RADEN ALIT
Konotasi Jampang di daerah Betawi diidentikan dengan seorang jagoan silat jaman dulu. Lebih terkenal lagi pada era 70 an ketika diangkat ke layar lebar. Dikisahkan Si Jampang Jago Betawi sangat anti ‘Kumpeni Belanda’. Perilaku Si Jampang diidentikan dengan Robin Hood dari hutan kayu Inggris. Konon termasuk manusia kebal. Ia berguru ke daerah Jampang Kulon. Mitos kehebatan Urang Jampang mungkin bermula dari kisah keberanian Laskar Jampang. Namun memang sulit dilacak pengaruh mitos Si Jampang Jago Betawi dengan perlawanan urang Jampang yang merambah ke Batavia.
Pada tahun 1705 M pemimpin tertinggi Kompeni Belanda di Batavia pernah di repotkan oleh sepasukan laskar yang berasal dari Jampang, dibawah pimpinan Raden Alit Haji Prawatasari. Ia menyerang berbagai posisi Kompeni di Tatar Pasundan, Tangerang dan sekitar Batavia, ketika itu Tangerang dan Batavia berada langsung dibawah kekuasaan Kompeni. Untuk menangkap Raden Alit pihak Belanda melakukan beberapa upaya, seperti membersihkan orang-orang yang pro Raden Alit serta mengadakan sayembara berhadiah.
Konon para sejarawan dan orang-orang tua banyak menceritakan tentang daerah Jampang sebagai daerah penggemblengan para jagabaya agar mahir ilmu beladiri dan peperangan. Mungkin pula sisa-sisa mitos itu yang menyisakan sebutan daerah Jampang sebagai salah satu pusat ilmu kanuragan di tatar sunda.
Daerah Jampang menyisakan kisah kepahlawanan seorang Menak, dikenal dengan sebutan Raden Alit atau Haji Prawatasari. Kisah ini tentunya masih membekas di hati rakyat, bahwa tidak seluruh menak ‘bariluk ka walanda’, bahkan pernah ada menak yang berani menyalakan api perlawanan.
Kondisi Tatar Sunda waktu itu
Ketika masa itu Cianjur sudah berada dibawah kekuasaan Kompeni Belanda, akibat dari perjanjian yang dibuat antara VOC dengan Mataram pada tahun 1677 di Jepara, terkait dengan masalah pemberontakan Trunojoyo. Sebagai balas jasa terhadap Belanda.maka Amangkurat II menyerahkan tatar sunda, termasuk Cianjur.
Mungkin yang menjadi pertanyaan : Mengapa Amangkurat II (raja Mataram) menyerahkan Tatar Pasundan ?. legalitas kesejarahan apa yang dimiliki Mataram sehingga Tatar Sunda sebagai souvenirnya kepada VOC ?.
Kisah Sumedang Larang menjadi bawahan Mataram sampai saat ini masih membuahkan beberapa pertanyaan, apakah sebagai akibat perjanjian Geusan Ulun dengan Sultan Agung, atau karena diserahkan oleh Suryawangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, kepada Mataram ?. Mengapa pula Sumedang Larang dirubah menjadi setingkat Kabupaten, sedangkan Cirebon dan Banten masih diakui sebagai kerajaan yang Mahardika ?. Faktor ini pula yang menjadi kabut hitam sejarah ‘Tatar Pasundan’.
Kekuasaan Mataram di Tatar Sunda efektif terjadi pada saat Rangga Gempol (1620 M). Pada masa itu status 'kerajaan' Sumedang dirubah menjadi 'kabupatian wedana' dibawah Mataram. Alasan Mataram mengubah status ini bertujuan untuk menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Banten dan Belanda.
VOC sebelum menguasai Cianjur terlebih dahulu menguasai Bogor. Pada tahun 1687 telah sampai didaerah sungai Ciliwung. Pembukaan kawasan ini dipimpin Scipio sampai muara Cisadane, di Samudra Hindia. Ekspedisi ke wilayah Bogor terkait erat dengan penemuan Scipio tentang sisa-sisa kerajaan Pajajaran, bahkan penemuan Scipio dijadikan rujukan penting dalam menyusun sejarah Bogor. Mungkin juga penemuan jejak puing Pajajaran tersebut diinspirasikan oleh Tanuwijaya, seorang Letnan Belanda. Konon kabar ia masih teureuh Pajajaran.
Kekuasaan Kompeni Belanda ke daerah pedalaman sudah sampai pula ke Daerah Cianjur. Ketika itu Cianjur berada dibawah pemerintahan Wiratanu I sudah menganggap VOC sebagai pelindung dan pendamping Mataram, yang ia pertuan. Maka terhitung sejak tahun 1691, Cianjur mulai menjadi kawula VOC.
Siapa Raden Alit ?
Raden Alit dikenal seorang menak sunda layaknya menak di Cianjur yang taat beragama. Ia dikenal pula dengan nama Haji Prawatasari. Istilah Alit dalam bahasa sunda bisa berarti kecil. Mungkin landihan Alit menandakan dari susunan keluarga, ia dianggap anak paling kecil. Bisa juga karena sifatnya yang selalu bergaul dengan para “kawula alit”, maka ia disebut Raden Alit.
Raden alit memimpin kelompok rakyat, diperkirakan berjumlah hingga 3.000 orang yang berkedudukan di wilayah Jampang (Cianjur Selatan). Daerah tersebut dipilihnya karena disana telah ada pelarian orang Sukapura. Pertama ia melakukan perlawanan terhadap Bupati Cianjur pada bulan Maret tahun 1703 M. Perlawanan Raden Alit dilakukan melalui cara tidak melakukan kewajiban tanam paksa (kopi). Ia pun bersama rakyat merusak dan menggagalkan panen buah kopi yang sudah memasuki masa panen.
Raden Alit pada tanggal 12 Juli 1707 ditangkap Belanda didaerah Bagelen, kemudian di bawa ke Kartasura, Ibu Kota Mataram. Tentunya pula untuk menghindarkan adanya gangguan dari masyarakat tatar pasundan dan muncul kembali kerjasama para penguasa daerah dengan sisa-sisa pasukan Raden Alit. Sama halnya pelaksanaan penghukuman dalam kisah Dipati Ukur dan Suryawangsa
Kisah Perlawanan Raden Alit.
Kisah Kompeni di Indonesia mungkin dapat di pelajari dari sistim kolonialisasi dan kapitalisme tua barat di Negara-negara jajahan. Komoditi yang sangat laku di Eropa dari tatar sunda antara lain komoditi Kopi. Akibat kesungguhan Kompeni untuk menjaga stabilitas tatar sunda sebagai penghasil kopi menyebabkan ia perlu menggunakan kekuatan militernya. Hingga suatu ketika VOC tak lagi mampu membiayai ongkos untuk menjaga stabilitasnya. Pada tanggal 31 Desember 1799 M VOC dibubarkan, dan hutang-hutangnya diambil alih Kerajaan Belanda. Saat itu beralihlah penguasaan Indonesia dari VOC kepada Kerajaan Belanda.
Kisah perlawanan Raden Alit terkait dengan akumulasi penderitaan rakyat, antara lain akibat dari sistim persewaan tanah dan tanam paksa. Selain itu menyangkut pula adanya penyesalan rakyat karena Bupatinya menundukan diri terhadap daulat Kompeni.
Sistim sewa tanah diberlakukan oleh para Bupati di wilayahnya. Hasil persewaan tanah tersebut diperuntukan guna membiayai oprasional pemerintahan. Tentunya penundukan para Bupati kepada VOC tidak disertai dengan adanya biaya oprasional yang memadai, sehingga perlu mendayagunakan asset kabupaten yang dimiliki.
Tanah persewaan yang laku sewa bukan berada didaerah kosong yang jauh dari perkampungan. Para pemodal swasta tidak tertarik menyewa tanah-tanah yang tidak berpenduduk. Alasan ekonomis tentunya terkait dengan masalah tenaga kerja dan posisi tanah-tanah tersebut. Berdasarkan keinginan dari para penyewa, para pemilik modal dari Eropa dan warga keturunan Timur Asing, lebih memilih tanah-tanah persewaan yang berada didesa-desa yang telah berpenghuni.
Desakan kebutuhan untuk membiayai oprasional pemerintahan, para Bupati menyetujui lokasi tanah-tanah persewaan sesuai kemauan para pemodal. Pajak-pajak dari rakyat yang biasa dipungut oleh para Bupati juga menjadi bagian dari persewaan dan beralih ka pungutnya kepada para penywa. Masalahnya menjadi rumit ketika beban pajak dikenakan sagat memberatkan rakyat. Disisi lain secara hukum para Bupati tidak dapat mengontrol pengenaan biaya sewa kepada rakyatnya, karena semuanya telah menjadi hak penyewa.
Hal yang berkaitkan dengan masalah ini adalah kewajiban menanam komoditi sesuai dengan keinginan para tuan tanah. Seluruh tanah persewaan di wilayah Cianjur pada umumnya di wajibkan menanam kopi (di wilayah lain tanaman nila dan tebu), bahkan telah dimulai sistim kerja paksa (rodi).
Perlawanan rakyat terjadi ketika beban hidup sudah sangat memberatkan. Disisi lain para pejabat pribumi umumnya lebih senang bergaul dengan Belanda dan menjadi abdinya, lebih menikmati gaya-gaya feodal. Pada masa ini ‘Tatar Sunda’ memasuki masa kelam dalam perkembangan ekonomi dan budaya rakyat.
Kemarahan rakyat Cianjur di picu pula oleh tindakan Bupati Wiratanu II yang sudah mengakui VOC dan menjadi kawulanya. Penundukan ini sebagai warisan dari Bupati sebelumnya, Wiratanu I menganggap Kompeni sebagai protector dan mitra penting dari Mataram. Ketika itu Mataram sedang menguasai tatar sunda. Bara ini kemudian menjadi api ketika seorang menak menyalakan lentera perlawanan. Itulah Raden Alit.
Perlawanan Raden Alit
Raden Alit melarang rakyat Jampang untuk memanen kopi yang telah masuk masa panen, bahkan ia memerintahkan untuk merusak tanaman kopi. Untuk mengamankan kepentingan Kompeni Belanda merencakan mengirimkan pasukannya ketempat peristiwa. Namun sebelum berangkat kelokasi, Tanuwijaya, kepala Kampung Baru Bogor mengirimkan berita bahwa Raden Alit telah meninggal dunia. Di balik itu Tanuwijaya mengirim berita kepada Raden Alit tentang adanya rencana Belanda untuk menyerang Jampang, sehinga dengan segera Raden Alit memboyong semua warganya, berjumlah 1.354 jiwa, untuk meninggalkan Jampang. Serangan itu pun diurungkan VOC.
Mungkin berdasarkan penelitian intelijen VOC diketahui, bahwa Raden Alit belum meninggal. VOC segera menyerbu Jampang. Namun pasukan Raden Alit telah lebih dahulu memindahkan penduduk Jampang ke daerah Bayabang, di tepi Kali Citarum. Sayang jauhnya daerah baru itu sangat jauh, hanya sebagian yang bisa dipindahkan, karena ancaman kelaparan dan kelelahan. Sementara pasukan VOC di Jampang mendapatkan tempat kosong.
Pasca penyerangan tersebut Raden Alit seolah-olah ditelan bumi. VOC memperkirakan pemberontakan Raden Alit telah berakhir. Namun Kompeni di kejutkan dengan serangan pasukan Raden Alit di Priangan Timur, seperti di Galuh, Imbanagara dan Kawasen. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata pada tahun 1704 Raden Alit memindahkan markas pasukannya ke muara Cintaduy.
Untuk mencegah dan menangkap Raden Alit, Kompeni Belanda mengirimkan pasukan ke Ciamis, namun mereka menemukan daerah yang kosong, karena Raden Alit telah memindahkan pasukannya kembali ke Daerah Jampang. Demikian pula ketika menyerang Jampang, ternyata pasukan Raden Alit sudah tidak ada lagi, bahkan ia telah menyerang daerah sekitar Batavia. Kondisi ini sangat membingungkan Belanda.
Epos perlawanan Raden Alit sejaman dengan lalampahan Tanuwijaya, yang banyak memberikan bantuan untuk perjuangan Raden Alit. Padahal ketika itu Tanuwijaya sudah berpangkat Letnan Belanda dan dijadikan sebagai penguasai Bogor Baru. Tanuwijaya yang dianggap anak emas Belanda tersebut telah beberapa kali menyesatkan Belanda dalam upayanya menangkap Raden Alit. Seperti ketika merencanakan penyerangan ke daerah Jampang. Tanuwijaya menginformasikan kepada Belanda, bahwa Raden Alit telah meninggal terkena wabah penyakit. Namun dalam waktu yang sama ia pun mengirimkan berita kepada Raden Alit, tentang rencana Kompeni menyerang Raden Alit di Jampang. Tentunya tindakan yang dilakukan Tanuwijaya membutuhkan keberanian. Namun tidak heran jika mengetahui, bahwa Tanuwijaya masih ‘Teureuh Pajajaran’ yang memiliki kepentingan untuk memerdekakan tatar pasundan.
Dalam cerita lain memang ada kesan Tanuwijaya adalah antek Belanda, seperti di abadikan dalam lagu rakyat tentang ayang-ayang gung. sebagai berikut :
Ayang-ayang gung
Gung goong na rame
Menak kang Mas Tanu
Nu jadi wadana
Naha maneh kitu
Tukang olo-olo
Loba haru biru
Rucah jeung kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagorengan
Nganteur Kang Jeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong.
Lagu itu sangat bertolak belakangan dengan catatan sejarah. Terutama ketika diketahui bahwa Tanuwijaya dibuang Belanda ke Tanjung Harapan. Tentunya sebagai konsekwensi dari pembangkangannya kepada Belanda.
Kisah selanjutnya tentang Raden Alit terjadi pada tahun 1705. Pasukan Raden Alit diketahui telah berada di Bogor dan menyerang posisi-posisi Belanda, kemudian menghilang tak diketahui rimbanya. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga menimbulkan kecurigaan Belanda. Hingga akhirnya berdasarkan laporan intelejen Belanda diketahui, bahwa ada kerjasama antara Raden Alit dengan Tanuwijaya. Langkah berikutnya tentu Belanda ‘mengamankan Tanuwijaya’. Ia menagkap Tanuwijaya dan dibuang ke Tanjung Harapan. Namun Tanuwijaya tak kunjung mau menceritakan kepada Belanda tentang posisi Raden Alit.
Penangkapan Tanuwijaya tidak menyurutkan epos perlawanan Raden Alit. Pada bulan maret 1705 pasukan Raden Alit muncul di Sumedang Selatan dan menyerang posisi-posisi strategis Belanda. Pasukan Raden Alit berhasil membunuh pasukan Belanda yang melakukan pengejaran.
Kegagalan Intelejen Belanda dalam mendeteksi keberadaan pasukan raden Alit sangat mengkhawatirkan posisinya. Dengan politik adu dombanya Belanda mengadakan Sayembara, : Barang siapa yang mampu menangkap Raden Alit, hidup atau mati maka akan dihadiahi 300 ringgit. Namun rakyat lebih bersimpati kepada Raden Alit ketimbang tergiur hadiah 300 ringgit.
Belanda mengira adanya kerjasama antara Raden Alit dengan para penguasa daerah, seperti pada Tanuwijaya. Untuk menekan para penguasa daerah Belanda mengistruksikan kepada para Bupati untuk menangkap Raden Alit paling lambat enam bulan. Belanda mengancam pula, jika tidak berhasil para Bupati tersebut akan ditangkap dan dikenakan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Raden Alit. Namun tidak satupun Bupati yang mengindahkan instruksi tersebut. Selain segan dan menaruh hormat terhadap Raden Alit merekapun ‘gimir’ melihat keberanian Raden Alit.
Sebagai rasa terima kasih dari Raden Alit dan menyelamatkan posisi para Bupati tersebut, pada tahun 1706 mengalihkan serangannya ke Wilayah Tangerang. Suatu wilayah yang berada dibawah pengawasan langsung Belanda. Namun Belanda hanya menemukan sisa-sisa penyerangan tanpa mengetahu jejak selanjutnya. Akibat serangan ini Belanda berkeyakinan, tidak ada hubungan antara para Bupati di tatar sunda dengan perlawanan Raden Alit.
Dihin pinasti kersaning Hyang Widi, niti wanci ninggang mangsa, hirup – pati – bagja jeung cilaka manusa rasiah Pangeran. Pada tahun 1707 Raden Alit memindahkan wilayah gerilyanya ke Banyumas, pada bulan april tahun yang sama Raden Alit berhasil mengalahkan pasukan Belanda di Banyumas. Kekalahan Raden Alit terjadi pada Juli 1707. Ketika ia menyerang posisi Belanda di Bagelen. Namun pasukan Belanda sudah mencium rencana Raden Alit. Maka pada tangal 12 Juli 1707 Raden Alit Haji Prawatasari tertangkap. Kemudian ia dibawa ke Kartasura ibu kota Mataram. Namun entah kabar selanjutnya, yang jelas Raden Alit tak pernah kembali ke tatar sunda.
Konotasi Jampang di daerah Betawi diidentikan dengan seorang jagoan silat jaman dulu. Lebih terkenal lagi pada era 70 an ketika diangkat ke layar lebar. Dikisahkan Si Jampang Jago Betawi sangat anti ‘Kumpeni Belanda’. Perilaku Si Jampang diidentikan dengan Robin Hood dari hutan kayu Inggris. Konon termasuk manusia kebal. Ia berguru ke daerah Jampang Kulon. Mitos kehebatan Urang Jampang mungkin bermula dari kisah keberanian Laskar Jampang. Namun memang sulit dilacak pengaruh mitos Si Jampang Jago Betawi dengan perlawanan urang Jampang yang merambah ke Batavia.
Pada tahun 1705 M pemimpin tertinggi Kompeni Belanda di Batavia pernah di repotkan oleh sepasukan laskar yang berasal dari Jampang, dibawah pimpinan Raden Alit Haji Prawatasari. Ia menyerang berbagai posisi Kompeni di Tatar Pasundan, Tangerang dan sekitar Batavia, ketika itu Tangerang dan Batavia berada langsung dibawah kekuasaan Kompeni. Untuk menangkap Raden Alit pihak Belanda melakukan beberapa upaya, seperti membersihkan orang-orang yang pro Raden Alit serta mengadakan sayembara berhadiah.
Konon para sejarawan dan orang-orang tua banyak menceritakan tentang daerah Jampang sebagai daerah penggemblengan para jagabaya agar mahir ilmu beladiri dan peperangan. Mungkin pula sisa-sisa mitos itu yang menyisakan sebutan daerah Jampang sebagai salah satu pusat ilmu kanuragan di tatar sunda.
Daerah Jampang menyisakan kisah kepahlawanan seorang Menak, dikenal dengan sebutan Raden Alit atau Haji Prawatasari. Kisah ini tentunya masih membekas di hati rakyat, bahwa tidak seluruh menak ‘bariluk ka walanda’, bahkan pernah ada menak yang berani menyalakan api perlawanan.
Kondisi Tatar Sunda waktu itu
Ketika masa itu Cianjur sudah berada dibawah kekuasaan Kompeni Belanda, akibat dari perjanjian yang dibuat antara VOC dengan Mataram pada tahun 1677 di Jepara, terkait dengan masalah pemberontakan Trunojoyo. Sebagai balas jasa terhadap Belanda.maka Amangkurat II menyerahkan tatar sunda, termasuk Cianjur.
Mungkin yang menjadi pertanyaan : Mengapa Amangkurat II (raja Mataram) menyerahkan Tatar Pasundan ?. legalitas kesejarahan apa yang dimiliki Mataram sehingga Tatar Sunda sebagai souvenirnya kepada VOC ?.
Kisah Sumedang Larang menjadi bawahan Mataram sampai saat ini masih membuahkan beberapa pertanyaan, apakah sebagai akibat perjanjian Geusan Ulun dengan Sultan Agung, atau karena diserahkan oleh Suryawangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, kepada Mataram ?. Mengapa pula Sumedang Larang dirubah menjadi setingkat Kabupaten, sedangkan Cirebon dan Banten masih diakui sebagai kerajaan yang Mahardika ?. Faktor ini pula yang menjadi kabut hitam sejarah ‘Tatar Pasundan’.
Kekuasaan Mataram di Tatar Sunda efektif terjadi pada saat Rangga Gempol (1620 M). Pada masa itu status 'kerajaan' Sumedang dirubah menjadi 'kabupatian wedana' dibawah Mataram. Alasan Mataram mengubah status ini bertujuan untuk menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Banten dan Belanda.
VOC sebelum menguasai Cianjur terlebih dahulu menguasai Bogor. Pada tahun 1687 telah sampai didaerah sungai Ciliwung. Pembukaan kawasan ini dipimpin Scipio sampai muara Cisadane, di Samudra Hindia. Ekspedisi ke wilayah Bogor terkait erat dengan penemuan Scipio tentang sisa-sisa kerajaan Pajajaran, bahkan penemuan Scipio dijadikan rujukan penting dalam menyusun sejarah Bogor. Mungkin juga penemuan jejak puing Pajajaran tersebut diinspirasikan oleh Tanuwijaya, seorang Letnan Belanda. Konon kabar ia masih teureuh Pajajaran.
Kekuasaan Kompeni Belanda ke daerah pedalaman sudah sampai pula ke Daerah Cianjur. Ketika itu Cianjur berada dibawah pemerintahan Wiratanu I sudah menganggap VOC sebagai pelindung dan pendamping Mataram, yang ia pertuan. Maka terhitung sejak tahun 1691, Cianjur mulai menjadi kawula VOC.
Siapa Raden Alit ?
Raden Alit dikenal seorang menak sunda layaknya menak di Cianjur yang taat beragama. Ia dikenal pula dengan nama Haji Prawatasari. Istilah Alit dalam bahasa sunda bisa berarti kecil. Mungkin landihan Alit menandakan dari susunan keluarga, ia dianggap anak paling kecil. Bisa juga karena sifatnya yang selalu bergaul dengan para “kawula alit”, maka ia disebut Raden Alit.
Raden alit memimpin kelompok rakyat, diperkirakan berjumlah hingga 3.000 orang yang berkedudukan di wilayah Jampang (Cianjur Selatan). Daerah tersebut dipilihnya karena disana telah ada pelarian orang Sukapura. Pertama ia melakukan perlawanan terhadap Bupati Cianjur pada bulan Maret tahun 1703 M. Perlawanan Raden Alit dilakukan melalui cara tidak melakukan kewajiban tanam paksa (kopi). Ia pun bersama rakyat merusak dan menggagalkan panen buah kopi yang sudah memasuki masa panen.
Raden Alit pada tanggal 12 Juli 1707 ditangkap Belanda didaerah Bagelen, kemudian di bawa ke Kartasura, Ibu Kota Mataram. Tentunya pula untuk menghindarkan adanya gangguan dari masyarakat tatar pasundan dan muncul kembali kerjasama para penguasa daerah dengan sisa-sisa pasukan Raden Alit. Sama halnya pelaksanaan penghukuman dalam kisah Dipati Ukur dan Suryawangsa
Kisah Perlawanan Raden Alit.
Kisah Kompeni di Indonesia mungkin dapat di pelajari dari sistim kolonialisasi dan kapitalisme tua barat di Negara-negara jajahan. Komoditi yang sangat laku di Eropa dari tatar sunda antara lain komoditi Kopi. Akibat kesungguhan Kompeni untuk menjaga stabilitas tatar sunda sebagai penghasil kopi menyebabkan ia perlu menggunakan kekuatan militernya. Hingga suatu ketika VOC tak lagi mampu membiayai ongkos untuk menjaga stabilitasnya. Pada tanggal 31 Desember 1799 M VOC dibubarkan, dan hutang-hutangnya diambil alih Kerajaan Belanda. Saat itu beralihlah penguasaan Indonesia dari VOC kepada Kerajaan Belanda.
Kisah perlawanan Raden Alit terkait dengan akumulasi penderitaan rakyat, antara lain akibat dari sistim persewaan tanah dan tanam paksa. Selain itu menyangkut pula adanya penyesalan rakyat karena Bupatinya menundukan diri terhadap daulat Kompeni.
Sistim sewa tanah diberlakukan oleh para Bupati di wilayahnya. Hasil persewaan tanah tersebut diperuntukan guna membiayai oprasional pemerintahan. Tentunya penundukan para Bupati kepada VOC tidak disertai dengan adanya biaya oprasional yang memadai, sehingga perlu mendayagunakan asset kabupaten yang dimiliki.
Tanah persewaan yang laku sewa bukan berada didaerah kosong yang jauh dari perkampungan. Para pemodal swasta tidak tertarik menyewa tanah-tanah yang tidak berpenduduk. Alasan ekonomis tentunya terkait dengan masalah tenaga kerja dan posisi tanah-tanah tersebut. Berdasarkan keinginan dari para penyewa, para pemilik modal dari Eropa dan warga keturunan Timur Asing, lebih memilih tanah-tanah persewaan yang berada didesa-desa yang telah berpenghuni.
Desakan kebutuhan untuk membiayai oprasional pemerintahan, para Bupati menyetujui lokasi tanah-tanah persewaan sesuai kemauan para pemodal. Pajak-pajak dari rakyat yang biasa dipungut oleh para Bupati juga menjadi bagian dari persewaan dan beralih ka pungutnya kepada para penywa. Masalahnya menjadi rumit ketika beban pajak dikenakan sagat memberatkan rakyat. Disisi lain secara hukum para Bupati tidak dapat mengontrol pengenaan biaya sewa kepada rakyatnya, karena semuanya telah menjadi hak penyewa.
Hal yang berkaitkan dengan masalah ini adalah kewajiban menanam komoditi sesuai dengan keinginan para tuan tanah. Seluruh tanah persewaan di wilayah Cianjur pada umumnya di wajibkan menanam kopi (di wilayah lain tanaman nila dan tebu), bahkan telah dimulai sistim kerja paksa (rodi).
Perlawanan rakyat terjadi ketika beban hidup sudah sangat memberatkan. Disisi lain para pejabat pribumi umumnya lebih senang bergaul dengan Belanda dan menjadi abdinya, lebih menikmati gaya-gaya feodal. Pada masa ini ‘Tatar Sunda’ memasuki masa kelam dalam perkembangan ekonomi dan budaya rakyat.
Kemarahan rakyat Cianjur di picu pula oleh tindakan Bupati Wiratanu II yang sudah mengakui VOC dan menjadi kawulanya. Penundukan ini sebagai warisan dari Bupati sebelumnya, Wiratanu I menganggap Kompeni sebagai protector dan mitra penting dari Mataram. Ketika itu Mataram sedang menguasai tatar sunda. Bara ini kemudian menjadi api ketika seorang menak menyalakan lentera perlawanan. Itulah Raden Alit.
Perlawanan Raden Alit
Raden Alit melarang rakyat Jampang untuk memanen kopi yang telah masuk masa panen, bahkan ia memerintahkan untuk merusak tanaman kopi. Untuk mengamankan kepentingan Kompeni Belanda merencakan mengirimkan pasukannya ketempat peristiwa. Namun sebelum berangkat kelokasi, Tanuwijaya, kepala Kampung Baru Bogor mengirimkan berita bahwa Raden Alit telah meninggal dunia. Di balik itu Tanuwijaya mengirim berita kepada Raden Alit tentang adanya rencana Belanda untuk menyerang Jampang, sehinga dengan segera Raden Alit memboyong semua warganya, berjumlah 1.354 jiwa, untuk meninggalkan Jampang. Serangan itu pun diurungkan VOC.
Mungkin berdasarkan penelitian intelijen VOC diketahui, bahwa Raden Alit belum meninggal. VOC segera menyerbu Jampang. Namun pasukan Raden Alit telah lebih dahulu memindahkan penduduk Jampang ke daerah Bayabang, di tepi Kali Citarum. Sayang jauhnya daerah baru itu sangat jauh, hanya sebagian yang bisa dipindahkan, karena ancaman kelaparan dan kelelahan. Sementara pasukan VOC di Jampang mendapatkan tempat kosong.
Pasca penyerangan tersebut Raden Alit seolah-olah ditelan bumi. VOC memperkirakan pemberontakan Raden Alit telah berakhir. Namun Kompeni di kejutkan dengan serangan pasukan Raden Alit di Priangan Timur, seperti di Galuh, Imbanagara dan Kawasen. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata pada tahun 1704 Raden Alit memindahkan markas pasukannya ke muara Cintaduy.
Untuk mencegah dan menangkap Raden Alit, Kompeni Belanda mengirimkan pasukan ke Ciamis, namun mereka menemukan daerah yang kosong, karena Raden Alit telah memindahkan pasukannya kembali ke Daerah Jampang. Demikian pula ketika menyerang Jampang, ternyata pasukan Raden Alit sudah tidak ada lagi, bahkan ia telah menyerang daerah sekitar Batavia. Kondisi ini sangat membingungkan Belanda.
Epos perlawanan Raden Alit sejaman dengan lalampahan Tanuwijaya, yang banyak memberikan bantuan untuk perjuangan Raden Alit. Padahal ketika itu Tanuwijaya sudah berpangkat Letnan Belanda dan dijadikan sebagai penguasai Bogor Baru. Tanuwijaya yang dianggap anak emas Belanda tersebut telah beberapa kali menyesatkan Belanda dalam upayanya menangkap Raden Alit. Seperti ketika merencanakan penyerangan ke daerah Jampang. Tanuwijaya menginformasikan kepada Belanda, bahwa Raden Alit telah meninggal terkena wabah penyakit. Namun dalam waktu yang sama ia pun mengirimkan berita kepada Raden Alit, tentang rencana Kompeni menyerang Raden Alit di Jampang. Tentunya tindakan yang dilakukan Tanuwijaya membutuhkan keberanian. Namun tidak heran jika mengetahui, bahwa Tanuwijaya masih ‘Teureuh Pajajaran’ yang memiliki kepentingan untuk memerdekakan tatar pasundan.
Dalam cerita lain memang ada kesan Tanuwijaya adalah antek Belanda, seperti di abadikan dalam lagu rakyat tentang ayang-ayang gung. sebagai berikut :
Ayang-ayang gung
Gung goong na rame
Menak kang Mas Tanu
Nu jadi wadana
Naha maneh kitu
Tukang olo-olo
Loba haru biru
Rucah jeung kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagorengan
Nganteur Kang Jeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong.
Lagu itu sangat bertolak belakangan dengan catatan sejarah. Terutama ketika diketahui bahwa Tanuwijaya dibuang Belanda ke Tanjung Harapan. Tentunya sebagai konsekwensi dari pembangkangannya kepada Belanda.
Kisah selanjutnya tentang Raden Alit terjadi pada tahun 1705. Pasukan Raden Alit diketahui telah berada di Bogor dan menyerang posisi-posisi Belanda, kemudian menghilang tak diketahui rimbanya. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga menimbulkan kecurigaan Belanda. Hingga akhirnya berdasarkan laporan intelejen Belanda diketahui, bahwa ada kerjasama antara Raden Alit dengan Tanuwijaya. Langkah berikutnya tentu Belanda ‘mengamankan Tanuwijaya’. Ia menagkap Tanuwijaya dan dibuang ke Tanjung Harapan. Namun Tanuwijaya tak kunjung mau menceritakan kepada Belanda tentang posisi Raden Alit.
Penangkapan Tanuwijaya tidak menyurutkan epos perlawanan Raden Alit. Pada bulan maret 1705 pasukan Raden Alit muncul di Sumedang Selatan dan menyerang posisi-posisi strategis Belanda. Pasukan Raden Alit berhasil membunuh pasukan Belanda yang melakukan pengejaran.
Kegagalan Intelejen Belanda dalam mendeteksi keberadaan pasukan raden Alit sangat mengkhawatirkan posisinya. Dengan politik adu dombanya Belanda mengadakan Sayembara, : Barang siapa yang mampu menangkap Raden Alit, hidup atau mati maka akan dihadiahi 300 ringgit. Namun rakyat lebih bersimpati kepada Raden Alit ketimbang tergiur hadiah 300 ringgit.
Belanda mengira adanya kerjasama antara Raden Alit dengan para penguasa daerah, seperti pada Tanuwijaya. Untuk menekan para penguasa daerah Belanda mengistruksikan kepada para Bupati untuk menangkap Raden Alit paling lambat enam bulan. Belanda mengancam pula, jika tidak berhasil para Bupati tersebut akan ditangkap dan dikenakan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Raden Alit. Namun tidak satupun Bupati yang mengindahkan instruksi tersebut. Selain segan dan menaruh hormat terhadap Raden Alit merekapun ‘gimir’ melihat keberanian Raden Alit.
Sebagai rasa terima kasih dari Raden Alit dan menyelamatkan posisi para Bupati tersebut, pada tahun 1706 mengalihkan serangannya ke Wilayah Tangerang. Suatu wilayah yang berada dibawah pengawasan langsung Belanda. Namun Belanda hanya menemukan sisa-sisa penyerangan tanpa mengetahu jejak selanjutnya. Akibat serangan ini Belanda berkeyakinan, tidak ada hubungan antara para Bupati di tatar sunda dengan perlawanan Raden Alit.
Dihin pinasti kersaning Hyang Widi, niti wanci ninggang mangsa, hirup – pati – bagja jeung cilaka manusa rasiah Pangeran. Pada tahun 1707 Raden Alit memindahkan wilayah gerilyanya ke Banyumas, pada bulan april tahun yang sama Raden Alit berhasil mengalahkan pasukan Belanda di Banyumas. Kekalahan Raden Alit terjadi pada Juli 1707. Ketika ia menyerang posisi Belanda di Bagelen. Namun pasukan Belanda sudah mencium rencana Raden Alit. Maka pada tangal 12 Juli 1707 Raden Alit Haji Prawatasari tertangkap. Kemudian ia dibawa ke Kartasura ibu kota Mataram. Namun entah kabar selanjutnya, yang jelas Raden Alit tak pernah kembali ke tatar sunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar