, sarining (sari) melambangkan angka delapan, jalmi (manusia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1867 M, dan mempunyai arti “Memuji nikmat sari manusia”. Kalimat tersebut merupakan sebuah pengharapan kepada semua manusia, yaitu agar semua manusia mendo’akan para arwah orang yang telah wafat, supaya dapat hidup senang di alam baka. Kata sarining jalmi (sari manusia) menunjuk pada jiwa manusia.
Katon Hati Pangesthining Ratu.
Sengkalan yang menunjukkan mulainya pemugaran makam Kotagede oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1853 Jawa (1923 M). Pemugaran ini dikerjakan oleh abdi dalem Salidi Sarwadikara yang berasal dari Panumping, Surakarta. Kata katon (terlihat) melambangkan angka tiga, hati melambangkan angka lima, pangesthining (kehendak) melambangkan angka delapan, ratu (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1853 Jawa, dan mempunyai arti “Terlihat kehendak hati raja”. Makna asosiatif sengkalan tersebut menunjukkan bahwa pemugaran makam Kotagede dilaksanakan atas kehendak hati raja.
Guna Paksa Hanrus Ing Bumi.
Selain sengkalan katon hati pengesthining ratu, pemugaran makam Kotagede juga ditandai dengan sengkalan guna paksa hanrus ing bumi yang menunjuk pada tahun 1923 M (1853 Jawa). Kata guna (manfaat) melambangkan angka tiga, paksa (sayap, pengetahuan) melambangkan angka dua, hanrus (berlanjut) melambangkan angka sembilan, ing (di) sebagai kata depan, bumi (manusia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1923 M, dan mempunyai arti “Manfaat pengetahuan yang berlanjut di bumi”. Makna asosiatif sengkalan tersebut merupakan peringatan kepada manusia, yaitu semua amal pengetahuan yang bermanfaat bagi sesama makhluk Tuhan tidak akan putus pahalanya walau telah meninggal dunia.
Huninga Marganing Salira Tunggal.
Pemasangan batu nisan pertama kali pada makam Pangeran Mangkubumi, saudara Panembahan Senapati, dilaksanakan pada tanggal 19 Dzulhijah 1853 Jawa (1923 M) ditandai dengan sengkalan huninga marganing salira tunggal. Kata huninga (tahu) melambangkan angka tiga, marganing (jalan, akibat) melambangkan angka lima, salira (badan) melambangkan angka delapan, dan tunggal melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1853 Jawa, dan mempunyai “arti mengetahui jalan badan satu”.
Makna asosiatif sengkalan ini ialah manusia hendaknya mengetahui jalan untuk kembali kepada Allah. Sengkalan manusia bahwa jalan untuk kembali kepada Allah dengan melakukan amal baik selama di dunia.
Trima Nembah Gatraning Pangeran.
Pemasangan batu nisan pertama kali pada makam Pangeran Mangkubumi, selain ditandai dengan sengkalan huninga marganing salira tunggal, juga ditandai dengan sengkalan trima nembah gatraning Pangeran yang menunjuk pada tahun 1923 M. Kata trima (menerima dengan iklas) melambangkan angka tiga, nembah (menyembah) melambangkan angka dua, gatraning (badan) melambangkan angka sembilan, dan kata pangeran (Tuhan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1923 M, dan mempunyai arti “dengan ikhlas menyembah badan Tuhan”. Kalimat tersebut merupakan petunjuk bagi manusia dengan menyembah Tuhan. Manusia menyembah Tuhan harus dengan hati yang ikhlas, sebab bila hanya dengan setengah hati maka akan sia-sia perbuatannya.
Hanata Pasareaning Brahmana Raja.
Pemugaran makam Kotagede selesai tanggal 29 Syakban 1855 Jawa (1925 M), dan ditandai dengan sengkalan hanata pasareaning brahmana raja yang menunjuk pada tahun 1855 Jawa. Kata hanata (mengatur) melambangkan angka lima, pasareaning (makam) melambangkan angka lima, brahmana melambangkan angka delapan, raja melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1855 Jawa, dan mempunyai arti “Mengatur makam brahmana dan raja”. Kata brahmana dalam agama Hindu adalah kasta tertinggi dalam kalimat tersebut menunjukkan orang yang berdarah ningrat atau orang yang berkedudukan tinggi. Makna asosiatif sengkalan tersebut adalah mengatur makam raja dan kerabat raja.
Tata Samya Trusthaning Narendra.
Pemugaran makam Kotagede yang selesai tahun 1855 Jawa juga ditandai dengan sengkalan tata samya trusthaning narendra yang menunjuk pada tahun 1923 M tepatnya tanggal 23 Maret 1923 M. Kata tata (atur) melambangkan angka tiga, samya (bersama-sama) melambangkan angka dua, trusthaning (kesenangan) melambangkan angka sembilan, dan narenda (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1923 M, dan mempunyai arti “Bersama-sama mengatur kesenangan raja”. Maksudnya adalah sang raja perasaannya menjadi senang ketika menyaksikan pemugaran makam Kotagede hasilnya sangat memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar