Senin, 22 Desember 2008

URANG SASAK RAWAYAN


URANG SASAK RAWAYAN 

Sebelum meletusnya reformasi saya bertemu dengan Pu'un di Bandung dan diceritakannya beberapa masalah yang sedang mereka hadapi. Dan kemarin saya mendapat e-mail gambar-gambar "urang baduy" berikut foto lokasinya hasil copas. Tapi bagus juga dan menimbulkan ide untuk sedikit bercerita tentang "Urang Sunda Asli" ini.

Banyak istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut suatu komunitas masyarakat adat Sunda yang tinggal di di kaki pegunungan Kendeng, seperti “Urang Pajajaran”, “Urang Sunda Buhun” “Urang Sasak Rawayan”, dan “Urang Baduy, namun sebutan “Baduy” paling sering digunakan untuk komunitas ini. Istilah Pertama kali disebutkan oleh para peneliti Belanda, mempersamakan dengan Suku Badawi (Bedouin) Arab yang masih nomaden atau berpindah-pindah. Banyak ragam pemikiran masyarakat kita dalam menafsirkan siapa "Orang Baduy" ini, terutama ketika mempersepsi tentang agama (ageman) mereka. Tak jarang diucapkan secara sinis, seolah melihat masyarakat yang tidak beradab dan tidak beragama. Tapi apapun tanggapan dan persepsi masyarakat kita, Urang Baduy atau Urang Rawayan adalah pemilik asli negara ini, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita.

Disisi lain ada keresahan masyarakat sana tentang status dan daerah pemukimannya yang semakin hari diranjah rame-rame orang kota, dengan alasan untuk memodernkan suku Baduy. Pada waktu itu saya ada di Bandung, pernah kedatangan seorang pu'un dari Baduy Dalam. Pu'un menceritakan bagaimana masyarakat kota "ngaranjah Leuweung Larangan" mereka. Saya hanya sempat mengantar mereka kerumah ULI Sigar Rusadi yang sangat rajin dengan Pasukan Garuda Nusantara-nya melakukan reboisasi si daerah Baduy.



Hebatnya, aparat malah mendiamkan dan menangguk keuntungan dari ranjahan "pembalakan hutan" tersebut. Pu'un hanya ingin meminta bantuan saya agar bisa menyuarakan ke Menteri Lingkungan Hidup, karena daerah tersebut termasuk Wilayah Cagar Alam. Namun sampai sekarang tak pernah ada penyelesaian serius dari Pemerintahan. Termasuk tentang perusakan baduy yang makin meluas. Bahkan kegiatan didaerah tersebut saat ini telah berkembang, dari alasan untuk mengangkat derajat Urang Baduy sampai ada team penyebar

an agama, namun semuanya menurut Pu'un hanya mencari uang dari keberadaan Urang Baduy.




Perkumbuhan

Jika diteliti lebih dalam lagi, memang ada semacam komunitas yang hampir mirip dengan Urang Baduy, seperti Urang Baduy Luar dan Komunitasnya Abah Anom dari Kampung Ciptarasa – Ciptagelar. Komunitas ini tidak sekeras Baduy Dalam dalam cara mempertahankan adat dan tradisinya, bahkan yang agak longgar menerima budaya dari luar komunitasnya. Urang Baduy luar cenderung menerima adat Baduy Dalam, karena mereka berasal dari Baduy Dalam, namun keberadaanya ada juga yang dianggap melanggar adat sehingga perlu dikeluarkan dari Baduy Dalam. Urang Baduy luar sesekali menerima sweeping dari Baduy Dalam, terutama jika urang luar ini dianggapterlalu jauh menyimpang dari Tradisi Baduy Dalam, seperti piring tidak boleh berwarana, dll-nya.

Kelompok Urang Baduy pada umumnya terdiri dari tiga komunitas, yakni Baduy Dalam , Baduy Luar dan Baduy Dangka. Baduy Dalam atau kelompok “tangtu” adalah kelompok yang paling ketat mengikuti adat. Mereka berpakaian putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok Baduy Luar disebut juga masayarakat “panamping”. Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Sedangkan “Baduy Dangka” tinggal diluar wilayah paling luar dari Baduy Luar. Fungsi dari masing-masing komunitas diyakini sebagai “papancen”, yaitu Baduy Luar menjaga dan membantu “tapa” (semedi) Urang Baduy Dalam. Sedangkan Urang Baduy Dangka bertugas semacam penyangga pengaruh dari luar.

Bertapa yang dimaksudkan bukan sebagaimana “tapa” yang kita kenal saat ini, yaiktu berpuasa makan, minum atau melek, namun menurut mereka, tapa yang benar itu adalah harus menjaga seluruh alam, meneguhkan, menetapkan cara penggunaan tugasnya, disamping itu dilarang melakukan pengrusakan dan merubah “titipan”, seperti kalestarian alam. Maka dari itu di Baduy Baduy Dalam dilarang membuat rumah menggunakan paku dan tidak boleh meratakan tanah, semua harus alami. Pengisi rumah dilarang memakai perhiasan emas dan dilarang menyalakan lampu minyak tanah. Sebab minyak tanah berasal dari alam dan cara menambangnya merusak alam dan lingkungan. Namun gunakanlah lampu berbahan baker minyak picung (sejenis buah-buahan) atau minyak kelapa. Mata pencaharian Urang Baduy yaitu “ngahuma”, namun tanahnya tida boleh dicangkul,

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy di Kanekes adalah "puun" yang bertempat tinggal di tiga kampung Baduy Dalam, berdasarkan pada kemampuannya, tidak dibatas waktu (umur atau periode masa kerja). Mereka menerima jabatan tersebut turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya.

Asal Mula

Berdasarkan keterangan Pu'un mereka mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya mempunyai tugas untuk menjaga adat - harmoni dunia. Namun sejarah ini diperoleh dari cara tutur tinular, tanpa adanya peninggalan-peninggalan tertulis yang sangat diyakini kesahihannya oleh para peneliti.

Pendapat asal mula Urang Baduy menurut Urang Baduy asli berbeda dengan pendapat ahli sejarah. Para ahli sejarah banyak menggunakan pendapatnya rujukan dari prasasti dan catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok. Selain dari catatan tersebut sering juga diambil dari catatan budaya (cerita rakyat) di Tatar Sunda, namun catatan ini sangat sedikit sehingga sering menimbulkan kontradiksi dengan cerita yang berasal dari Urang Baduy” sendiri.

Dilihat dari perjalanan budaya Urang Budaya tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan masyarakat Sunda yang pernah berpusat di Pakuan Pajajaran (Bogor). Ada sebagian ahli sejarah yang menyebutkan bahwa Urang Baduy adalah penduduk setempat yang daerahnya dijadikan kawasan suci (mandala) oleh Raja Rakeyan Darmasiksa. Jika dilihat dari Carita Parahyangan, Rakeyan Darmasiksa memerintah selama 150 tahun, tetapi menurut Naskah-naskah Wangsakerta disebutkan selama 122 tahun (1097 – 1219 Saka) atau 1175 s/d 1297 Masehi.

Ada juga yang mengaitkan asal mula Urang Baduy dengan sejarah perdagangan di Banten. Konon kabar Urang Baduy adalah tentara kerajaan Sunda yang sangat terlatih yang ditugaskan untuk menjaga keamanan wilayah tersebut. pada waktu itu sungai Ciujung dapat dilayari dan dijadikan wilayah perdagangan. Berbeda dengan pendapat Van Tricht, pernah melakukan riset pada tahun 1928, menurutnya Urang Baduy penduduk asli daerah tersebut yang diberikan tugas untuk menjaga tradisi luar, namun mereka menolak jika disebut berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran.


Ageman

Di sekolah yang tidak mempelajarai masyarakat Baduy secara spesifik pada umumnya menyebutkan Urang Baduy beragama Hindu, bahkan ada juga yang menyebutkan agama Budha. Memang pendapat ini tidak dapat disalahkan jika mengambil alur cerita bahwa hancurnya Pajajaran karena dikalahkan pasukan Islam yang bertujuan mengislamkannya. Sekalipun demikian memang tidak dapat dipungkiri jika memang ada pengaruh dari agama-agama dari luar Sunda, mengingat banyak raja-raja pada waktu itu yang menganut agama Hindu atau Budha. Namun pertanyaannya : apakah agama resmi negara harus pasti dianut masyaraktnya ?.


Urang Baduy menyebut agemannya Sunda Wiwitan. Sedangkan prinsip hidup yang harus dilakukan sehari-hari, yaitu : pondok teu meunang disambung, lojor teu meunang dipotong (pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong). Kehidupan Urang Baduy diyakini titipan dari Nabi Adam (Tunggal) yang merek sebut juga Wiwitan (asal muasal) yang harus dijaga sampai kapanpun. Urang Baduy memiliki komitmen untuk mendirikan, membangun dan meneguhkan titipan dari wiwitan yang diperintahkan Adam Tunggal. Namun mereka juga meyakini perlu adanya bantuan dari pihak pemerintahan.

Mengenai wiwitan yang perlu dipegang teguh, yaitu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” perlu juga disertai dengan perilaku - Mipit kudu amit - Ngala kudu menta - Ngagedag kudu bewara - Ngali cikur kudu matur - Ulah gorah, ulah linyok (bohong) - Ngadek kudu sacekna (nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun) - Ulah sirik, ulah pidik - Ulah ngarusak bangsa jeung nagara - Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak.

Bagi saya dengan keteguhan Urang Baduy dalam menjaga tradisi dan adat leluhur ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Hindu, Budha dan Islam. Dengan tidak adanya strata sosial, benda yang mereka sembah sebagai perantara Tuhan dan meyakini Gusti Nu Maha Suci atau tuhan yang maha suci meneguhkan bahwa masyarakat Baduy adalah monoteisme. Tetapi saya pun mengakui tidak adanya bukti tulisan, sehingga para peneliti sejarah sering salah mengklasifikasikan ageman dan tradisi Urang Baduy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar