Kamis, 25 Desember 2008

MEDITASI VIPASSANA BHAVANA

MEDITASI VIPASSANA BHAVANA

Untuk melihat bahwa Vipassana merupakan intisari dari Ajaran Sang Buddha, kita perlu mengetahui apa itu meditasi, karena Vipassana Bhavana termasuk meditasi. Meditasi sebenarnya telah berkembang sebelum Petapa Gotama menjadi Buddha. Setelah Beliau menjadi Buddha, lalu Beliau melihat ke dalam diri-Nya dan menemukan hal-hal yang sangat penting untuk merubah keadaan kehidupan ini. Setelah menyelesaikan tugasnya bermeditasi di bawah Pohon Bodhi, Beliau mengembangkan suatu sistem yang sekarang di dalam buku-buku disebut Vipassana Bhavana; tetapi di dalam sutta-sutta Beliau hanya menyebut Satipatthana. Sebelum mengajarkan sistem Vipassana ini, Beliau pernah belajar pada guru-guru yang termashyur yaitu Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, belajar sistem meditasi dalam Ajaran Brahmana. Karena Beliau sangat tekun dan bersungguh-sungguh dalam berlatih, maka dengan cepat sekali Beliau mencapai tingkat-tingkat terakhir dari tujuan cara meditasi itu, yang kita kenal sekarang yaitu Samatha Bhavana (pemusatan pikiran untuk mengembangkan ketenangan). Tujuan meditasi ini untuk mencapai tingkat-tingkat kekuatan konsentrasi pikiran yang disebut jhana-jhana, dikembangkan sekuat-kuatnya sehingga dapat menetralisir bahkan membungkus semua kamma-kamma yang terdahulu agar tidak berkembang untuk sementara waktu. Konsentrasi pikiran itu dapat digunakan untuk keperluan-keperluan spiritual, artinya gerak kehidupan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pribadi orang yang mengembangkan Samatha itu, sehingga bisa mencapai kemampuan/kekuatan di luar manusia umum (kesaktian-kesaktian/abhinna).

Setelah Petapa Gotama melakukan meditasi bersama gurunya, Beliau tidak puas, akhirnya meminta ijin untuk mencari sendiri cara meditasi. Akhirnya Gotama berkelana sampai menyiksa diri di Hutan Uruvela, sampai akhirnya Beliau teringat pernah mencapai ketenangan di dalam meditasi sewaktu kanak-kanak, mencapai ketenangan melalui Anapanassati. Walau ini unsur Samatha tetapi pada saat itu Beliau terlibat dengan suatu proses ketenangan yang mantap, akhirnya Beliau tidak lagi mengikuti proses-proses Samatha yang kuat, tetapi mencoba untuk mengikuti kesadarannya. Terjadilah suatu pengalaman ketika Beliau mencapai tingkat jhana kedelapan, kesembilan, akhirnya setelah sampai pada tingkat jhana yang tertinggi itu, Beliau merasa tidak puas dan masih merasa adanya satu ketegangan yang dibawa oleh konsep merasa ‘Ada’ dan ‘Tidak Ada’, tetapi masih ada sesuatu pencerapan/sanna. Akhirnya Beliau turun lagi dari jhana 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, lalu kembali ke jhana pertama yang merupakan suatu keadaan kehidupan yang dapat mencerap lingkungan (seperti: merasa angin, panas, duduk, dan lain-lain). Dari situ mulailah terasa kehidupan itu ada proses-proses gejala kehidupan yang merupakan masa lalu, apa saja di masa lalu itu adalah muncul dan merupakan proses-proses. Beliau mampu menyadari proses tersebut, kalau di jhana-jhana tidak mampu menyadari oleh karena ditutup oleh konsentrasi yang luar biasa. Begitulah Sang Buddha menemukan sistem yang baru untuk dapat melepaskan sama sekali apa yang disebut proses kehidupan dan apa yang disebut kehidupan. Bagaimanapun halusnya, itu adalah ketegangan, ketegangan inilah yang disebut Dukkha.

Vipassana Bhavana adalah perkembangan untuk melihat ke dalam diri kita (melihat dengan batin yang disebut kesadaran/sati/pikiran), untuk mengetahui dan mengenal proses-proses kehidupan ini dengan tujuan memperbaiki keadaan kehidupan kita. Tentu saja Sang Buddha bukan hanya memperbaiki yang tidak baik menjadi baik, tidak puas menjadi memuaskan, tetapi untuk melepaskan diri dari cengkraman proses kehidupan ini dalam mencapai kebebasan terakhir dari cengkraman proses tumimbal lahir. Mengembangkan kesadaran yaitu kemampuan melihat ke dalam diri sehingga mengerti apa adanya hidup ini. Hidup ini tidak lain daripada proses, proses pengalaman dari masa lalu, yang baik, jahat, kesusilaan, dan lain-lain. Semua pengalaman masa lalu itu tidak ada yang hilang, semua mengendap laten di dalam kehidupan (bawah sadar). Yang menjadi objek di dalam Vipassana, mempunyai suatu corak yaitu walaupun mengendap/laten tetapi bawah sadar ini sewaktu-waktu muncul sesuai dengan kondisi dari lingkungan kita. Pada saat berada dalam kondisi apa, akhirnya juga akan muncul sebagai bentuk pikiran, kadang-kadang menjadi konsep. Tujuan Vipassana bukan menuju ketenangan, bahkan ketenangan itu nanti akan mengalami proses kesadaran. Tujuan Vipassana adalah untuk melihat proses kehidupan ini, mendapat pengetahuan mengenai proses kehidupan itu, dan pengetahuan ini akan diolah menjadi kemampuan-kemampuan untuk keluar dari dukhha. Antara tujuan Samatha Bhavana dan Vipassana Bhavana adalah tidak sama. Walaupun demikian kedua sistem ini diambil oleh Agama Buddha, dan Sang Buddha pun sering menerangkan Samatha itu di dalam khotbah-khotbah Beliau, tentunya bukan itu yang akan diajarkan, tapi dari sana Beliau sudah mempunyai cara untuk menyeberangkan dari tingkat Samatha ke Vipassana. Tentu hanya Beliau yang dapat mengaturnya, dan kita hanya dapat membandingkan dan melihat perkembangannya. Kita menyelusuri Ajaran Sang Buddha dengan Vippasana. Di dalam proses Vipassana pikiran dapat kita teropong, soroti, sadari, perjuangan dalam meditasi Budhhis. Kita mencoba membahas Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama, itu merupakan tambahan dari pengertian-pengertian yang akan membantu orang untuk dapat menenangkan atau mengiring konsep-konsep pikiran ke arah ketenangan, bahkan ke arah penghentian dari proses terutama pikiran benar dan pengertian yang benar.

Dalam Meditasi Buddhis, ada syarat-syarat yang perlu dilakukan. Samadhi itu ada dua macam, yaitu meditasi yang benar dan meditasi yang salah. Cara membedakannya: meditasi yang benar harus berdasar pada sila-sila, jika tidak, akan membawa resiko atau efek-efek. Bagi batin yang belum dibersihkan, kekuatan-kekuatan meditasi itu bisa digunakan oleh kekotoran-kekotoran batinnya, sehingga kekotoran batin itu menjadi lebih kuat dari yang bersih. Hal tersebut akan menjerumuskan orang yang memiliki abinna itu, serta bisa juga merusak lingkungan karena kekotoran batin (dosa, lobha, moha). Meditasi yang salah adalah meditasi yang tidak menghiraukan sila-sila. Meditasi yang benar tentu dapat dipercaya, dijamin merupakan kekuatan yang akan dicapai untuk kesejahteraan kehidupan bagi yang melakukan dan lingkungan di mana mereka hidup. Jadi Samatha Bhavana pun dapat sebagai meditasi yang benar tetapi harus dititikberatkan pada sila-sila.

Selama ini banyak di antara kita tidak mau lepas dari konsep-konsep yang tidak menyenangkan. Bahkan banyak yang terlena, asyik dengan kesenangan, asyik marah, asyik cemas, dan lain sebagainya. Setelah keasyikan itu mengakibatkan ketidak-harmonisan dalam jasmani kita, baru kita sadar. Hormon-hormon tubuh kita berubah pola kerjanya, karena ketegangan/dukkha yang berlebihan. Kita yang tidak sadar untuk melepasnya, dapat mengakibatkan emosi atau pergolakan-pergolakan dalam pikiran kita. Jadi Vipassana ini ‘mendaratkan’ Ajaran Sang Buddha ke dalam kehidupan. Intisarinya merealisir seluruh Ajaran Sang Buddha itu dalam melihat proses kehidupan ini, dan berusaha untuk dapat melepaskan diri dari hal-hal yang tidak baik, serta mengembangkan yang baik di mana akan menimbulkan perasaan yang lebih puas.

Sesi Tanya-Jawab:
T : Pada saat meditasi kita diminta untuk menyadari, tetapi pada saat disadari, timbul kesadaran yang lain, terus berlanjut silih berganti sehingga pikiran kita menjadi pusing. Bagaimana hal tersebut dapat terjadi?
J : Hal itu berarti kita sudah dijajah oleh pikiran. Sifat pikiran itu memang demikian. Seperti asap yang mengepul tidak putus-putusnya. Tetapi kemunculan bentuk-bentuk itu didukung oleh suatu kekuatan kesadaran. Misalnya, begitu ingat dengan teman, muncul, didukung oleh kekuatan kesadaran. Kesadaran itu adalah tanpa bentuk atau netral dari bentuk. Sekarang kita mencoba untuk menarik “bahwa saya sadar sedang mengingat, sedang berpikir menghadapi bentuk pikiran (teman)”. Seluruh perhatian kita sepenuhnya ditarik untuk menyadari diri sedang mengingat, sehingga bentuk pikiran ini dilepas oleh kesadaran kita. Menguatkan diri sedang mengingat, sehingga bentuk pikiran mengingat teman dilepas, lalu kosong sebentar, kemudian kita mencari lagi objek yang kita pakai. Jadi yang kosong sebentar itu membuktikan bahwa bentuk pikiran itu pun berbeda dengan yang berikutnya, jangan dikejar karena tidak akan berhenti, dan akan semakin kacau. Maka dari itu, apa yang muncul kita mencoba menarik kekuatan kesadaran itu.

T : Saat meditasi, muncul kesadaran pertama, terus kedua, dan berlanjut ketiga, pada saat menyadari, misalnya pada saat kesadaran ketiga, kalau kita berbalik pada kesadaran yang pertama, boleh atau tidak?
J : Hal tersebut tidak perlu. Misalnya pada saat muncul teman, biarlah ia muncul. Kalau sudah muncul teman pertama kali, kemudian dalam batin kita berkata “oh, si A yang dulu menghina, kurang ajar dia”, kita memaki itu sudah tingkat kedua. Tadinya baru muncul wajahnya, sekarang kita sudah memberi itikat “ia jahat”. Kemudian kita ulangi dan marah, itu sudah tingkat ketiga, belum sadar timbul dendam, itu kita sudah tidak menyadarinya. Jangan ulangi kebodohan itu, langsung “oh saya lupa”, begitu kita lupa, begitu kekuatan yang kita tanam ketika mengingat ini, dia juga pecah tidak akan menjadi kamma baru. Jangan uraikan si A tadi, sebab tiap kita diuraikan memerlukan daya pemikiran, inilah kamma. Tiap-tiap kita menguraikan dalam batin, timbulnya kekuatan mengingat dan menghubungkan satu dengan yang lain, kekuatan kamma baru muncul. Misalnya seperti kita mimpi ketemu teman yang jahat sampai bertengkar, impian itu tidak menimbulkan kekuatan kamma baru untuk menambah keterikatan kita kepada kebencian pada A, tetapi bila kita bangun tidur terus diingat-ingat, timbul rasa tidak suka, itulah kamma baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar