WAHDATUL WUJUD
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu shalat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Tentu saja hal-hal tersebut di atas sangat bertentangan dengan syariat islam, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
Dalam dunia tasawuf, sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah. Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al Kahfi tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh Sunan Ampel kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut. Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda pendapat.
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum Syi'ah Isma'iliyah pada masa Al Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka juga dianggap pemberontak dan dianggap musuh oleh raja dan para ulama. Peperangan yang terjadi tidaklah dari para ulama, tetapi oleh Raja yang menganggap mereka adalah pemberontak dan musuh politik. Al Hallaj yang hidup di masa itu, dia mengucapkan kata yang sangat menggemparkan: Ana Al-Haqq berarti Akulah kebenaran. Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi'ah. Hal ini juga berarti permasalahan yang timbul dari perselisihan antara ilmu syariat, ilmu ma'rifat, dan kekuasaan atau politik. Semua yang terjadi adalah karena kesalahan pemahaman. Terbunuhnya Al Hallaj bukan karena ucapannya tetapi karena politik.Tetapi merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep Wahdatul Wujud (Ana Al-Haqq) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya. Selain itu, Al Haqq merupakan sifat-sifat Allah.
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui kesulitan untuk diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang menerimanya.
Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Wahdatul_Wujud
Rahasia di Balik Materi
Tidak Sama Dengan Wahdatul Wujud
HARUN YAHYA
Sebuah pokok bahasan yang dipaparkan dalam buku The Evolution Deceit (Keruntuhan Teori Evolusi), bab “The Real Essence of Matter” ("Hakikat Materi yang Sesungguhnya"), juga dalam buku Matter: The Other Name for Illusion (Materi: Nama Lain dari Ilusi); Idealism, The Philosophy of the Matrix and the True Nature of Matter (Idealisme, Filsafat Matriks, dan Sifat-Dasar Materi yang Sebenarnya), Eternity Has Already Begun (Keabadian Telah Dimulai); Timelessness and the Reality of Fate (Ketiadaan Waktu dan Hakikat Takdir) and Knowing the Truth (Memahami Kebenaran) telah dipermasalahkan oleh sejumlah orang. Disebabkan salah memahami inti pokok bahasan tersebut, orang-orang ini mengatakan bahwa apa yang diuraikan dalam rahasia di balik materi adalah sama dengan ajaran Wahdatul Wujud.
Izinkan kami menyatakan di awal bahwa penulis buku ini adalah seorang yang beriman dan memegang teguh ajaran Ahlus Sunnah dan tidak mendukung pandangan Wahdatul Wujud.
Akan tetapi, patut diingat bahwa Wahdatul Wujud pernah didukung oleh sejumlah ulama Islam terkemuka termasuk Muhyiddin Ibnu 'Arabi. Adalah benar bahwa banyak ulama Islam terkemuka yang menjelaskan gagasan tentang Wahdatul Wujud di masa lampau melakukannya dengan menggunakan sejumlah pokok bahasan yang terdapat dalam buku-buku penulis. Namun, apa yang diuraikan dalam buku-buku tersebut tidaklah sama dengan Wahdatul Wujud.
Sebagian dari mereka yang mendukung pandangan Wahdatul Wujud tenggelam dalam sejumlah pandangan keliru dan membuat sejumlah pernyataan yang bertentangan dengan Al Qur'an serta ajaran Ahlus Sunnah. Misalnya, mereka sama sekali menolak penciptaan oleh Allah. Namun, ketika pokok bahasan rahasia di balik materi dikemukakan, tidak ada sama sekali pernyataan serupa. Bab ini menjelaskan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan wujud asli segala sesuatu ini terlihat olehNya sedangkan manusia hanya melihat bayangan atau penampakan segala sesuatu ini yang terbentuk dalam otak mereka.
Gunung, dataran, bunga, manusia, lautan -- singkatnya segala sesuatu yang kita saksikan dan segala sesuatu yang Allah beritakan kepada kita dalam Al Qur'an sebagai wujud yang ada dan yang Dia ciptakan dari ketiadaan, adalah diciptakan dan benar-benar ada. Akan tetapi, manusia tidak dapat melihat, merasakan atau mendengarkan sifat-dasar hakiki dari segala ciptaan ini melalui indra mereka. Apa yang mereka lihat dan rasakan hanyalah salinan dari apa yang muncul dalam otak mereka. Ini adalah fakta ilmiah yang diajarkan di seluruh sekolah kedokteran. Hal yang sama berlaku pula dengan tulisan yang kini sedang Anda baca; Anda tidak dapat melihat atau menyentuh sifat-dasar atau wujud sesungguhnya dari tulisan ini. Cahaya yang datang dari tulisan asli diubah oleh sejumlah sel-sel pada mata Anda menjadi sinyal-sinyal listrik, yang kemudian dibawa dan diteruskan ke pusat penglihatan di bagian belakang otak Anda. Di sinilah penampakan tulisan ini terbentuk. Dengan kata lain, Anda tidak sedang membaca sebuah tulisan di depan mata Anda melalui mata Anda; kenyataan yang sesungguhnya adalah tulisan ini terbentuk di dalam pusat penglihatan di bagian belakang otak Anda. Tulisan yang sedang Anda baca sekarang adalah "salinan tulisan" di dalam otak Anda. Tulisan yang asli terlihat oleh Allah.
Kesimpulannya, fakta bahwa materi (benda) adalah sebuah ilusi (bayangan/penampakan) yang terbentuk di dalam otak kita bukan berarti "menolak" keberadaan materi, akan tetapi justru memberi kita pengetahuan tentang sifat-dasar sesungguhnya tentang materi: bahwa tak seorang pun mampu berhubungan langsung dengan wujud asli materi.
Fakta ini dipaparkan dalam buku Idealism, The Philosophy of the Matrix, and the True Nature of Matter (Idealisme, Filsafat Matriks, dan Sifat-Dasar Materi yang Sebenarnya) sebagaimana berikut:
TERDAPAT MATERI (BENDA) DI LUAR KITA, TAPI KITA TIDAK DAPAT MENGGAPAINYA
… [M]engatakan bahwa materi adalah sebuah ilusi (bayangan) bukan berarti bahwa materi tidak ada. Justru sebaliknya: apakah kita merasakannya atau tidak, dunia fisik benar-benar ada. Akan tetapi kita menyaksikannya sebagai sebuah salinan di dalam otak kita, dengan kata lain, sebagai sebuah penafsiran dari indra kita. Karenanya, bagi kita, dunia fisik dari materi adalah sebuah ilusi (bayangan).
Materi di luar terlihat tak hanya oleh kita, tapi oleh makhluk lain pula. Para malaikat Allah yang ditugaskan sebagai pengawas menyaksikan dunia ini juga:
(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaaf, 50: 17-18)
Yang terpenting, Allah menyaksikan segala sesuatu. Dia menciptakan dunia ini dengan seluruh rinciannya dan melihatnya dalam berbagai wujudnya. Sebagaimana Dia beritahukan kepada kita dalam Al Qur'an:
…Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah, 2: 233)
Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu sekalian. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hambaNya". (QS Al Israa', 17: 96)
Tidak boleh dilupakan bahwa Allah menyimpan catatan segala sesuatu dalam kitab yang disebut Lauh Mahfuzh (Kitab Yang Terpelihara). Sekalipun jika kita tidak melihat segala sesuatu, semua itu ada dalam Lauh Mahfuzh. Allah mewahyukan bahwa Dia menyimpan catatan segala sesuatu dalam "Induk Al Kitab" yang dinamakan Lauh Mahfuzh dalam ayat-ayat berikut:
Dan sesungguhnya Al Qur'an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah. (QS. Az Zukhruf, 43: 4)
… dan pada sisi Kami pun ada kitab yang memelihara (mencatat). (QS. Qaaf, 50: 4)
Tiada sesuatu pun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. An Naml, 27: 75)
Penelitian Ilmiah Terhadap Sifat Materi
yang Sesungguhnya
HARUN YAHYA
Seluruh informasi yang kita miliki tentang dunia di mana kita hidup disampaikan kepada kita melalui panca indra kita. Dunia yang kita ketahui, terdiri dari apa yang dilihat mata kita, yang disentuh tangan kita, yang dicium hidung kita, yang dirasakan lidah kita, dan yang didengar telinga kita. Tidak pernah terpikirkan oleh kita bahwa dunia "luar" tersebut bisa jadi berbeda dari apa yang ditampilkan oleh indra kita dikarenakan selama ini kita senantiasa bergantung hanya pada panca indra tersebut sejak saat kita dilahirkan.
Akan tetapi, penelitian ilmiah modern di berbagai bidang mengarahkan kita pada suatu pemahaman yang sama sekali berbeda, sehingga memunculkan keraguan besar terhadap panca indra kita dan dunia yang kita kenal melalui panca indra ini. Titik awal pemahaman ini adalah gagasan bahwa apa pun yang kita rasakan sebagai "dunia luar" hanyalah tanggapan yang dibentuk di dalam otak kita oleh sinyal-sinyal listrik. Warna merah apel, sifat keras kayu, ibu dan ayah Anda, keluarga Anda, dan segala sesuatu yang Anda miliki—rumah Anda, pekerjaan Anda,—dan bahkan baris-baris tulisan ini, hanya tersusun dari sinyal-sinyal listrik.
Dalam gambar ini, kita melihat seseorang yang merasakan dirinya sedang bermain ski di atas pegunungan, padahal sesungguhnya tidak terdapat ski ataupun salju. Perasaan yang dialaminya ini adalah tiruan yang sengaja dibuat.
Perkembangan teknologi masa kini telah memungkinkan manusia untuk merasakan suatu pengalaman yang nyata tanpa perlu adanya "dunia luar" atau "materi." Kemajuan sangat besar dalam teknologi virtual reality [kenyataan maya] telah menghasilkan sejumlah bukti-bukti yang secara khusus sangat meyakinkan.
Secara sederhana, virtual reality [kenyataan maya] adalah pemunculan gambar-gambar tiga dimensi yang dibangkitkan komputer, yang terlihat nyata dengan bantuan sejumlah peralatan tertentu. Teknologi ini, yang dapat diterapkan di berbagai bidang, dikenal sebagai"virtual reality" [kenyataan maya], "virtual world" [dunia maya], atau "virtual environment" [lingkungan maya]. Ciri terpentingnya adalah dengan menggunakan perangkat yang dirancang untuk tujuan tertentu, teknologi ini mampu menjadikan orang yang merasakan dunia maya tersebut terkecoh dan yakin bahwa yang dialaminya adalah nyata. Sejak beberapa tahun lalu, kata "immersive'' [tenggelam] telah mulai digunakan di depan istilah "virtual reality" [kenyataan maya], yang mencerminkan keadaan bahwa mereka yang menyaksikan kenyataan maya benar-benar tenggelam dalam apa yang sedang mereka alami.
Penjelasan dari sistem dunia maya ini didasarkan pada panca indra manusia. Misalnya, ketika pengguna sistem dunia maya memakai sarung tangan khusus, perangkat di dalam sarung tangan tersebut mengalirkan sinyal-sinyal ke ujung-ujung jari. Ketika sinyal-sinyal ini diteruskan ke dan ditafsirkan oleh otak, pengguna tersebut merasakan bahwa dirinya sedang menyentuh kain sutra atau vas bunga yang penuh hiasan, lengkap dengan seluruh pernak pernik pada permukaannya—meskipun benda semacam itu pada kenyataannya tidak ada di sekitarnya.
Salah satu penerapan terpenting dari dunia maya adalah di bidang kedokteran. Universitas Michigan telah mengembangkan suatu teknologi untuk melatih para pembantu dokter—khususnya para karyawan di ruang gawat darurat—untuk melatih ketrampilan mereka di sebuah laboratorium dunia maya. Di sini, gambaran lingkungan sekitar diciptakan dengan memunculkan rincian seluk beluk sebuah ruang operasi pada lantai, dinding, dan langit-langit dari sebuah ruangan. "Gambar" ini disempurnakan dengan memunculkan sebuah meja operasi, lengkap dengan pasien yang akan dioperasi di atasnya, di bagian tengah ruangan. Para calon ahli bedah memakai kacamata 3-Dimensi mereka dan mulai melakukan operasi "maya" mereka. Dan siapa pun yang melihat gambar-gambar yang dipantulkan pada kacamata 3-Dimensi tidak dapat membedakan antara ruangan operasi sungguhan dengan ruangan maya ini.
Apakah Kita Hidup di Dalam Dunia Holografis?
New Scientist adalah salah satu majalah paling terkenal. Bahasan utama edisi 27 Maret 2002 majalah tersebut ditulis oleh ilmuwan J.R. Minkel, dengan judul "Hollow Universe." [Alam Semesta Kosong] "Why we all live in a hologram" [Mengapa kita semua hidup di dalam sebuah hologram], demikian bunyi judul utama sampul depan majalah itu. Ringkasnya, artikel tersebut menyatakan bahwa kita merasakan dunia ini sebagai sebuah paket cahaya. Oleh karena itu, adalah keliru jika menganggap materi sebagai wujud sesungguhnya yang memiliki keberadaan mutlak berdasarkan pemahaman yang kita dapatkan melalui panca indra. Minkel membuat pengakuan:
Anda memegang sebuah majalah. [Majalah] itu terasa padat; memiliki semacam keberadaan mandiri dan terpisah di dalam ruang. Sama halnya dengan benda-benda di sekeliling Anda—misalnya secangkir kopi, sebuah komputer. Mereka semua tampak nyata dan ada di luar sana di suatu tempat. Tapi semua itu adalah penampakan maya.
Artikel Minkel menyatakan bahwa sejumlalh ilmuwan menamakan gagasan ini sebagai "teori segalanya," dan para ilmuwan itu menganggap teori ini sebagai tahap pertama dalam menjelaskan sifat sesungguhnya dari alam semesta. Artikel majalah ini menjelaskan secara ilmiah bahwa kita merasakan keberadaan alam semesta sebagai sebuah bayangan atau penampakan di dalam otak kita dan karenanya kita tidak berhubungan langsung dengan materi itu sendiri.
Gangguan Sistem Pengindraan Dipulihkan dengan Sinyal Tiruan
Dalam edisi 11 Maret 2002, majalah Time menerbitkan sebuah tulisan berjudul "The Body Electric" [Listrik Tubuh], yang menyingkap perkembangan ilmiah penting. Artikel itu melaporkan, sejumlah ilmuwan menyatukan chip komputer dengan sistem saraf sejumlah pasien untuk memperbaiki kerusakan tetap pada indra mereka.
Dengan sistem baru yang mereka kembangkan, para peneliti di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang bertujuan memberikan alat penglihatan pada penderita kebutaan dan membantu sang pasien pulih kembali. Mereka telah mencapai separuh keberhasilan dengan sistem baru ini dengan mencangkokkan elektroda-elektroda di daerah terkait pada tubuh pasien, dan chip silikon digunakan untuk menghubungkan tangan dan kaki tiruan dengan jaringan hidup.
Akibat kecelakaan, seorang pasien asal Denmark bernama Brian Holgersen mengalami kelumpuhan dari leher ke bawah. Ia hanya dapat melakukan gerakan sangat terbatas pada kedua pundaknya, lengan kiri dan tangan kiri. Sebagaimana diketahui, kelumpuhan semacam ini disebabkan oleh kerusakan saraf tulang belakang pada leher dan punggung. Saraf-sarafnya mengalami kerusakan atau penyumbatan, sehingga menghentikan lalu lintas saraf antara otak dan otot, dan memutuskan komunikasi antara saraf-saraf yang meneruskan sinyal-sinyal yang mengalir bolak balik dari tubuh ke otak. Terhadap pasien ini, yang akan dilakukan adalah memulihkan bagian yang rusak pada saraf tulang belakang dengan pencangkokkan perangkat khusus, sehingga memungkinkan sinyal-sinyal dari otak mengembalikan sedikit kemampuan gerak pada lengan dan kaki.
Mereka menggunakan sebuah sistem yang dirancang untuk mengembalikan kemampuan gerak dasar tangan kiri, seperti menggenggam, memegang, dan melepaskan benda-benda. Dalam sebuah operasi, delapan elektroda lentur seukuran uang logam ditanam ke dalam otot-otot yang berperan dalam gerakan tersebut, yakni pada lengan kiri bagian atas, lengan bawah dan bahu pasien. Kemudian, kabel sangat halus menghubungkan elektroda-elektroda ini dengan sebuah stimulator [alat pembangkit rangsangan]—semacam pacemaker [alat pembangkit dan pengatur timbulnya rangsangan] untuk sistem saraf— yang ditanam pada dadanya. Alat pembangkit rangsangan ini kemudian dihubungkan dengan sebuah perangkat pengindra posisi yang direkatkan pada bahu kanan Holgersen—di mana ia masih dapat mengendalikan geraknya hingga batas tertentu.
Kini, ketika sang pasien ingin mengambil gelas, ia menggerakkan bahu kanannya ke atas. Gerakan ini mengirimkan sebuah sinyal listrik dari perangkat pengindra posisi, yang terpasang di bawah bajunya, ke alat pembangkit rangsangan di dalam dadanya, yang lallu memperkuat sinyal tersebut dan meneruskannya ke otot-otot terkait pada lengan dan tangannya. Sebagai tanggapan, otot-otot ini menegang, dan tangan kirinya pun menutup. Ketika ia hendak melepaskan gelas tersebut, ia menggerakkan bahu kanannya ke bawah, sehingga tangan kirinya membuka.
Universitas Louvain di Brussels menggunakan penerapan teknologi serupa terkait dengan penglihatan. Sel-sel batang dan kerucut seorang pasien mengalami kerusakan, sehingga menyebabkan retina menjadi tidak peka terhadap cahaya. Akibatnya, ia menjadi buta. Sebuah elektroda yang ditanam di sekeliling saraf matanya membantunya mendapatkan kembali sebagian kemampuan melihatnya.
Dalam kasus pasien ini, elektroda tersebut dihubungkan dengan alat pembangkit rangsangan yang ditempatkan di dalam sebuah rongga di dalam tempurung kepalanya. Sebuah kamera video, yang terpasang pada topi, meneruskan gambar yang diterimanya ke alat pembangkit rangsangan dalam bentuk sinyal-sinyal radio, tanpa melewati sel-sel batang dan kerucut yang rusak, dan mengirimkan sinyal-sinyal listrik langsung menuju ke saraf mata. Korteks visual pada otak menggabungkan kembali sinyal-sinyal ini untuk membentuk sebuah gambar. Apa yang dialami pasien dapat disamakan dengan melihat sebuah tiruan kecil papan iklan di gelanggang olah raga. Meskipun demikian mutu yang didapatkan sudah cukup untuk membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan.
Sistem ini disebut "Microsystem-based Visual Prosthesis" [Organ Penglihatan Buatan Berdasarkan Sistem Mikro], sebuah perangkat yang ditanam untuk selamanya di dalam kepala pasien. Namun untuk menjadikan semuanya berfungsi, sang pasien harus pergi ke ruangan yang dirancang khusus di Universitas Louvain dan memakai sesuatu yang menyerupai topi renang yang rusak. Topi renang ini terbuat dari plastik dengan kamera video biasa yang dipasang di bagian depannya. Semakin besar ukuran pixel yang digunakan untuk membentuk sebuah gambar pada layar, maka semakin besar jumlah rangsangan listriknya; oleh karenanya, semakin baik pula mutu resolusi gambarnya.
Artikel yang sama merujuk pada sebuah pertunjukan menarik oleh seorang artis panggung yang memanfaatkan teknologi serupa:
Dalam sebuah pagelaran di tahun 1998, Stelarc menyambungkan tubuhnya sendiri dengan kabel secara langsung ke Internet. Tubuhnya dihubungkan dengan ujung-ujung elektroda—pada otot ujung bahu, otot bisep, otot penggerak sendi, tendon di belakang lutut dan otot betis—yang mengirimkan denyut listrik lemah, sekadar cukup untuk memicu otot-otot menegang dengan sendirinya. Elektroda-elektroda tersebut dihubungkan dengan sebuah komputer, yang kemudian dihubungkan melalui Internet dengan komputer-komputer di Paris, Helsinki dan Amsterdam. Dengan menekan berbagai bagian dari gambar tiruan tubuh manusia pada layar sentuh, para peserta di tiga tempat tersebut dapat membuat Stelarc melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Teknologi ini, jika ukurannya dapat diperkecil sehingga dapat ditempatkan di dalam tubuh, akan membuka jalan bagi perkembangan menyeluruh di bidang kedokteran. Perkembangan ini memperlihatkan satu kenyataan penting lain: Dunia luar adalah gambar salinan yang kita saksikan di dalam otak kita…
Majalah New Scientist's edisi 27 April 2002 dengan berita utama, "Hollow Universe" dan judul utama, "Why we all live in a hologram."
Artikel terbitan Time tersebut memperlihatkan contoh-contoh nyata tentang bagaimana kita dapat menciptakan pengalaman melihat atau menyentuh sesuatu dengan rangsangan-rangsangan buatan. Bukti paling nyata adalah orang buta yang mampu melihat. Meskipun mata sang pasien tidak berfungsi, ia dapat melihat melalui sinyal-sinyal tiruan yang dibangkitkan.
"The Body Electric," sebuah artikel di majalah Time edisi 11 Maret 2002, memuat bukti yang mengukuhkan bahwa dunia luar adalah gambar salinan di dalam otak kita.
Dapatkah Dunia Maya dari Sejumlah Film Disalin ke Dunia Nyata?
Dalam sebuah artikel berjudul "Life is a sim and then you're deleted" [Hidup adalah sebuah salinan dan kemudian Anda dihapus] yang diterbitkan majalah New Scientist edisi 27 Juli 2002, Michael Brooks menyatakan bahwa kita mungkin saja hidup di dunia maya yang tidak berbeda dengan yang ada dalam film Matrix: "Tidak perlu menunggu kemunculan Matrix 2. Anda bisa jadi sudah berada dalam simulasi komputer raksasa... Sudah pasti Anda berpendapat bahwa film The Matrix adalah khayalan. Tetapi itu hanya karena Anda dibuat untuk berpikiran seperti itu.."
Sang penulis, Brooks, mendukung pandangannya dengan menukil filsuf Nick Bostrom dari Universitas Yale, yang meyakini bahwa film-film Hollywood tersebut jauh lebih mendekati kenyataan daripada apa yang kita sadari. Ia pun melakukan perhitungan bahwa terdapat peluang kemungkinan bahwa kita sedang hidup dalam sebuah dunia tiruan atau maya sebagaimana yang ditayangkan oleh beberapa film.
Kenyataan ilmiah, yang dipahami jauh dengan baik dalam beberapa tahun belakangan, menunjukkan bahwa kita tidak berhubungan atau bersinggungan langsung dengan wujud materi itu sendiri. Hal ini telah menyebabkan manusia untuk merenung secara lebih mendalam. Perkembangan ini, yang seringkali menjadi ilham bagi sejumlah film, menunjukkan bahwa lingkungan maya menciptakan salinan kenyataan yang sedemikian nyata sehingga manusia mampu terkecoh dengan gambar atau bayangan yang tidak nyata ini.
Materialisme, Sebagaimana Filsafat Keliru Lainnya, Telah Runtuh
Filsafat materialisme telah ada sepanjang sejarah. Para penganutnya berpijak pada keberadaan materi yang dianggap mutlak sembari mengingkari keberadaan Tuhan, Yang menciptakan mereka dari ketiadaan dan juga menciptakan bagi mereka alam semesta yang mereka huni. Akan tetapi bukti yang jelas tersebut tidak lagi menyisakan ruang perdebatan. Dengan demikian, materi yang mereka jadikan landasan hidup, pemikiran, kebanggaan dan pengingkaran mereka, telah sirna. Anehnya, melalui penelitian mereka sendiri, para ilmuwan materialis menemukan bahwa segala sesuatu yang mereka saksikan bukanlah materi itu sendiri, melainkan salinan atau gambar yang terbentuk di dalam otak. Dan dengan demikian, mereka sendiri telah meruntuhkan keyakinan materialis mereka.
Abad kedua puluh adalah titik balik dalam sejarah, di mana kebenaran nyata ini akan menyebar di seluruh kalangan manusia, dan materialisme akan terhapuskan dari muka bumi. Sebagian orang, yang berada dalam pengaruh filsafat materialisme, yang meyakini bahwa materi adalah mutlak, kini telah menyadari bahwa mereka sendiri adalah wujud maya, satu-satunya keberadaan mutlak hanyalah Allah, Yang Keberadaan-Nya meliputi segala yang ada. Kenyataan ini dinyatakan dalam salah satu ayat Al Qur'an:
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Aali 'Imraan, 3:18)
WAHDATUL-WUJUD:
SATU PENGAMATAN AWAL TENTANG KEDUDUKANNYA
DALAM AHLIS-SUNNAH WAL-JAMA’AH
OLEH
MUHAMMAD ‘UTHMAN EL-MUHAMMADY
Insya’ Allah dalam nota ini akan dicatitkan beberapa pengamatan penulis ini berkenaan dengan tajuk di atas berdasarkan kepada punca-punca muktabar dalam sistem keilmuan Ahlis-Sunnah wal-Jamaah. Di dalamnya juga akan diberikan pendapatnya dalam hubungan dengan beberapa serangan yang ditujukan kepada “pemandangan” rohaniah yang disebutkan sebagai wahdatul-wujud ini.
Berkenaan dengan Ibn ‘Arabi rd
Sebelum berbicara berkenaan dengan wahdatul-wujud yang biasa dikaitkan dengan nama Ibn ‘Arabi rd maka eloklah dinyatakan beberapa maklumat berkenaan dengan beliau ini. Dalam Kitab Tanbih al-Ghabi fi Takhti’ah Ibn ‘Arabi, Imam Jalalud-Din as-Suyuti rh membuat beberapa kenyataan pada bahagian awalnya berkenaan dengan pendapat para ulama berkenaan dengan beliau ini. Beliau menyatakan bahawa satu golongan beriktikad bahawa ibn ‘Arabi rd adalah seorang wali Allah, dan ini yang benarnya. Dari kalangan mereka itu ialah Taj al-Din Ibn ‘Ata’iLlah as-Sakandari rd, dari kalangan para imam mazhab Maliki, dan Syaikh “Afif al-Din al-Yafi’I dari kalangan imam-imam dalam mazhab Syafi’I. Mereka menyatakan bahawa Ibn ‘Arabi rd adalah ahli ma’rifat.
Ada golongan yang menganggap Ibn ‘Arabi sesat, dijauhkan Allah; mereka terdiri daripada ramai fuqaha dan ada golongan yang merasa syak tentang halnya. Di kalangan mereka ini ialah al-hafiz Dhahabi dalam kitab “al-Mizan”nya.
Syaikh ‘Izz al-Din ibn ‘Abd as-Salam rh ada dua kenyataan tentangnya: ada kenyataan menentangnya, dan ada kenyataan yang menyatakan bahawa Ibn ‘Arabi rd adalah wali qutb. (hlm. 17-18, tahkik ‘Abd ar-Rahman Hassan Mahmud, Kahirah, tanpa tarikh).
Pada beliau cara mengharmoniskan kedua-dua pendapat itu ialah dengan jalan mengambil kira apa yang diisyaratkan oleh Ibn ‘Ata’iLlah as-Sakandari rd dalam “Lata’if al-Minan”, iaitu pada permulaannya beliau mengikuti dasar jalan fuqaha dan mengingkari tasawwuf. Kemudian bila Syaikh ‘Abul-Hasan asy-Syazili rd menunaikan haji dan pulang dan sebelum ia masuk ke rumahnya bertemu dengan Syaikh ‘Izzud-Din dan memberitahu kepada Syaikh ‘Izzud-Din bahawa Nabi s.a.w. memberi salam kepadanya. Maka semenjak masa itu berendah dirilah Syaikh’Izzud-Din dan hadhir dalam majlis Syaikh Abul-Hasan asy-Syadhili dan selepas itu ia memahami perjalanan sufiah. (“Tanbih al-Ghabi” hlm. 19-20).
Tentang Syarafud-Din al-Munawi rh pula bila ia ditanya tentang Ibn ‘Arabi ia berkata bahawa “Senyap tentangnya lebih selamat”. Pada Imam Suyuti inilah sikap yang lebih layak dengan orang yang warak yang takutkan kebinasaan dirinya.
Pada Imam Suyuti sendiri kata putus tentangnya ialah ia beri’tikad beliau itu wali dan haram hukumnya melihat kitab beliau itu kerana sesungguhnya dinakal kata-kata dari Ibn ‘Arabi sendiri: “Kamu adalah golongan yang haram orang lain melihat (membaca) kitab-kitab kami”. Inilah yang sahihnya. Imam Suyuti berpendapat demikian kerana katanya bahawa golongan sufiah itu bersepakat tentang lafaz-lafaz yang mereka istilahkan dalam huraian sufiah mereka dan mereka maksudkan dengan kata-kata itu bukan dengan makna yang biasa diketahui. Maka kalau seseorang itu memaksudkan kata-kata mereka mengikut makna-makna di kalangan ahli ilmu zahir (seperti fiqh misalnya), maka mereka menjadi kafir dan mengkafirkan orang lain. (“Tanbih al-Ghabi” hlm. 20-21).
Imam Suyuti menyatakan: “Adakah orang yang mengkafirkan Ibn ‘Arabi itu tidak takut akan hisab yang buruk terhadap dirinya? Tidakkah ia takut ditanya kepadanya: Adakah sabit pada anda bahawa ia kafir?”
Kalau orang itu berkata: Kitab-kitabnya menunjukkan bahawa ia kafir. Adakah ia merasa aman daripada disoal: Adakah sabit pada anda dengan jalan yang diterima di sisi ahli ilmu dalam menukil akhbar bahawa ia benar-benar menyatakan kalimah-kalimah ini sebenarnya? Dan bahawa yang ia maksudkan ialah maknanya yang dikenali umum itu?
Tentang dua perkara itu beliau menjawabnya secara negatif, kerana memang kedua-duanya tidak boleh disabitkan sebenarnya.
Kemudian katanya bahawa kalau ditakdirkan kitab itu asal daripadanya maka datang pula keperluan mesti dipastikan kalimah demi kalimah ditentukan benar daripadanya, kerana boleh diandaikan atau ditanggungkan, bahawa ada dimasukkan oleh pihak lain ke dalam kitab-kitabnya apa yang bukan asal dari kata-katanya sendiri, dari pihak seteru ataupun orang mulhid.
Kemudian beliau menyebut “Syarah at-tanbih” oleh al-Jili yang penuh dengan perkara-perkara ganjil yang tidak diketahui dalam mazhab, lalu diuzurkan beliau dengan kemungkinan seteru-seteru ada memasukkan ke dalamnya perkara-perkara yang merosakkan kerana hasad terhadapnya.
Dalam nota kaki “tanbih al-Ghabi” (hlm. 23) disebutkan bagaimana dalam “Kasyf az-Zunnun” oleh Hajji Khalifah disebutkan kitab “At-Tanbih” itu banyak syarahnya termasuk antaranya syarah Sa’inu al-Din ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Karim al-Jili tetapi ianya tidak boleh dijadikan tempat berpegang kerana ada bahan-bahan yang dinukil padanya yang merosakkannya yang termasuk ke dalamnya, yang dimasukkan oleh mereka yang hasad kepadanya. Disyarahkan oleh Imam Nawawi dan Ibn Solah.
Maka pada Imam Suyuti orang yang mendakwa Ibn ‘Arabi kafir ia menjadi kafir kerana perkara kafir itu termasuk perkara-perkara yang berkaitan dengan hati yang tidak boleh dilihat melainkan oleh Allah sahaja.
Imam Suyuti memuji sikap seorang dari kalangan sufiah berkata kepada seorang lelaki yang meminta beliau itu membaca syair “Ta’iyah Ibn al-Farid” (syair tasawwuf yang dituduh mengandungi bahan-bahan yang bercanggah dengan syara’), lalu kata beliau: Engkau tahan diri dahulu tentang ini, (kerana) sesiapa yang merasa lapar sebagaimana lapar kaum sufiah itu, dan berjaga malam seperti mereka berjaga malam, ia akan melihat apa yang mereka lihat (dalam pengelaman rohaniah mereka)”.
Maka Imam Suyuti mahu supaya orang yang bertanya dan meminta fatwa tentang Ibn ‘Arabi itu bertaubat dan beristighfar dan merendah diri kepada Allah kerana mengawasi dirinya daripada menyakiti auliya Alah lalu Allah isytihar perang terhadapnya (dan dia binasa. Ini berdasarkan hadith yang bermaksud: “Sesiapa yang memerangi seseorang waliKu maka sesungguhnya Aku isytihar perang terhadapnya…” hadith sahih yang terkenal).
Dalam “Tanbih al-Ghabi” (mulai hlm. 27 dan seterusnya) Imam Suyuti menyebut ramai ulama yang memuji Ibn ‘Arabi seperti Qadhi al-Qudhah Siraj al-Din al-Hindi al-hanafi (men. 773H) seorang daripada imam-imam mazhab Hanafi, qadhi mazhab al-hanafiyah di Diar al-Misriyah, pengarang seperti kitab “Syarah al-Hidayah” dan “Syarah al-‘Aini”, ia amat sangat kasih kepada Ibn Arabi dan Umar ibn al-Farid. Antaranya Ashy-Syaikh Waliyud-Din Muhammad bin Ahmad al-Malwi, seorang daripada ulama mazhab Syafi’I yang arif tentang tafsir, fiqh dan usul al-din dan usul al-fiqh, serta tasawwuf, yang mengarang kitab-kitab tasawwuf mengikut perjalanan Ibn Arabi. Antaranya Abu Zar Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ajami (men. 780H). Hafiz Ibn Hajar berkata dalam “Anba’ al-Ghumar” bahawa beliau mengajar kitab Ibn ‘Arabi.
Antaranya Syaikh Badr al-Din Ahmad bin Syakh Syaraf al-Din Ahmad, bin Fakhr al-Din bin as-Sohib Baha al-Din bin Hanna (men. 788H), dia bersangka baik dengan Ibn ‘Arabi. Dan ia menukil kata-kata dari kitab Ibn ‘Arabi. Demikianlah seterusnya disebut dalam “Tanbih al-Ghabi” itu banyak lagi nama mereka yang bersetuju dengan Ibn ‘Arabi seperti “Syaikh al-Wudhu’ ”, (men. 790H), Syaikh Muhammad at-Tauzri al-Maghribi (men. 800H), Syamsud-Din as-Sufi terkenal sebagai Ibn Najam (men. 801H), Syaikh Najm al-Din al-Bahi (men. 802H), Ismail bin Ibrahim al-Jabarti kemudian az-Zabidi, sukakan kitab Ibn ‘Arabi (men. 806H), Majd al-Din al-Firuzabadi pengarang “al-Qamus”, selain itu al-Firuzabadi ada mengarang kitab “al-Ightibat fi Mu’alajah Ibn al-Khayyat” yang menyanggah kata-kata Ibn al-Khayyat yang dinisbahkannya kepada Ibn ‘Arabi bahawa itu bukan kata-kata Ibn ‘Arabi tetapi yang dimasukkan ke dalam kitab berkenaan.
Imam Suyuti menukil dari kitab “al-Irsyad” karangan al-Yafi’i bahawa pada suatu masa dua syaikh yang arif, bertemu tiap-tiap orang dari dua orang itu saling pandang memandang tanpa berkata apa-apa, kemudian ditanya kepada Ibn ‘Arabi, apa pendapat tuan hamba tentang Syaikh Syihab al-Din al-Suhrawardi? Jawabnya: “Penuh dengan Sunnah nabi dari tanduk sampai ke kaki”. Kemudian ditanya kepada al-Suhrawardi tentang Ibn ‘Arabi; katanya “Lautan hakikat”.
Pada halaman 59 kitab “Tanbih al-Ghabi”, Imam Suyuti menyebut kaedah-kaedah yang digunakan oleh para sufiah bila berhadapan dengan perkara-perkara yang pada lahirnya berlawanan dengan Syara’ dari para auliya.
Pertama, mesti kita tidak mengakui bahawa itu sahih dinisbahkan kepada mereka sehingga ianya sahih dari mereka.
Kedua: selepas sahih perkara itu benar-benar dari mereka tinggal lagi ta’wilannya (supaya selaras dengan Syara’ dan tidak timbul lagi ianya berlawanan dengan Syara’); kalau kita tidak boleh ta’wilkannya maka kita kata: “Mungkin ada ta’wilannya di sisi ahli ilmu yang batin, mereka yang arif bi’Llah”.
Ketiga: (kita anggapkan) itu keluar dari mereka dalam hal “mabuk rohaniah” (sukr), dan masa “ghaibah” - waktu tidak sedarkan diri secara zahir sebagaimana biasa dengan pengesanan pancainderanya - maka orang dalam “mabuk” demikian tidak dipertanggungjawabkan dalam keadaan itu, maka sangka jahat terhadappara auliya itu menunjukkan orang yang berkenaan tidak berada dalam taufiq dari Allah - kita berlindung dari Allah daripada keeadaan tergelincir dan qadha yang tidak baik, dan daripada semua jenis bala.
Dalam bahagian akhir “Tanbih al-Ghabi” Imam al-Suyuti rh menyebut keterangan as-Safadi bagai dalam Kitab Ibn ‘Arabi - “al-Futuhat al-Makkiyyah” dinyatakan aqidah pengarangnya, dilihat beliau dari awal sampai akhirnya “Aqidah asy-Syaikh Abil-Hasan al-Asy’ari” dan di dalamnya tidak ada yang menyalahi pandangan Imam itu.
Dalam kitab “al-‘Abadalah” tahkik dan taqdim ‘Abd al-Qadir Ahmad’Ata. Kahirah 1389/1969.
Para Ulama Yang Membela Ibn ‘Arabi
Pada pendahuluannya dikemukakan banyak maklumat-maklumat yang menunjukkan kebenaran dan ketinggian Ibn ‘Arabi dan fahamannya serta pengalamannya. Antaranya ialah seperti berikut:
Selepas menyebut ada segolongan dari ulama terkemudian dari mazhab Hanbali yang menuduh Ibn Arabi zindik, kafir, disebutnya mereka yang memberi pembelaan kepada Syaikh Akbar itu rd. Antaranya:
1. Imam Suyuti dalam kitabnya “Bara’ah Ibn ‘Arabi min Ta’n al-Ghabi”.
2. Syaikh Solah al-Din al-‘Usysyqadi, dalam kitabnya “Miftah al-Wujud al-Asyhar fi Taujih Kalam Syaikh al-Akbar”.
3. Asy-Syaikh ‘Umar Affandi, dalam kitabnya “al-Fath al-Mubin fi Radd I’tiradh al-Mu’taridhin ‘ala Muhyi’d-Din”.
4. Mulla Katib Jelebi, “Mizan al-Haqq fi Ikhtiyar al-Ahaqq”.
5. Asy-Syaikh ‘Abd al-Wahhab asy-Sya’rani, dalam kitabnya “al-Yawaqit wal-Jawahir fi ‘Aqaid al-Akabir”, dan kitabnya “Tanbih al-Aghniya’ ‘ala Qatrah min ‘Ulum al-Auliya’”.
6. Asy-Syaikh Sowi ‘AbduLlah Affandi pensyarah “al-Mathnawi” (oleh Jalalud-Din Rumi), dalam kitabnya “Mir’at al-Asfiya’"
7. Asy-Syaikh Majd al-Din al-Firuzabadi, pengarang kitab “al-Qamus”, dalam kitabnya “al-Ightibat”.
8. Asy-Syaikh Syihab al-Din bin Hajar al-‘Asqalani, dalam kitab “Al-Fatawal-Hadithiyah”, sebutan tentang penolakan atas orang yang mengingkari asy-Syaikh al-Akbar”, dan dalam kitabnya “al-Intisar li A’immatil-Amsar”.
9. Asy-Syaikh ‘Abd al-Ghani al-Nablusi, dalam kitabnya “Al-Radd al-Matin ‘ala Muntaqis al-‘Arif Muhyi’d-Din”
10. al-Wali Muhammad bin Muhammad al-Qadi, dalam risalahnya “'Ithbat Khatam al-Auliya’"
11. Jarkas Zadeh Taufiq Affandi, dalam kitabnya “al-Lawa’ih al-Qudsiyah”.
12. Asy-Syaikh Mulla ‘Abd al-Rahman al-Jami, pensyarah kitab “Fusus”, iaitu “Nafahat al-Uns” yang dalam satu fasar tersendiri beliau menyebut tentang ketinggian darjat dan kedudukan Syaikh Akbar.
13. Asy-Syaikh Isma’il Haqqi, pengarang “Ruh al-Bayan”, menyebut dalam kitabnya “al-Khitab”, banyak manaqib atau keutamaan-keutamaan Syaikh Akbar dengan kewaliannya yang agung dan ketepatan pendapat-pendapatnya.
14. Apa yang disebutkan oleh al-Maqqari dalam “Nafh at-Tibb” dan al-Yafi’I dalam “Mir’at al-Jinan” terdiri daripada dalil-dalil yang menyaksikan martabat rohaniahnya yang paling agung.
15. Semua pensyarah-pensyarah kitab “Fusus al-Hikam” karangan Ibn ‘Arabi menyaksikan istiqamah beliau atas jalan yang hak, ketinggian martabatnya, sejahtera aqidahnya (dalam Ahlis-Sunnah wal-Jamaah), dan mereka itu pengarang-pengarang yang ramai bilangannya seperti Sadr al-Din al-Qunyawi, Mu’ayyidud-Din al-Jundi, al-Jami, Sa’d al-Din al-Farghani, Daud al-Qausari, al-Qasyani, ‘AbduLlah al-Busnawi, Bali Affandi Sufiah Wi, Qurrah Basy Wali, Imam al-Nablusi, Sadr al-Din Barakah, Rukn al-Din al-Syirazi, ‘Afif al-Din al-Tilmisani, Kamal al-Din al-Zamlikani, Bir ‘Ali al-Hindi, Bayazid ar-Rumi, Muzaffar al-Din asy-Syirazi, Mahmud Widadi, Khawaja Parisa, Sayyid ‘Ali al-Hamadani, Muhammad bin ‘Ali al-Qadhi, dan beberapa orang lagi, seperti Muhammad Wazir Ghiyath al-Din, Baba Ni’matu’Llah, Asy-Syarif Nasir al-Din al-Husaini al-Jilani, Fiyadh al-Lahiji, Diya’ al-Din Al-Isfahani, Muhammad bin Muslih al-Tibrizi, Muhammad Qutb al-Din al-Zanbiqi, Ya’qub Khan Kasyghari, dan lainnya, Allah meredhai mereka semua. Amin. Kalau ulama-ulama ini memberi pembelaan kepada Syaikh Akbar, maka selamatlah kita berpegang kepada mereka ini dan bukan kepada individu-individu tertentu yang bukan terkenal sebagai golongan sufiah segi ilmu dan halnya (‘ilman wa halan) yang terpengaruh dengan unsur-unsur negatif dalam kesarjanaan moden.
Beberapa Persoalan Dan Tuduhan Terhadap Ibn ‘Arabi dan Jawapan Para Ulama Muktabar Terhadapnya”
Antaranya yang dinukil oleh ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata (hlm. 8-17):
1. Ada Fatwa dari ‘Allamah Ar-Rum, Ibn Kamal: “seterusnya: Asy-Syaikh Akbar Muhammad bin ‘Ali al-‘Arabi mujtahid sempurna, mursyid yang berkelebihan, ada padanya keutamaan-keutamaan yang menakjubkan (manaqib ‘ajibah), perkara-perkara yang mencarik adat, dan para muridnya diterima di sisi ulama dan mereka yang mempunyai kelebihan, sesiapa yang mengingkarinya, ia tersilap, dan sesiapa yang berterusan mengingkarinya, maka ia tersesat. Banyak karangan-karangannya: “Fusus Hikamiyah”, “dan “Futuhat Makkiyah”, setengah masalahnya boleh difahami lafaz dan maknanya, bermuafakat dengan Suruhan Ilahi dan Syara’ Nabawi, setengahnya terselindung dari pencapaian ahli ilmu zahir (khafiya ‘an idrak ahl al-zahir), tetapi tidak demikian pada ahli kasyaf dan ahli batin, maka sesiapa yang bermutalaah, wajib ia diam tentang maqam itu, berdasarkan kepada firman Allah (maksudnya): “janganlah kamu ikut apa yang kamu tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati atau fu’ad akan ditanya tentangnya…"
2. Dalam jawapan Qadhi al-Qudhah (Ketua Qadhi-Qadhi), Abul-Qasim al-Baidhawi, tentang soalan yang dikemukakan kepadanya berkenaan dengan kitab-kitab Syaikh Akbar Ibn ‘Arabi, adakah boleh dibaca kepada orang lain atau kita membacanya? Jawabnya “Orang yang ini aku beri’tikad bahawa beliau syaikh dalam perjalanan rohaniah secara ilmu dan halnya (‘ilman wa halan), dia imam tahkik secara hakikat dan resamnya, orang yang menghidupkan resam ma’rifah-ma’rifah dengan kelebihan dan namanya ... dan antara perkara-perkara istimewa kitab-kitabnya ialah sesiapa yang selalu menetapi pembacaan kitab-kitabnya dan memikir tentangnya, akan terbuka dadanya membuka kemusykilan-kemusykilan, dan hilang kekusutan-kekusutan.”
3. Dan jawapan asy-Syaikh Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, terhadap soalan yang dimajukan kepadanya oleh muridnya Syams al-Din al-Sakhawi, berkenaan dengan Syaikh Akbar, … “Adapun tentang Hadhrat Syaikh itu, ia laut penuh berombak, yang tidak ada pantainya, …”
4. Dalam kitab tentang “murtad” dalam “Syarah Kitab al-Raud”, karangan Syaikh al-Islam zakariya al-Ansori, “Yang hak sebenarnya, bahawa golongan Ibn ‘Arabi (To’ifah Ibn ‘Arabi) semuanya baik dan benar, dan percakapan mereka berlaku dalam rangka peristilahan mereka seperti ahli-ahli sufi yang lain (yang diakui dalam Ahlis-Sunnah wal-jamaah - ‘Uthman El-Muhammady), dan itu hakikat di sisi mereka pada maksud mereka, dan kalau orang yang selain daripada mereka tidak ada yang demikian itu, dari orang yang beri’tikad secara zahir lafaznya, menjadi kafir, maka orang yang demikian memerlukan pentakwilan, dan lafaz yang diistilahkan tentangnya (mengikut ilmu mereka itu) adalah hakikat pada maknanya yang diistilahkan (pada mereka itu), dan (yang demikian) majaz pada yang selain dari itu, maka I’tikad mereka terhadap maknanya (mengikut istilah mereka) adalah dengan makna yang sahih, dan telah menyatakan darjah kewalian ibn ‘Arabi itu segolongan dari arifin yang mengenal Allah, termaswuk di kalangan mereka itu Syaikh Taj al-Din bin ‘Ata’iLlah, dan Syaikh ‘Abdullah al-Yafi’I, dan tidak boleh mencederakan Ibn ‘Arabi dan mereka yang mengikutnya zahir percakapan mereka yang tersebut, yang lain daripda golongan sufiah (yang betul pada ilmu dan halnya, yang semata-mata berdasarkan pembacaan teks sahaja, tanpa mengikut peristilahan mereka - ‘Uthman El-Muhammady), kerana berdasarkan kepada apa yang kami katakan, dan (mereka yang selain ahli sufiah tidak boleh mencederakan atau menyalahkan mereka itu) kerana kata-kata mereka itu timbul daripada orang yang arif bi’Llah (yang mengenal Allah secara ma’ifah yang sahih) bila ianya tenggelam dalam laut tauhid dan ‘irfan, dengan secara hilang zatnya dalam ZatNya, dan sifatnya dalam SifatNya, (bukan dalam erti hulul dan ittihad pada zahir lafaznya - tr) dan ghaib ia daripada yang selain daripadaNya, ibarat-ibarat yang menyebabkan terasa seperti hulul (masuk zat Tuhan dalam makhluk atau makhluk dalam zat Tuhan), dan ittihad (bersatu Allah dengan makhluk - walhal bukan yang demikian yang dimaksudkan - ‘Uthman), oleh kerana kurangnya ibarat (dalam bahasa duniawi sekarang untuk melafazkan perkara yang diluar alam zahir ini), untuk menerangnkan hal yang berupa peningkatan tinggi kepadanya, dan itu bukanlah sesuatu yang sedemikian, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sa’d al-Din al-Taftazani dan lainnya:
فاذا كنت فى المعارف غرا ثم ابصرت صادقا لا تمار
لا تكن منكرا فثم امور لطوال الرجال لا للقصار
واذا لم ترى الهلال فسلم لانا س راؤه بالابصار
Maka pabila anda tenggelam dalam ma’rifah
Kemudian anda melihat sebenarnya jangan ragu
jangan jadi orang yang ingkar maka di sana itu ada perkara-perkara
yang layak bagi para lelaki yang tinggi bukan bagi para lelaki yang singkat (pencapaiannya)
dan bila anda tidak melihat bulan sabitnya maka serahkanlah
Kepada orang yang melihatnya dengan mata mereka
Kemudian beliau berkata:
Demi Allah, demi Allah, tidaklah beliau itu menulis, Allah meredhainya, melihat apa yang diketahuinya dengan ilmunya, dan tidaklah ia mengetahui melainkan apa yang disaksikannya terdiri daripada bentuk-bentuk “rupa” perkara-perkara yang termaklum mengikut apa yang sebenarnya (‘ala ma hiya ‘alaihi), dan akal menjadi tergoncang kerana mengingkarinya, dan kesimpulannya, keselamatan dan kesejahteraan, adalah aula, khususnya dalam hubungan dengan Syaikh, Allah meredhainya.
5. Imam al-Yafi’I berkata dalam kitabnya “Mir’at al-Jinan”, “(Beliau, Syaikh Akbar) adalah pimpinan auliya segi ilmu dan faham dalamnya, zahir dan batinnya, dan mereka telah memuliakannya dengan kemuliaan yang hebat dan unggul, dan mereka memuji kalamnya dengan pujian yang mulia, dan mereka menyifatkannya dengan ketinggian makam-makam yang tinggi-tinggi, dan mereka memberi khabar tentangnya dengan keterangan yang panjang terdiri daripada karamah-karamahnya.
6. Dan beliau berkata dalam kitabnya “al-Irsyad” “Sesungguhnya Syaikh Akbar bertemu dengan Imam Suhrawardi, lalu kedua-duanya bermuraqabah, kemudian berpisah tanpa berkata apa-apa, kemudian bila ditanya kepada Syaikh Akbar berkenaan dengan Imam Suhrawardi, beliau menyatakan bahawa beliau itu dari tanduknya sampai ke kukunya bersifat dengan sunnah Nabawiyah; dan bila ditanya kepada Imam Suhrawardi tentang Syaikh Akbar beliau menyatakan bahawa ia lautan hakikat. Dan Ibn al-Zamlikani berkata: Sesiapa yang tidak dapat menangkap makna kata-kata Syaikh itu biar ia datang kepadaku supaya aku boleh menghuraikan kepadanya satu demi satu”. (hlm. 10)
Kemudian ‘Abd al-Qadir Muhammad ‘Ata sebagai sarjana moden menyatakan “Inilah penyaksian-penyaksian dari para imam dalam ilmu, Sunnah nabi dan Syariah (dalam Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah - tr) berkenaan dengan Syaikh Akbar, maka apa lagi bagi kita ini, bila orang-orang yang beku dan membatu pemikirannya tidak memahami perkara itu, mengikut zahir kata-katanya, dan setengah daripada keterlaluan-keterlaluan dalam balaghah dan gambarannya, seolah-olah Allah tidak mengurniakan pemahaman yang boleh mencapai ilmu selepas daripada itu, atau tidak menjadikan adanya ilmu bagi orang alim,…”
Antaranya dinyatakan oleh pengarang ini ialah bagaimana adanya sebesar-besar ulama yang membuat tuduhan yang buruk terhadapnya kemudian menyedari keterlanjurannya lalu bertaubat antaranya ialah Siraj al-Din al-Bulqini, Taqiyu’d-Din al-Subki, dan ‘Izzal-Din ibn ‘Abdi’s-Salam.
Syaikh Taqiyu’d-Din as-Subki selepas daripada mengakui keterlanjurannya menyatakan: “Adalah Syaikh Muhyi’d-Din merupakan satu “ayat” daripada ayat-ayat Allah, sesungguhnya kelebihannya pada zamannya mengamanahkan urusannya kepadanya, dan aku tidak mengetahui (yang demikian) melainkan beliau sahaja”.
Syaikh Siraj al-Din al-Bulqini menyesal dan menyatakan “Jaga-jagalah diri kamu daripada mengingkari sesuatu perkara daripada perkataan Syaikh Muhyi’d-Din (Ibn ‘Arabi), kerana beliau itu, Allah memberi rahmat kepadanya, bila beliau mencebur diri ke dalam lautan ma’rifah terhadap Allah, dan pentahkikan hakikat-hakikat, beliau menyatakan hal itu dalam kitab “Fusus al-Hikam”nya, dan “al-Futuhat al-Makkiyyah”, dan “at-Tanazzulat”, daripada perkara yang tidak terselindung daripada orang-orang yang berada pada darjahnya dari kalangan ahli-l-isyarah, kemudian datang orang selepasnya kaum yang “buta” terhadap perjalanannya, kemudian mereka mempersalahkannya bahkan mengkafirkannya kerana ibarat-ibarat itu, walhal mereka itu tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam (ma’rifah) tentang peristilahannya, dan mereka (pula) tidak bertanya kepada orang-orang yang menjalani perjalanan mereka itu untuk memberi penerangan kepada mereka. Itu kerana perkataan syaikh itu Allah meredhainya, disebaliknya ada rumus dan kiasan-kiasan (rawabit), isyarat-isyarat dan kaedah-kaedah (dawabit) dan dibuang apa-apa yang terkait dengannya, ianya dalam ilmunya dan orang-orang yang sepertinya sebagai perkara-perkara termaklum, adapun pada orang-orang selain daripada mereka yang tidak mempunyai pengetahuan seperti itu tidak termaklum. Kalaulah mereka itu melihat kepada kalimah-kalimahnya dengan dalil-dalilnya serta tatbiknya, dan mengetahui natijah-natijahnya dan mukaddimah-mukaddimahnya, nescaya mereka boleh mendapat hasil buah yang dikehendaki, dan mereka tidak menyatakan I’tikad mereka lain daripada I’tikadnya. Demi Allah bohong dan palsulah percakapan mereka yang menisbahkan kepada beliau itu al-hulul (iaitu Tuhan meresap dalam makhluk - tr) dan al-ittihad (makhluk dan Tuhan bercantum menjadi satu), dan aku berterusan mengikuti percakapan beliau itu dalam perkara akidah dan lainnya, dan aku banyakkan penelitian tentang rahasia percakapannya dan kiasan-kiasannya (rawabit) sehingga tahkiklah aku tentang ma’rifah atau pengenalan tentang apa yang hak, dan aku bersetuju dengan semua mereka yang sangat ramai (al-jam al-ghafir) dari kalangan mereka yang percaya dan berpegang kepada kebenaran beliau itu, dan aku bersyukur memuji Allah Azza wa Jalla bahawa aku tidak ada menulis - dalam kalangan mereka yang lalai terhadap makamnya - yang ingkar terhadap kekeramatan dan hal rohaniahnya.” (Demikian kenyataan al-Bulqini – hlm. 13-14 mukaddimah oleh Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata).
Maka bila titik tolak keingkaran mereka yang ingkar itu ialah dalam hubungan dengan sistem peristilahan sufi mereka itu, serta pentakbiran isyarat-isyarat yang khas mereka, dan adalah yang amnya dari kalangan yang ingkar itu mereka yang bermazhab Hanbali dan khasnya dari kalangan para pengikut Ibn Taimiyah, maka kita boleh hadapi mereka ini dengan menghadapi syaikh dari kalangan syaikh-syaikh mereka semua, dan murid dari murid-murid Ibn Taimiyah iaitu Syaikh “Ibn Muflih al-Maqdisi al-Hanbali.”
Beliau itu menyatakan: “Terjatuh dalam hati para ulama sejenis keadaan jaga (yaqazah), dan kalau mereka menyebutkannya, dan hikmahnya, maka menjadi liarlah hati yang lain daripada mereka, walaupun kalangan ulama, dan aku tidak kata orang awam. Misalnya ialah kata-kata Abu Bakar (Allah meredhainya): “Kalaulah tersingkap ‘tabir’ keyakinanku tidak akan bertambah”. Dan sesungguhnya kalau seseorang lelaki itu siuman, dan ia menyatakan kata-kata yang mewajibkan kekufuran pada orang awam, (misalnya) ia berkata: “Aku tidak dapati rasa hendak mengelak diri dan rasa kehebatan terhadap malaikat Raqib dan ‘Atid”, maka kalau diminta fatwa kepada segolongan dari fuqaha nescaya mereka kata: ‘kafir’. Maka yang zahirnya orang ini bukan membenarkan keberadaan kedua malaikat itu, dan ianya mengecil-ngecilkan jagaan dari malaikat Allah terhadap para makhlukNya. Walhal penyingkapan rahsia di sebalik kata-kata itu ialah bahawa ia berkata: ‘Aku dikuasai oleh rasa hebat terhadap Tuhanku, dan rasa malu terhadap Dia yang Menyaksikan daku, maka gugur dariku rasa malu terhadap malaikat yang melihatku, dan aku dapati rasa malu terhadap keduanya itu dengan aku terlalai daripada keadaan siuman yang datang selepasnya, dan yang mewajibkan rasa jaga (yaqazah), hilangnya lalai, ialah bila mendengar (ayat Quran yang bermaksud): ‘Tidaklah memadai dengan Tuhan kamu…’ dan (ayat yang bermaksud): ‘Dan Kami lebih hampir kepadanya daripada kamu’. Maka sesiapa yang menyaksikan al-Haq ianya seperti seseorang yang menyaksikan raja dan bersekali dengannya ialah para sahabat yang berkhabar tentangnya, maka tidak ada tinggal lagi hukum bagi sahabat-sahabatnya dalam hati orang yang menyaksikan raja itu sendiri, kalau tidak, maka itu adalah kekurangan dan kelemahan dalam pengenalannya terhadap hukum raja dan kekuasaannya. Maka hendaklah anda berjaga-jaga daripada terkedepan dalam menuduh dengan perkara yang jahat terhadap para ulama walhal anda tidak sampai kepada makam mereka dan kepelbagaian ehwal kerohanian mereka, sehingga mereka itu dalam hal kerohanian adalah seperti suatu peribadi atau diri, dan dalam hal kerohanian yang lain seperti satu peribadi atau diri yang lain pula; maka sesungguhnya bagi seseorang hamba itu bila terkasyaf kepadanya al-haq (Allah dengan pemandangan batinnya) maka terhapus ia dari dirinya sendiri, dan alam ini hilang dalam pandangan matanya, kerana ini maka orang-orang ahli tasawwuf berkata kepada orang-orang muda: ‘Diserahkan syaikh-syaikh yang besar-besar itu akan hal kerohanian mereka’, walhal kata-kata itu racun yang membunuh bagi mereka mula-mulanya, kemudian bagi orang yang tidak faham kata-kata mereka. Adapun orang yang berkata itu maka ia berkata dengan hukum hal yang dibukakan kepadanya secara khusus, walhal terhijab daripadanya si pendengarnya, maka sesiapa yang mengetahui bahawa para makhluk itu tidak sama dari segi percakapan mereka, juga tidak sama segi halnya, tidak berpegang kepada sangkaan bila sahaja berlaku sesuatu itu, maka jadilah ianya kurang dan cacat.” (al-Adab asy-Syar’iyyah”, 1-214. Lih. Syaikh Ahmad ‘Ata. hlm. 15)
Kata Syaikh Ahmad ‘Ata (hlm 1515): Kalaulah para pengikut Ibn Taimiyyah dari kalangan mereka yang mengingkari golongan sufiah amnya dan khasnya Syaikh Akbar tidak merasa memada dengan penyaksian Ibn Muflih al-Maqdisi, maka mungkin mereka mendapati bahan yang memadai dalam risalah yang terkenal yang dihantar oleh al-Zahabi Ibn Taimiyah (mukaddimah “Sair A’lam al-Nubala’ ” oleh az-Zahabi).
Syaikh Ahmad menyatakan bahawa kalau kita hendak melihat punca-punca kezindikan, ilhad pada mana-mana peribadi, kita dapatiianya boleh diringkaskan berpunca daripada kekusutan akal, sifat tamak kepada ketinggian dalam siasah, dan juga pengaruh hawa nafsu. Bagaimanakah kedudukan Syaikh Akbar dalam hubungan dengan faktor-faktor ini bagi mereka yang menuduhnya sesat dan seterusnya?
Tentang kerosakan akal tidak ada seorangpun dari kalangan seterunya yang menyatakan demikian. Beliau itu berhadapan dengan zamannya mengatasi dan memimpin akal dalam bidang hikmah dan orang terkedepan dalam kerohanian dalam hubungan dengan alam-alam yang tidak diketahui ramai, berserta dengan adanya penyaksian-penyaksian dari pada ahli ilmu dan ahli fikir sebesarnya dari kalangan para ulama yang menyatakan ketetapan dan keteguhan beliau dalam perjalanan fitriah dan akliah. Maka tidak mungkin timbul syak wasangka lagi berkenaan kesejahteraan neraca akalnya dalam mana-mana hal sekalipun. Keadaan demikian jelas, apa lagi bila kita mengambil perkiraan tentang tamaknya beliau itu yang amat sangat dalam menyatakan akidah secara jelas dan menolak serangan terhadapnya serta memperbetulkan penyelewengan mereka yang menyeleweng di dalamnya.
Tentang hasrat mendapat ketinggian dalam siasah tidak ada dalil yang menunjukkan perkara demikian dalam dirinya. Akal beliau yang mengatasi dan kuat ini mampu meningkat tinggi dalam bidang kekuasaan siasah di Andalus kalau beliau kehendaki, tetapi beliau meninggalkan bidang itu dan mengambil bidang ilmu dan ma’rifah. Dan ia juga boleh mendapat ketinggian dalam pimpinan siasah sewaktu ia di Syam bilamana kemuliaannya dan ketinggian prestasinya terkenal baik di kalangan para ahli pemerintah dan pihak pembesar-pembesar negeri itu. Keadaan sedemikian sehingga ia membelanjakan semua harta yang sampai ke tangannya kepada para fuqara dan orang-orang yang berkeperluan, dan ia mensedekahkan rumah yang dihadiahkan kepadanya kepada seorang daripada pembesar-pembesar negeri Syam kerana orang itu tidak mungkin memiliki yang lain lagi selain daripada itu.
Tentang pengaruh hawa nafsu ke atasnya, maka tidak ada pihak yang membuat tuduhan yang sedemikian melainkan setengah daripada mereka yang dangkal dan cetek dalam penyelidikan mereka bila mereka membuat tuduhan berdasarkan kepada “Tarjuman al-Ashwaq” karangannya. Bila timbul kekecohan terhadapnya dari kalangan fuqaha maka ia sendiri mensyarahkan syair itu untuk menerangkan matlamatnya dalam gubahan itu. Ia menunjukkan maksudnya dengan menyatakan:
كل ما اذكره مما جرى ذكره او مثله ان تفهما
منه اسرار و انوار جلت او علت جاء بها رب السما
لفؤادى او فؤادى من له مثل ما لى من شروط العلما
صفة قدسية علوية اعلمت ان لصدقى قدما
فاصدف الخاطر عن ظاهرها واطلب الباطن حتى تفهما
Maknanya lebih kurang:
Tiap perkara yang aku sebutkan dari apa yang berlaku
Yang disebutkan atau yang sepertinya supaya anda faham
Daripadanya ada rahsia dan anwar - cahaya-cahaya rohani- yang hebat bergemerlapan
atau yang berdarjah tinggi nan dibawa oleh Tuhan Pentadbir Langit
Bagi fu’adku atau fua’d orang yang ada baginya
seperti nan ada padaku dari syarat -syarat dari para ulama
sifat kesucian dan ketinggian
yang aku ceritakan bahawa bagi sifat sidikku ada kedudukan
Maka palingkanlah lintasan hati anda daripada zahir kalimahnya
dan tuntutlah yang batinnya hingga anda memahaminya
Dalam hubungan dengan mereka yang suka membuat tuduhan yang negatif terhadap Syaikh Akbar mengatakannya terpengaruh dengan falsafah itu dan ini, kenyataan dirinya sendiri menunjukkan kemelesetan yang demikian.
Kata beliau:
" ولا يحجبك ايها الناظر فى هذا الصنف من العلوم الذى هو العلم النبوي الموروث عنهم صلوات الله وسلامه عليهم , اذا وقعت على مسئلة من مسائلهم قد ذكرها فيلسوف او متكلم , او صاحب نظر فى اى علم كان.فتقول فى هذا القائل الذى هو الصوفى المحقق : ان فيلسوفا قال بهذا ولا دين له. فلا تفعل يا اخى. فهذا قول من لا تحصيل له.ان الفيلسوف ليس كل علمه با طلا, فقد تكون تلك المسالة مما عنده من الحق, ولا سيما ان وجدنا النبى صلى الله عليه وسلم قد قالها, ولا سيما فيما وصفوه من الحكم والتبرؤ من الشهوات ومكائد النفوس. وما تنطوى عليه من سوء الضمائر , فان كنا لا نعرف الحقائق فينبغى ان نثبت قول الفيلسوف فى هذه المسالة, وانها حق, فان رسول الله صلى الله عليه وسلم قد قالها , او الصاحب او مالك او الشافعى او سفيان الثورى , واما قولك - ان قلت - سمعها من فيلسوف, او طالعها فى كتبهم فانك تقع فى الكذب والجهل. واما الكذب فقولك : سمعها او طالعها , وانت لم تشاهد ذلك منه.
واما الجهل فكونك لم تفرق بين الحق فى تلك المسالة والباطل. واما قولك :ان الفيلسوف لا دين له, فلا يدل كونه لا دين له على ان كل ما عنده باطل. وهذا مدرك باول العقل عند كل عاقل, فقد خرجت باعتراضك على الصوفى فى مثل هذه المسالة عن العلم والصدق والدين, وانحرطت فى سلك اهل الجهل والكذب والبهتان ونقص العقل والدين وفساد النظر والانحراف
“Wahai saudara yang membuat penelitian tentang ilmu jenis ini dari cawangan-cawangan ilmu, yang merupakan ilmu nabawi yang dipesakai dari mereka itu, Allah berselawat kepada mereka dan memberi kesejahteraan kepada mereka, janganlah anda menjadi terhijab (daripada apa yang sebenarnya - pent), bila anda bertemu dengan satu daripada masalah-masalah antara sekian banyak masalahnya, yang disebut oleh seseorang ahli falsafah atau ahli ilmu kalam, atau oleh seseorang ahli ilmu dan fikir (sahib nazar) dalam ilmu mana sekalipun, maka anda berkata tentang orang yang berpendapat demikian yang ianya seorang sufi yang muhakkik: “Sesungguhnya seorang ahli falsafah telahpun berkata dengan pendapat demikian itu, walhal ia tidak mempunyai agama”; (dengan itu maka ahli sufi yang muhakkik itu seolah-olah bersalah kerana sangkaan anda itu - pent). Jangan lakukan demikian wahai saudaraku. Ini pandangan orang yang tidak ada hasil ilmu sebenarnya padanya. Sesungguhnya ahli falsafah itu bukan semua ilmunya batil, kadang-kadang masalah yang berkenaan itu ada kebenaran padanya, terutama sekali apabila kita boleh dapati Nabi kita s.a.w. telah menyatakan yang demikian itu, dan terutamanya tentang apa yang dinyatakan mereka daripada kata-kata penuh kebijaksanaan dan hikmah dan kebaikan sifat bersih daripada nafsu-nafsu syahawat, dan penipuan-penipuan nafsu manusia. Dan juga apa yang terkandung di dalamnya tentang sifat-sifat jahat yang ada dalam hati manusia; maka kalau kita ini tidak arif tentang hakikat-hakikat sebenarnya, maka sayugiya kita sabitkan pendapat failasuf itu dalam perkara ini, dan sesungguhnya ianya yang sebenarnya, maka sesungguhnya Rasul s.a.w. telah menyatakannya, atau Sahabat ada menyatakannya, atau Imam Malik atau Imam Syafi’I atau Sufyan Thauri (telah menyakanannya); adapun perkataan anda sendiri - kalaulah anda mengatakannya - bahawa beliau mendengarnya daripada ahli falsafah, atau membaca dalam kitab-kitab ahli falsafah, maka dengan itu anda terjatuh ke dalam perbuatan bohong dan kejahilan.
Tentang bohong itu ialah kata-kata anda: “(Ahli sufi muhakkik itu) mendengar atau menelaah kitab-kitab mereka” walhal anda sendiri tidak ada menyaksikan yang demikian itu daripadanya. Adapun kejahian anda itu ialah keadaan anda tidak membezakan antara yang hak dalam masalah yang berkenaan itu dan yang batil. Adapun kata-kata anda: “Ahli falsafah itu tidak ada agama, maka tidaklah keadaannya tidak ada agama itu menunjukkan bahawa semua yang ada padanya itu batil. Ini adalah pencapaian yang awal akal manusia, di sisi tiap-tiap orang yang berakal. Maka dengan melakukan penentangan anda terhadap ahli sufi dalam perkara seperti masalah ini anda telah keluar daripada ilmu pengetahuan, sifat benar, dan agama, dan anda memasuki medan ahli kejahilan, kebohongan, dan tuduhan palsu, serta kekurangan akal, agama, dan kerosakan pada tilikan ilmu dan kesesatan”.
Dengan nukilan kata-kata di atas (lihat hlm 18-19 mukaddimah Abd al-Qadir Ahmad Ata terhadap “Ibn Arabi-al-‘Abadalah”), kita boleh melihat kesungguhan Syaikh Akbar ini dalam kebebasannya melainkan daripada kawalan-kawalan Syariat; maka ia membenarkan kita mendengar pendapat-pendapat mereka yang berlainan pendapat itu, supaya kita tidak bersikap ta’asub, bahkan wajib kita memutuskan sesuatu mengikut apa yang sebenarnya mengikut yang hak, bilamana adanya kelainan dalam pengalaman rohaniah dan pegangan. (agama-agama).
Kewengangan Latarbelakang Pengajian Shaikh Akbar
Adalah menjadi perkara yang menjadi pegangan bahawa kewenangan kedudukan ilmu dan pemikiran serta pegangan seseorang itu diketahui dan diukur daripada pengajian yang dilaluinya dan para guru yang memberi pendidikan kepadanya. Berdasarkan hakikat ini kita boleh cuba melihat sejarah pendidikan Syaikh Akbar dan para gurunya yang mendidiknya. (mukaddimah ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata. hlm.19 dst):
Beliau mendapat pendidikan tentang qiraat tujuh dari Abu Bakr bin Khalaf, seorang daripada ulama besar Seville, dan beliau membaca kitab Muhammad bin Syarih tentang itu dari Syaikh Abu Bakar, juga ia belajar dengan Syaikh Abul-Qasim asy-Syirat al-Qurtubi, dengan riwayat dari anak pengarang itu sendiri, Abu al-Hasan Syarih, dan dia mendengar Kitab Nasyr fi Qiraat al-‘Asyar dari Syaikh Abu Bakr bin Abi Hamzah dengan riwayat dari bapanya pengarang itu, al-‘Allamah Abu Hamzah al-Dani.
Beliau menerima ilmu naqal dan akal - ilmu wahyu dan ilmu bukan wahyu - dari Abul-Faraj bin ‘Asakir, Ibn al-Jauzi, Ibn Sakinah, Ibn ‘Ulwan, Jabir bin Ayyub, Ibn Zarqun, Syaikh Abu Muhammad ‘Abd al-Haqq al-Isybili al-Azdi, Hafiz Ibn Abi al-Jadd dan Abul-Walid al-hadhrami.
Dan ia menerima kitab-kitab dalam hadith yang ia membicarakannya seperti “al-Muhtadi”, “al-Ahkam al-Kubra”, “al-Ahkam al-Wusta”, “al-Ahkam al-Sughra”, “Kitab at-Tahajjud”, “Kitab al-‘Aqibah, dan ia meriwayatkan dari Imam Abul-Hasan Syarih bin Muhammad bin Syarih kitab-kitab Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Hazm; ia mendengar ilmu daripada ulama-ulama besar dalam hadith zamannya seperti Imam Abul-Qasim al-Khuzistani, dan ia mendengar “Sahih Muslim” tahun 606 dari Syaikh Abul-Hasan bin Abu Nasr, dan ia meriwayatkan hadith dari Imam Abu Tahir as-Salafi dengan ijazah ammah.
Ia mengambil perjalanan sufiah dari Syaikh Abu Madyan al-Maghribi, dan al-‘arif Jamal al-Din Yunus bin Yahya al-Qassar, dan ‘arif Abu ‘Abdullah at-Tamimi al-Fasi, dan ‘arif Abul-Hasan bin Jam’, dan yang selain daripada mereka, dan ia mendapat bantuan rohaniah dalam perjalanan dan keilmuan mereka dengan tawajjuh daripada al-ghauth yang terkenal Maulana Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jili. Adapun tentang perhubungannya dengan Khidir a.s. dan pengambilan khirqah daripadanya itu diterima sebagai hakikat sebenarnya oleh ulama sufiah.
Telah bersepakat oleh ahli ilmu dan ahli kebajikan agama ini bahawa mazhab beliau dalam ibadat dan muamalat menepati Syariat yang zahir dan adab-adabnya; mereka bersepakat bahawa pandangannya yang tinggi dalam I’tiqad kebatinan adalah berupa tawajjuh ke arah hakikat-hakikat yang ada (tawajjuh nahwa haqa’iq al-ka’inat) dan pemikirannya sentiasa tenggelam menyelami gelombang-gelombang pengabdian untuk mengambil isyarat-isyarat daripadanya.
Tentang kaedah pengabdian si murid Syaikh Akbar menyatakan:
“Hendaklah si murid yang salik itu berada dalam tidurnya dalam keadaan hudhur - hadhir hati dengan Allah - dan hendaklah ia palingkan himah atau tumpuan rohaniahnya bagi memperlakukan akalnya dalam hubungan dengan khayalnya dalam keadaan tidurnya, sebagaimana ia memperlakukan akalnya dalam hubungan dengan khayalnya dalam jaganya. Kalau si salik itu berjaya berada dalam keadaan hudhur seperti ini dan jadilah yang demikian itu sebagai tabiat dan akhlaknya (yang sebati dengan dirinya - p) ia akan mendapatkan buahnya dalam alam barzakh. Dan ia akan mendapat faedah yang banyak daripadanya. Maka hendaklah si salik itu menjalani jalan hakikat dan akhirat dan ia menggunakan seluruh upaya dan tenaganya untuk menghasilkan hal yang demikian ini. Faedahnya terlalu amat besar.” Perjalanan ilmu demikian bukannya untuk orang permulaan.
Adapun murid permulaan pula hendaklah ia menumpukan himahnya mengawal akalnya waktu tidurnya. dan ia menggunakannya untuk mengingat dan menyebut Nama Tuhannya, sebagaimana ia berada dalam jaganya.dan hendaklah ia tidur dalam hal ini. Maka sesungguhnya ruhnya akan melayang dengan demikian itu ke alam-alam malakut dan ianya menjadi bersih daripada setiap kekotoran dan penyakit Adapun hal yang dinyatakan oleh Syaikh Akbar ialah apa yang berlaku dalam keadaan berikutnya selepas si salik itu benar-benar menyempurnakan perjalanannya. Pada tahap itu bermulalah limpahan ilmu maknun dalam batin dirinya dan ke dalaman rohnya.
Peribadi yang demikian ini dilihat dari sejarah dan latar belakang keilmuan dan pendidikannya sepatutnya tidak menyebabkan timbulnya sanggahan terhadapnya. Sepatutnya mereka yang hendak menyanggahnya berfikir banyak kali sebelum menyatakan apa-apa yang negatif terhadapnya; dan kalau ada apa-apa yang dirasakan tidak bersesuaian dengan apa yang dirasa oleh pengamat itu sepatutnya ia tawaquf dan mengikut pendirian ahli sufiah dan para fuqaha yang memahami mereka dan bersetuju dengan mereka.
Berkenaan Dengan Wahdatul-Wujud
Golongan sufiah yang awal dahulu itu (qudama’ as-sufiah) menyedari tentang jarak antara golongan mereka dengan golongan lainnya dalam penyaksian keilmuan (mashahid al-‘ilmiah). Maka berkatalah Imam Abu Bakr asy-Syibli dalam memberi gambaran tentang ilmu mereka itu: “Apa sangkaan anda tentang ilmu para ulama yang di dalamnya ada tohmahan”. Dengan kehalusan ilmu yang demikian mereka ini mendapat pendidikan dan peningkatan. Dan mereka ini tidak berpegang kepada konsep kesatuan (“al-wahdah”) sebagaimana yang dianggapkan oleh ahli falsafah akal yang berada di bawah penguasaan penipuan ego mereka sendiri. Konsep Kesatuan Sufiah itu berdiri atas hakikat wujud bahawa wujud yang hakiki itu adalah tidak lain melainkan hanya milik bagi Wujud Zat Allah sahaja. Tidak ada wujud yang hakikat sebenarnya melainkan bagi yang Esa yang Hak itu sahaja. Ini kerana wujud yang hak itu ertinya wujud yang tidak dipinjam daripada wujud yang lain bahkan ianya adalah limpahan daripada hakikat yang wujud itu sendiri. Dan yang demikian itu tidak ada bagi tiap yang ada dalam alam kejadian ini (alam al-khalq); maka tiap yang wujud yang lain daripada Wujud Ilahi ianya adalah wujud yang wahmi atau wujud yang majazi. Dan wujud yang kita boleh kesankan itu - pada yang selain daripadaNya - ianya aadalah sekadar limpahan ain wujud Nya ke atas setiap yang wujud itu. Maka tidak ada lagi sesuatu pun atas muka bumi ini atau yang terlintas dalam hati atau dada makhluk terdiri daripada gambaran maklumat-maklumat melainkan ianya adalah limpahan (‘faidh’) daripada Hadhrat Ilahiah-Hadarat al-Ilahiyah. Kalaulah dikembalikan semua perkara kepada asalnya, tiap-tiap yang disebabkan itu kepada sebabnya, demikian seterusnya sampailah kita kepada Sebab Yang Awal Sekali, Jalla jalaluhu - maka tidak ada lagi yang lain dalam seluruh yang wujud ini melainkan Dia Sahaja. Maka mereka yang mengingkari Wahdah Sufiah hidup dalam alam perpecahan - alam at-tafriqah - dan mereka itu hidup dalam Alam Berhimpun (‘Alam al-Jam’), maka si sufi hidup dalam tajrid tauhid, dan yang lain hidup dalam mutayabih at-tauhid (nisbah pengelamannya - p).
‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata dalam mukaddimahnya itu mengajak kita berfikir tentang api.Katanya bahawa api itu tidak boleh dinafikan lagi bahawanya ia membakar, tetapi kita tidak mungkin beriktidak - dalam I’tikad Ahlis-Sunnah yang sahih - bahawa ia ada sifat membakar itu dari zatnya sendiri. Kalau tidak kita akan mengingkari nas Quran yang menyatakan bahawa ianya “sejuk dan kesejahteraan bagi Nabi Ibrahim".
Kemudian beliau menyebut tentang orang bermain api di negeri Mesir yang mulutnya tidak terbakar walaupun ia menyentuh mulutnya. Ini dalil yang menunjukkan bahawa api itu bukan membakar dengan zat dirinya sendiri bahkan ia mendapat kekuatan dari yang lain; dan beliau menyebut adanya perkara luar biasa dalam kehidupan menunjukkan hakikat yang sedang dinyatakan ini.
Dari situ beliau berpindah kepada seseorang yang berfikir dalam perjalanan ma’rifah tentang sebab awal bagi berlaku pembakaran sesuatu. Sesungguhnya dia dalam keadaan ini dalam hal tercengang. Keadaan tercengang ini adalah satu penyedar bagi ilmu (lit. loceng) yang menyedarkan si salik itu bahawa ia sedang berada pada pintu-pintu pembukaan rohani yang ia akan menyaksikan dengan hati dan rohnya, dan ia tidak mampu menyebutkan dengan lidahnya; bukannya kerana sebab lain, melainkan kerana ianya berupa penyaksian yang menguasai anda dan yang meletakkan anda pada makam keheranan (“maqam al-hirah”); dan bila anda menyerahkan diri anda kepadanya dan menerimanya dan anda mengarahkan tawajuh kepada yang ghaib maka mulalah anda dalam perjalanan mendapat bantuan kekuatan dan limpahan (“marhalah al-istimdad wal-faid”) maka waktu itu disaksikan bagi anda bahawa perjalanan anda dalam kesucian zahir dan batin serta beramal dengan penghayatan syiar-syiar Islam dalam rasa lazat dan kerehatan dan kegembiraan, dan percakapan anda itu adalah yang benar, dan anda berkata-kata tidak lain melainkan yang hak.
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu shalat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Tentu saja hal-hal tersebut di atas sangat bertentangan dengan syariat islam, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
Dalam dunia tasawuf, sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah. Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al Kahfi tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh Sunan Ampel kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut. Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda pendapat.
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum Syi'ah Isma'iliyah pada masa Al Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka juga dianggap pemberontak dan dianggap musuh oleh raja dan para ulama. Peperangan yang terjadi tidaklah dari para ulama, tetapi oleh Raja yang menganggap mereka adalah pemberontak dan musuh politik. Al Hallaj yang hidup di masa itu, dia mengucapkan kata yang sangat menggemparkan: Ana Al-Haqq berarti Akulah kebenaran. Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi'ah. Hal ini juga berarti permasalahan yang timbul dari perselisihan antara ilmu syariat, ilmu ma'rifat, dan kekuasaan atau politik. Semua yang terjadi adalah karena kesalahan pemahaman. Terbunuhnya Al Hallaj bukan karena ucapannya tetapi karena politik.Tetapi merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep Wahdatul Wujud (Ana Al-Haqq) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya. Selain itu, Al Haqq merupakan sifat-sifat Allah.
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui kesulitan untuk diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang menerimanya.
Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Wahdatul_Wujud
Rahasia di Balik Materi
Tidak Sama Dengan Wahdatul Wujud
HARUN YAHYA
Sebuah pokok bahasan yang dipaparkan dalam buku The Evolution Deceit (Keruntuhan Teori Evolusi), bab “The Real Essence of Matter” ("Hakikat Materi yang Sesungguhnya"), juga dalam buku Matter: The Other Name for Illusion (Materi: Nama Lain dari Ilusi); Idealism, The Philosophy of the Matrix and the True Nature of Matter (Idealisme, Filsafat Matriks, dan Sifat-Dasar Materi yang Sebenarnya), Eternity Has Already Begun (Keabadian Telah Dimulai); Timelessness and the Reality of Fate (Ketiadaan Waktu dan Hakikat Takdir) and Knowing the Truth (Memahami Kebenaran) telah dipermasalahkan oleh sejumlah orang. Disebabkan salah memahami inti pokok bahasan tersebut, orang-orang ini mengatakan bahwa apa yang diuraikan dalam rahasia di balik materi adalah sama dengan ajaran Wahdatul Wujud.
Izinkan kami menyatakan di awal bahwa penulis buku ini adalah seorang yang beriman dan memegang teguh ajaran Ahlus Sunnah dan tidak mendukung pandangan Wahdatul Wujud.
Akan tetapi, patut diingat bahwa Wahdatul Wujud pernah didukung oleh sejumlah ulama Islam terkemuka termasuk Muhyiddin Ibnu 'Arabi. Adalah benar bahwa banyak ulama Islam terkemuka yang menjelaskan gagasan tentang Wahdatul Wujud di masa lampau melakukannya dengan menggunakan sejumlah pokok bahasan yang terdapat dalam buku-buku penulis. Namun, apa yang diuraikan dalam buku-buku tersebut tidaklah sama dengan Wahdatul Wujud.
Sebagian dari mereka yang mendukung pandangan Wahdatul Wujud tenggelam dalam sejumlah pandangan keliru dan membuat sejumlah pernyataan yang bertentangan dengan Al Qur'an serta ajaran Ahlus Sunnah. Misalnya, mereka sama sekali menolak penciptaan oleh Allah. Namun, ketika pokok bahasan rahasia di balik materi dikemukakan, tidak ada sama sekali pernyataan serupa. Bab ini menjelaskan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan wujud asli segala sesuatu ini terlihat olehNya sedangkan manusia hanya melihat bayangan atau penampakan segala sesuatu ini yang terbentuk dalam otak mereka.
Gunung, dataran, bunga, manusia, lautan -- singkatnya segala sesuatu yang kita saksikan dan segala sesuatu yang Allah beritakan kepada kita dalam Al Qur'an sebagai wujud yang ada dan yang Dia ciptakan dari ketiadaan, adalah diciptakan dan benar-benar ada. Akan tetapi, manusia tidak dapat melihat, merasakan atau mendengarkan sifat-dasar hakiki dari segala ciptaan ini melalui indra mereka. Apa yang mereka lihat dan rasakan hanyalah salinan dari apa yang muncul dalam otak mereka. Ini adalah fakta ilmiah yang diajarkan di seluruh sekolah kedokteran. Hal yang sama berlaku pula dengan tulisan yang kini sedang Anda baca; Anda tidak dapat melihat atau menyentuh sifat-dasar atau wujud sesungguhnya dari tulisan ini. Cahaya yang datang dari tulisan asli diubah oleh sejumlah sel-sel pada mata Anda menjadi sinyal-sinyal listrik, yang kemudian dibawa dan diteruskan ke pusat penglihatan di bagian belakang otak Anda. Di sinilah penampakan tulisan ini terbentuk. Dengan kata lain, Anda tidak sedang membaca sebuah tulisan di depan mata Anda melalui mata Anda; kenyataan yang sesungguhnya adalah tulisan ini terbentuk di dalam pusat penglihatan di bagian belakang otak Anda. Tulisan yang sedang Anda baca sekarang adalah "salinan tulisan" di dalam otak Anda. Tulisan yang asli terlihat oleh Allah.
Kesimpulannya, fakta bahwa materi (benda) adalah sebuah ilusi (bayangan/penampakan) yang terbentuk di dalam otak kita bukan berarti "menolak" keberadaan materi, akan tetapi justru memberi kita pengetahuan tentang sifat-dasar sesungguhnya tentang materi: bahwa tak seorang pun mampu berhubungan langsung dengan wujud asli materi.
Fakta ini dipaparkan dalam buku Idealism, The Philosophy of the Matrix, and the True Nature of Matter (Idealisme, Filsafat Matriks, dan Sifat-Dasar Materi yang Sebenarnya) sebagaimana berikut:
TERDAPAT MATERI (BENDA) DI LUAR KITA, TAPI KITA TIDAK DAPAT MENGGAPAINYA
… [M]engatakan bahwa materi adalah sebuah ilusi (bayangan) bukan berarti bahwa materi tidak ada. Justru sebaliknya: apakah kita merasakannya atau tidak, dunia fisik benar-benar ada. Akan tetapi kita menyaksikannya sebagai sebuah salinan di dalam otak kita, dengan kata lain, sebagai sebuah penafsiran dari indra kita. Karenanya, bagi kita, dunia fisik dari materi adalah sebuah ilusi (bayangan).
Materi di luar terlihat tak hanya oleh kita, tapi oleh makhluk lain pula. Para malaikat Allah yang ditugaskan sebagai pengawas menyaksikan dunia ini juga:
(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaaf, 50: 17-18)
Yang terpenting, Allah menyaksikan segala sesuatu. Dia menciptakan dunia ini dengan seluruh rinciannya dan melihatnya dalam berbagai wujudnya. Sebagaimana Dia beritahukan kepada kita dalam Al Qur'an:
…Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah, 2: 233)
Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu sekalian. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hambaNya". (QS Al Israa', 17: 96)
Tidak boleh dilupakan bahwa Allah menyimpan catatan segala sesuatu dalam kitab yang disebut Lauh Mahfuzh (Kitab Yang Terpelihara). Sekalipun jika kita tidak melihat segala sesuatu, semua itu ada dalam Lauh Mahfuzh. Allah mewahyukan bahwa Dia menyimpan catatan segala sesuatu dalam "Induk Al Kitab" yang dinamakan Lauh Mahfuzh dalam ayat-ayat berikut:
Dan sesungguhnya Al Qur'an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah. (QS. Az Zukhruf, 43: 4)
… dan pada sisi Kami pun ada kitab yang memelihara (mencatat). (QS. Qaaf, 50: 4)
Tiada sesuatu pun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. An Naml, 27: 75)
Penelitian Ilmiah Terhadap Sifat Materi
yang Sesungguhnya
HARUN YAHYA
Seluruh informasi yang kita miliki tentang dunia di mana kita hidup disampaikan kepada kita melalui panca indra kita. Dunia yang kita ketahui, terdiri dari apa yang dilihat mata kita, yang disentuh tangan kita, yang dicium hidung kita, yang dirasakan lidah kita, dan yang didengar telinga kita. Tidak pernah terpikirkan oleh kita bahwa dunia "luar" tersebut bisa jadi berbeda dari apa yang ditampilkan oleh indra kita dikarenakan selama ini kita senantiasa bergantung hanya pada panca indra tersebut sejak saat kita dilahirkan.
Akan tetapi, penelitian ilmiah modern di berbagai bidang mengarahkan kita pada suatu pemahaman yang sama sekali berbeda, sehingga memunculkan keraguan besar terhadap panca indra kita dan dunia yang kita kenal melalui panca indra ini. Titik awal pemahaman ini adalah gagasan bahwa apa pun yang kita rasakan sebagai "dunia luar" hanyalah tanggapan yang dibentuk di dalam otak kita oleh sinyal-sinyal listrik. Warna merah apel, sifat keras kayu, ibu dan ayah Anda, keluarga Anda, dan segala sesuatu yang Anda miliki—rumah Anda, pekerjaan Anda,—dan bahkan baris-baris tulisan ini, hanya tersusun dari sinyal-sinyal listrik.
Dalam gambar ini, kita melihat seseorang yang merasakan dirinya sedang bermain ski di atas pegunungan, padahal sesungguhnya tidak terdapat ski ataupun salju. Perasaan yang dialaminya ini adalah tiruan yang sengaja dibuat.
Perkembangan teknologi masa kini telah memungkinkan manusia untuk merasakan suatu pengalaman yang nyata tanpa perlu adanya "dunia luar" atau "materi." Kemajuan sangat besar dalam teknologi virtual reality [kenyataan maya] telah menghasilkan sejumlah bukti-bukti yang secara khusus sangat meyakinkan.
Secara sederhana, virtual reality [kenyataan maya] adalah pemunculan gambar-gambar tiga dimensi yang dibangkitkan komputer, yang terlihat nyata dengan bantuan sejumlah peralatan tertentu. Teknologi ini, yang dapat diterapkan di berbagai bidang, dikenal sebagai"virtual reality" [kenyataan maya], "virtual world" [dunia maya], atau "virtual environment" [lingkungan maya]. Ciri terpentingnya adalah dengan menggunakan perangkat yang dirancang untuk tujuan tertentu, teknologi ini mampu menjadikan orang yang merasakan dunia maya tersebut terkecoh dan yakin bahwa yang dialaminya adalah nyata. Sejak beberapa tahun lalu, kata "immersive'' [tenggelam] telah mulai digunakan di depan istilah "virtual reality" [kenyataan maya], yang mencerminkan keadaan bahwa mereka yang menyaksikan kenyataan maya benar-benar tenggelam dalam apa yang sedang mereka alami.
Penjelasan dari sistem dunia maya ini didasarkan pada panca indra manusia. Misalnya, ketika pengguna sistem dunia maya memakai sarung tangan khusus, perangkat di dalam sarung tangan tersebut mengalirkan sinyal-sinyal ke ujung-ujung jari. Ketika sinyal-sinyal ini diteruskan ke dan ditafsirkan oleh otak, pengguna tersebut merasakan bahwa dirinya sedang menyentuh kain sutra atau vas bunga yang penuh hiasan, lengkap dengan seluruh pernak pernik pada permukaannya—meskipun benda semacam itu pada kenyataannya tidak ada di sekitarnya.
Salah satu penerapan terpenting dari dunia maya adalah di bidang kedokteran. Universitas Michigan telah mengembangkan suatu teknologi untuk melatih para pembantu dokter—khususnya para karyawan di ruang gawat darurat—untuk melatih ketrampilan mereka di sebuah laboratorium dunia maya. Di sini, gambaran lingkungan sekitar diciptakan dengan memunculkan rincian seluk beluk sebuah ruang operasi pada lantai, dinding, dan langit-langit dari sebuah ruangan. "Gambar" ini disempurnakan dengan memunculkan sebuah meja operasi, lengkap dengan pasien yang akan dioperasi di atasnya, di bagian tengah ruangan. Para calon ahli bedah memakai kacamata 3-Dimensi mereka dan mulai melakukan operasi "maya" mereka. Dan siapa pun yang melihat gambar-gambar yang dipantulkan pada kacamata 3-Dimensi tidak dapat membedakan antara ruangan operasi sungguhan dengan ruangan maya ini.
Apakah Kita Hidup di Dalam Dunia Holografis?
New Scientist adalah salah satu majalah paling terkenal. Bahasan utama edisi 27 Maret 2002 majalah tersebut ditulis oleh ilmuwan J.R. Minkel, dengan judul "Hollow Universe." [Alam Semesta Kosong] "Why we all live in a hologram" [Mengapa kita semua hidup di dalam sebuah hologram], demikian bunyi judul utama sampul depan majalah itu. Ringkasnya, artikel tersebut menyatakan bahwa kita merasakan dunia ini sebagai sebuah paket cahaya. Oleh karena itu, adalah keliru jika menganggap materi sebagai wujud sesungguhnya yang memiliki keberadaan mutlak berdasarkan pemahaman yang kita dapatkan melalui panca indra. Minkel membuat pengakuan:
Anda memegang sebuah majalah. [Majalah] itu terasa padat; memiliki semacam keberadaan mandiri dan terpisah di dalam ruang. Sama halnya dengan benda-benda di sekeliling Anda—misalnya secangkir kopi, sebuah komputer. Mereka semua tampak nyata dan ada di luar sana di suatu tempat. Tapi semua itu adalah penampakan maya.
Artikel Minkel menyatakan bahwa sejumlalh ilmuwan menamakan gagasan ini sebagai "teori segalanya," dan para ilmuwan itu menganggap teori ini sebagai tahap pertama dalam menjelaskan sifat sesungguhnya dari alam semesta. Artikel majalah ini menjelaskan secara ilmiah bahwa kita merasakan keberadaan alam semesta sebagai sebuah bayangan atau penampakan di dalam otak kita dan karenanya kita tidak berhubungan langsung dengan materi itu sendiri.
Gangguan Sistem Pengindraan Dipulihkan dengan Sinyal Tiruan
Dalam edisi 11 Maret 2002, majalah Time menerbitkan sebuah tulisan berjudul "The Body Electric" [Listrik Tubuh], yang menyingkap perkembangan ilmiah penting. Artikel itu melaporkan, sejumlah ilmuwan menyatukan chip komputer dengan sistem saraf sejumlah pasien untuk memperbaiki kerusakan tetap pada indra mereka.
Dengan sistem baru yang mereka kembangkan, para peneliti di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang bertujuan memberikan alat penglihatan pada penderita kebutaan dan membantu sang pasien pulih kembali. Mereka telah mencapai separuh keberhasilan dengan sistem baru ini dengan mencangkokkan elektroda-elektroda di daerah terkait pada tubuh pasien, dan chip silikon digunakan untuk menghubungkan tangan dan kaki tiruan dengan jaringan hidup.
Akibat kecelakaan, seorang pasien asal Denmark bernama Brian Holgersen mengalami kelumpuhan dari leher ke bawah. Ia hanya dapat melakukan gerakan sangat terbatas pada kedua pundaknya, lengan kiri dan tangan kiri. Sebagaimana diketahui, kelumpuhan semacam ini disebabkan oleh kerusakan saraf tulang belakang pada leher dan punggung. Saraf-sarafnya mengalami kerusakan atau penyumbatan, sehingga menghentikan lalu lintas saraf antara otak dan otot, dan memutuskan komunikasi antara saraf-saraf yang meneruskan sinyal-sinyal yang mengalir bolak balik dari tubuh ke otak. Terhadap pasien ini, yang akan dilakukan adalah memulihkan bagian yang rusak pada saraf tulang belakang dengan pencangkokkan perangkat khusus, sehingga memungkinkan sinyal-sinyal dari otak mengembalikan sedikit kemampuan gerak pada lengan dan kaki.
Mereka menggunakan sebuah sistem yang dirancang untuk mengembalikan kemampuan gerak dasar tangan kiri, seperti menggenggam, memegang, dan melepaskan benda-benda. Dalam sebuah operasi, delapan elektroda lentur seukuran uang logam ditanam ke dalam otot-otot yang berperan dalam gerakan tersebut, yakni pada lengan kiri bagian atas, lengan bawah dan bahu pasien. Kemudian, kabel sangat halus menghubungkan elektroda-elektroda ini dengan sebuah stimulator [alat pembangkit rangsangan]—semacam pacemaker [alat pembangkit dan pengatur timbulnya rangsangan] untuk sistem saraf— yang ditanam pada dadanya. Alat pembangkit rangsangan ini kemudian dihubungkan dengan sebuah perangkat pengindra posisi yang direkatkan pada bahu kanan Holgersen—di mana ia masih dapat mengendalikan geraknya hingga batas tertentu.
Kini, ketika sang pasien ingin mengambil gelas, ia menggerakkan bahu kanannya ke atas. Gerakan ini mengirimkan sebuah sinyal listrik dari perangkat pengindra posisi, yang terpasang di bawah bajunya, ke alat pembangkit rangsangan di dalam dadanya, yang lallu memperkuat sinyal tersebut dan meneruskannya ke otot-otot terkait pada lengan dan tangannya. Sebagai tanggapan, otot-otot ini menegang, dan tangan kirinya pun menutup. Ketika ia hendak melepaskan gelas tersebut, ia menggerakkan bahu kanannya ke bawah, sehingga tangan kirinya membuka.
Universitas Louvain di Brussels menggunakan penerapan teknologi serupa terkait dengan penglihatan. Sel-sel batang dan kerucut seorang pasien mengalami kerusakan, sehingga menyebabkan retina menjadi tidak peka terhadap cahaya. Akibatnya, ia menjadi buta. Sebuah elektroda yang ditanam di sekeliling saraf matanya membantunya mendapatkan kembali sebagian kemampuan melihatnya.
Dalam kasus pasien ini, elektroda tersebut dihubungkan dengan alat pembangkit rangsangan yang ditempatkan di dalam sebuah rongga di dalam tempurung kepalanya. Sebuah kamera video, yang terpasang pada topi, meneruskan gambar yang diterimanya ke alat pembangkit rangsangan dalam bentuk sinyal-sinyal radio, tanpa melewati sel-sel batang dan kerucut yang rusak, dan mengirimkan sinyal-sinyal listrik langsung menuju ke saraf mata. Korteks visual pada otak menggabungkan kembali sinyal-sinyal ini untuk membentuk sebuah gambar. Apa yang dialami pasien dapat disamakan dengan melihat sebuah tiruan kecil papan iklan di gelanggang olah raga. Meskipun demikian mutu yang didapatkan sudah cukup untuk membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan.
Sistem ini disebut "Microsystem-based Visual Prosthesis" [Organ Penglihatan Buatan Berdasarkan Sistem Mikro], sebuah perangkat yang ditanam untuk selamanya di dalam kepala pasien. Namun untuk menjadikan semuanya berfungsi, sang pasien harus pergi ke ruangan yang dirancang khusus di Universitas Louvain dan memakai sesuatu yang menyerupai topi renang yang rusak. Topi renang ini terbuat dari plastik dengan kamera video biasa yang dipasang di bagian depannya. Semakin besar ukuran pixel yang digunakan untuk membentuk sebuah gambar pada layar, maka semakin besar jumlah rangsangan listriknya; oleh karenanya, semakin baik pula mutu resolusi gambarnya.
Artikel yang sama merujuk pada sebuah pertunjukan menarik oleh seorang artis panggung yang memanfaatkan teknologi serupa:
Dalam sebuah pagelaran di tahun 1998, Stelarc menyambungkan tubuhnya sendiri dengan kabel secara langsung ke Internet. Tubuhnya dihubungkan dengan ujung-ujung elektroda—pada otot ujung bahu, otot bisep, otot penggerak sendi, tendon di belakang lutut dan otot betis—yang mengirimkan denyut listrik lemah, sekadar cukup untuk memicu otot-otot menegang dengan sendirinya. Elektroda-elektroda tersebut dihubungkan dengan sebuah komputer, yang kemudian dihubungkan melalui Internet dengan komputer-komputer di Paris, Helsinki dan Amsterdam. Dengan menekan berbagai bagian dari gambar tiruan tubuh manusia pada layar sentuh, para peserta di tiga tempat tersebut dapat membuat Stelarc melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Teknologi ini, jika ukurannya dapat diperkecil sehingga dapat ditempatkan di dalam tubuh, akan membuka jalan bagi perkembangan menyeluruh di bidang kedokteran. Perkembangan ini memperlihatkan satu kenyataan penting lain: Dunia luar adalah gambar salinan yang kita saksikan di dalam otak kita…
Majalah New Scientist's edisi 27 April 2002 dengan berita utama, "Hollow Universe" dan judul utama, "Why we all live in a hologram."
Artikel terbitan Time tersebut memperlihatkan contoh-contoh nyata tentang bagaimana kita dapat menciptakan pengalaman melihat atau menyentuh sesuatu dengan rangsangan-rangsangan buatan. Bukti paling nyata adalah orang buta yang mampu melihat. Meskipun mata sang pasien tidak berfungsi, ia dapat melihat melalui sinyal-sinyal tiruan yang dibangkitkan.
"The Body Electric," sebuah artikel di majalah Time edisi 11 Maret 2002, memuat bukti yang mengukuhkan bahwa dunia luar adalah gambar salinan di dalam otak kita.
Dapatkah Dunia Maya dari Sejumlah Film Disalin ke Dunia Nyata?
Dalam sebuah artikel berjudul "Life is a sim and then you're deleted" [Hidup adalah sebuah salinan dan kemudian Anda dihapus] yang diterbitkan majalah New Scientist edisi 27 Juli 2002, Michael Brooks menyatakan bahwa kita mungkin saja hidup di dunia maya yang tidak berbeda dengan yang ada dalam film Matrix: "Tidak perlu menunggu kemunculan Matrix 2. Anda bisa jadi sudah berada dalam simulasi komputer raksasa... Sudah pasti Anda berpendapat bahwa film The Matrix adalah khayalan. Tetapi itu hanya karena Anda dibuat untuk berpikiran seperti itu.."
Sang penulis, Brooks, mendukung pandangannya dengan menukil filsuf Nick Bostrom dari Universitas Yale, yang meyakini bahwa film-film Hollywood tersebut jauh lebih mendekati kenyataan daripada apa yang kita sadari. Ia pun melakukan perhitungan bahwa terdapat peluang kemungkinan bahwa kita sedang hidup dalam sebuah dunia tiruan atau maya sebagaimana yang ditayangkan oleh beberapa film.
Kenyataan ilmiah, yang dipahami jauh dengan baik dalam beberapa tahun belakangan, menunjukkan bahwa kita tidak berhubungan atau bersinggungan langsung dengan wujud materi itu sendiri. Hal ini telah menyebabkan manusia untuk merenung secara lebih mendalam. Perkembangan ini, yang seringkali menjadi ilham bagi sejumlah film, menunjukkan bahwa lingkungan maya menciptakan salinan kenyataan yang sedemikian nyata sehingga manusia mampu terkecoh dengan gambar atau bayangan yang tidak nyata ini.
Materialisme, Sebagaimana Filsafat Keliru Lainnya, Telah Runtuh
Filsafat materialisme telah ada sepanjang sejarah. Para penganutnya berpijak pada keberadaan materi yang dianggap mutlak sembari mengingkari keberadaan Tuhan, Yang menciptakan mereka dari ketiadaan dan juga menciptakan bagi mereka alam semesta yang mereka huni. Akan tetapi bukti yang jelas tersebut tidak lagi menyisakan ruang perdebatan. Dengan demikian, materi yang mereka jadikan landasan hidup, pemikiran, kebanggaan dan pengingkaran mereka, telah sirna. Anehnya, melalui penelitian mereka sendiri, para ilmuwan materialis menemukan bahwa segala sesuatu yang mereka saksikan bukanlah materi itu sendiri, melainkan salinan atau gambar yang terbentuk di dalam otak. Dan dengan demikian, mereka sendiri telah meruntuhkan keyakinan materialis mereka.
Abad kedua puluh adalah titik balik dalam sejarah, di mana kebenaran nyata ini akan menyebar di seluruh kalangan manusia, dan materialisme akan terhapuskan dari muka bumi. Sebagian orang, yang berada dalam pengaruh filsafat materialisme, yang meyakini bahwa materi adalah mutlak, kini telah menyadari bahwa mereka sendiri adalah wujud maya, satu-satunya keberadaan mutlak hanyalah Allah, Yang Keberadaan-Nya meliputi segala yang ada. Kenyataan ini dinyatakan dalam salah satu ayat Al Qur'an:
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Aali 'Imraan, 3:18)
WAHDATUL-WUJUD:
SATU PENGAMATAN AWAL TENTANG KEDUDUKANNYA
DALAM AHLIS-SUNNAH WAL-JAMA’AH
OLEH
MUHAMMAD ‘UTHMAN EL-MUHAMMADY
Insya’ Allah dalam nota ini akan dicatitkan beberapa pengamatan penulis ini berkenaan dengan tajuk di atas berdasarkan kepada punca-punca muktabar dalam sistem keilmuan Ahlis-Sunnah wal-Jamaah. Di dalamnya juga akan diberikan pendapatnya dalam hubungan dengan beberapa serangan yang ditujukan kepada “pemandangan” rohaniah yang disebutkan sebagai wahdatul-wujud ini.
Berkenaan dengan Ibn ‘Arabi rd
Sebelum berbicara berkenaan dengan wahdatul-wujud yang biasa dikaitkan dengan nama Ibn ‘Arabi rd maka eloklah dinyatakan beberapa maklumat berkenaan dengan beliau ini. Dalam Kitab Tanbih al-Ghabi fi Takhti’ah Ibn ‘Arabi, Imam Jalalud-Din as-Suyuti rh membuat beberapa kenyataan pada bahagian awalnya berkenaan dengan pendapat para ulama berkenaan dengan beliau ini. Beliau menyatakan bahawa satu golongan beriktikad bahawa ibn ‘Arabi rd adalah seorang wali Allah, dan ini yang benarnya. Dari kalangan mereka itu ialah Taj al-Din Ibn ‘Ata’iLlah as-Sakandari rd, dari kalangan para imam mazhab Maliki, dan Syaikh “Afif al-Din al-Yafi’I dari kalangan imam-imam dalam mazhab Syafi’I. Mereka menyatakan bahawa Ibn ‘Arabi rd adalah ahli ma’rifat.
Ada golongan yang menganggap Ibn ‘Arabi sesat, dijauhkan Allah; mereka terdiri daripada ramai fuqaha dan ada golongan yang merasa syak tentang halnya. Di kalangan mereka ini ialah al-hafiz Dhahabi dalam kitab “al-Mizan”nya.
Syaikh ‘Izz al-Din ibn ‘Abd as-Salam rh ada dua kenyataan tentangnya: ada kenyataan menentangnya, dan ada kenyataan yang menyatakan bahawa Ibn ‘Arabi rd adalah wali qutb. (hlm. 17-18, tahkik ‘Abd ar-Rahman Hassan Mahmud, Kahirah, tanpa tarikh).
Pada beliau cara mengharmoniskan kedua-dua pendapat itu ialah dengan jalan mengambil kira apa yang diisyaratkan oleh Ibn ‘Ata’iLlah as-Sakandari rd dalam “Lata’if al-Minan”, iaitu pada permulaannya beliau mengikuti dasar jalan fuqaha dan mengingkari tasawwuf. Kemudian bila Syaikh ‘Abul-Hasan asy-Syazili rd menunaikan haji dan pulang dan sebelum ia masuk ke rumahnya bertemu dengan Syaikh ‘Izzud-Din dan memberitahu kepada Syaikh ‘Izzud-Din bahawa Nabi s.a.w. memberi salam kepadanya. Maka semenjak masa itu berendah dirilah Syaikh’Izzud-Din dan hadhir dalam majlis Syaikh Abul-Hasan asy-Syadhili dan selepas itu ia memahami perjalanan sufiah. (“Tanbih al-Ghabi” hlm. 19-20).
Tentang Syarafud-Din al-Munawi rh pula bila ia ditanya tentang Ibn ‘Arabi ia berkata bahawa “Senyap tentangnya lebih selamat”. Pada Imam Suyuti inilah sikap yang lebih layak dengan orang yang warak yang takutkan kebinasaan dirinya.
Pada Imam Suyuti sendiri kata putus tentangnya ialah ia beri’tikad beliau itu wali dan haram hukumnya melihat kitab beliau itu kerana sesungguhnya dinakal kata-kata dari Ibn ‘Arabi sendiri: “Kamu adalah golongan yang haram orang lain melihat (membaca) kitab-kitab kami”. Inilah yang sahihnya. Imam Suyuti berpendapat demikian kerana katanya bahawa golongan sufiah itu bersepakat tentang lafaz-lafaz yang mereka istilahkan dalam huraian sufiah mereka dan mereka maksudkan dengan kata-kata itu bukan dengan makna yang biasa diketahui. Maka kalau seseorang itu memaksudkan kata-kata mereka mengikut makna-makna di kalangan ahli ilmu zahir (seperti fiqh misalnya), maka mereka menjadi kafir dan mengkafirkan orang lain. (“Tanbih al-Ghabi” hlm. 20-21).
Imam Suyuti menyatakan: “Adakah orang yang mengkafirkan Ibn ‘Arabi itu tidak takut akan hisab yang buruk terhadap dirinya? Tidakkah ia takut ditanya kepadanya: Adakah sabit pada anda bahawa ia kafir?”
Kalau orang itu berkata: Kitab-kitabnya menunjukkan bahawa ia kafir. Adakah ia merasa aman daripada disoal: Adakah sabit pada anda dengan jalan yang diterima di sisi ahli ilmu dalam menukil akhbar bahawa ia benar-benar menyatakan kalimah-kalimah ini sebenarnya? Dan bahawa yang ia maksudkan ialah maknanya yang dikenali umum itu?
Tentang dua perkara itu beliau menjawabnya secara negatif, kerana memang kedua-duanya tidak boleh disabitkan sebenarnya.
Kemudian katanya bahawa kalau ditakdirkan kitab itu asal daripadanya maka datang pula keperluan mesti dipastikan kalimah demi kalimah ditentukan benar daripadanya, kerana boleh diandaikan atau ditanggungkan, bahawa ada dimasukkan oleh pihak lain ke dalam kitab-kitabnya apa yang bukan asal dari kata-katanya sendiri, dari pihak seteru ataupun orang mulhid.
Kemudian beliau menyebut “Syarah at-tanbih” oleh al-Jili yang penuh dengan perkara-perkara ganjil yang tidak diketahui dalam mazhab, lalu diuzurkan beliau dengan kemungkinan seteru-seteru ada memasukkan ke dalamnya perkara-perkara yang merosakkan kerana hasad terhadapnya.
Dalam nota kaki “tanbih al-Ghabi” (hlm. 23) disebutkan bagaimana dalam “Kasyf az-Zunnun” oleh Hajji Khalifah disebutkan kitab “At-Tanbih” itu banyak syarahnya termasuk antaranya syarah Sa’inu al-Din ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Karim al-Jili tetapi ianya tidak boleh dijadikan tempat berpegang kerana ada bahan-bahan yang dinukil padanya yang merosakkannya yang termasuk ke dalamnya, yang dimasukkan oleh mereka yang hasad kepadanya. Disyarahkan oleh Imam Nawawi dan Ibn Solah.
Maka pada Imam Suyuti orang yang mendakwa Ibn ‘Arabi kafir ia menjadi kafir kerana perkara kafir itu termasuk perkara-perkara yang berkaitan dengan hati yang tidak boleh dilihat melainkan oleh Allah sahaja.
Imam Suyuti memuji sikap seorang dari kalangan sufiah berkata kepada seorang lelaki yang meminta beliau itu membaca syair “Ta’iyah Ibn al-Farid” (syair tasawwuf yang dituduh mengandungi bahan-bahan yang bercanggah dengan syara’), lalu kata beliau: Engkau tahan diri dahulu tentang ini, (kerana) sesiapa yang merasa lapar sebagaimana lapar kaum sufiah itu, dan berjaga malam seperti mereka berjaga malam, ia akan melihat apa yang mereka lihat (dalam pengelaman rohaniah mereka)”.
Maka Imam Suyuti mahu supaya orang yang bertanya dan meminta fatwa tentang Ibn ‘Arabi itu bertaubat dan beristighfar dan merendah diri kepada Allah kerana mengawasi dirinya daripada menyakiti auliya Alah lalu Allah isytihar perang terhadapnya (dan dia binasa. Ini berdasarkan hadith yang bermaksud: “Sesiapa yang memerangi seseorang waliKu maka sesungguhnya Aku isytihar perang terhadapnya…” hadith sahih yang terkenal).
Dalam “Tanbih al-Ghabi” (mulai hlm. 27 dan seterusnya) Imam Suyuti menyebut ramai ulama yang memuji Ibn ‘Arabi seperti Qadhi al-Qudhah Siraj al-Din al-Hindi al-hanafi (men. 773H) seorang daripada imam-imam mazhab Hanafi, qadhi mazhab al-hanafiyah di Diar al-Misriyah, pengarang seperti kitab “Syarah al-Hidayah” dan “Syarah al-‘Aini”, ia amat sangat kasih kepada Ibn Arabi dan Umar ibn al-Farid. Antaranya Ashy-Syaikh Waliyud-Din Muhammad bin Ahmad al-Malwi, seorang daripada ulama mazhab Syafi’I yang arif tentang tafsir, fiqh dan usul al-din dan usul al-fiqh, serta tasawwuf, yang mengarang kitab-kitab tasawwuf mengikut perjalanan Ibn Arabi. Antaranya Abu Zar Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ajami (men. 780H). Hafiz Ibn Hajar berkata dalam “Anba’ al-Ghumar” bahawa beliau mengajar kitab Ibn ‘Arabi.
Antaranya Syaikh Badr al-Din Ahmad bin Syakh Syaraf al-Din Ahmad, bin Fakhr al-Din bin as-Sohib Baha al-Din bin Hanna (men. 788H), dia bersangka baik dengan Ibn ‘Arabi. Dan ia menukil kata-kata dari kitab Ibn ‘Arabi. Demikianlah seterusnya disebut dalam “Tanbih al-Ghabi” itu banyak lagi nama mereka yang bersetuju dengan Ibn ‘Arabi seperti “Syaikh al-Wudhu’ ”, (men. 790H), Syaikh Muhammad at-Tauzri al-Maghribi (men. 800H), Syamsud-Din as-Sufi terkenal sebagai Ibn Najam (men. 801H), Syaikh Najm al-Din al-Bahi (men. 802H), Ismail bin Ibrahim al-Jabarti kemudian az-Zabidi, sukakan kitab Ibn ‘Arabi (men. 806H), Majd al-Din al-Firuzabadi pengarang “al-Qamus”, selain itu al-Firuzabadi ada mengarang kitab “al-Ightibat fi Mu’alajah Ibn al-Khayyat” yang menyanggah kata-kata Ibn al-Khayyat yang dinisbahkannya kepada Ibn ‘Arabi bahawa itu bukan kata-kata Ibn ‘Arabi tetapi yang dimasukkan ke dalam kitab berkenaan.
Imam Suyuti menukil dari kitab “al-Irsyad” karangan al-Yafi’i bahawa pada suatu masa dua syaikh yang arif, bertemu tiap-tiap orang dari dua orang itu saling pandang memandang tanpa berkata apa-apa, kemudian ditanya kepada Ibn ‘Arabi, apa pendapat tuan hamba tentang Syaikh Syihab al-Din al-Suhrawardi? Jawabnya: “Penuh dengan Sunnah nabi dari tanduk sampai ke kaki”. Kemudian ditanya kepada al-Suhrawardi tentang Ibn ‘Arabi; katanya “Lautan hakikat”.
Pada halaman 59 kitab “Tanbih al-Ghabi”, Imam Suyuti menyebut kaedah-kaedah yang digunakan oleh para sufiah bila berhadapan dengan perkara-perkara yang pada lahirnya berlawanan dengan Syara’ dari para auliya.
Pertama, mesti kita tidak mengakui bahawa itu sahih dinisbahkan kepada mereka sehingga ianya sahih dari mereka.
Kedua: selepas sahih perkara itu benar-benar dari mereka tinggal lagi ta’wilannya (supaya selaras dengan Syara’ dan tidak timbul lagi ianya berlawanan dengan Syara’); kalau kita tidak boleh ta’wilkannya maka kita kata: “Mungkin ada ta’wilannya di sisi ahli ilmu yang batin, mereka yang arif bi’Llah”.
Ketiga: (kita anggapkan) itu keluar dari mereka dalam hal “mabuk rohaniah” (sukr), dan masa “ghaibah” - waktu tidak sedarkan diri secara zahir sebagaimana biasa dengan pengesanan pancainderanya - maka orang dalam “mabuk” demikian tidak dipertanggungjawabkan dalam keadaan itu, maka sangka jahat terhadappara auliya itu menunjukkan orang yang berkenaan tidak berada dalam taufiq dari Allah - kita berlindung dari Allah daripada keeadaan tergelincir dan qadha yang tidak baik, dan daripada semua jenis bala.
Dalam bahagian akhir “Tanbih al-Ghabi” Imam al-Suyuti rh menyebut keterangan as-Safadi bagai dalam Kitab Ibn ‘Arabi - “al-Futuhat al-Makkiyyah” dinyatakan aqidah pengarangnya, dilihat beliau dari awal sampai akhirnya “Aqidah asy-Syaikh Abil-Hasan al-Asy’ari” dan di dalamnya tidak ada yang menyalahi pandangan Imam itu.
Dalam kitab “al-‘Abadalah” tahkik dan taqdim ‘Abd al-Qadir Ahmad’Ata. Kahirah 1389/1969.
Para Ulama Yang Membela Ibn ‘Arabi
Pada pendahuluannya dikemukakan banyak maklumat-maklumat yang menunjukkan kebenaran dan ketinggian Ibn ‘Arabi dan fahamannya serta pengalamannya. Antaranya ialah seperti berikut:
Selepas menyebut ada segolongan dari ulama terkemudian dari mazhab Hanbali yang menuduh Ibn Arabi zindik, kafir, disebutnya mereka yang memberi pembelaan kepada Syaikh Akbar itu rd. Antaranya:
1. Imam Suyuti dalam kitabnya “Bara’ah Ibn ‘Arabi min Ta’n al-Ghabi”.
2. Syaikh Solah al-Din al-‘Usysyqadi, dalam kitabnya “Miftah al-Wujud al-Asyhar fi Taujih Kalam Syaikh al-Akbar”.
3. Asy-Syaikh ‘Umar Affandi, dalam kitabnya “al-Fath al-Mubin fi Radd I’tiradh al-Mu’taridhin ‘ala Muhyi’d-Din”.
4. Mulla Katib Jelebi, “Mizan al-Haqq fi Ikhtiyar al-Ahaqq”.
5. Asy-Syaikh ‘Abd al-Wahhab asy-Sya’rani, dalam kitabnya “al-Yawaqit wal-Jawahir fi ‘Aqaid al-Akabir”, dan kitabnya “Tanbih al-Aghniya’ ‘ala Qatrah min ‘Ulum al-Auliya’”.
6. Asy-Syaikh Sowi ‘AbduLlah Affandi pensyarah “al-Mathnawi” (oleh Jalalud-Din Rumi), dalam kitabnya “Mir’at al-Asfiya’"
7. Asy-Syaikh Majd al-Din al-Firuzabadi, pengarang kitab “al-Qamus”, dalam kitabnya “al-Ightibat”.
8. Asy-Syaikh Syihab al-Din bin Hajar al-‘Asqalani, dalam kitab “Al-Fatawal-Hadithiyah”, sebutan tentang penolakan atas orang yang mengingkari asy-Syaikh al-Akbar”, dan dalam kitabnya “al-Intisar li A’immatil-Amsar”.
9. Asy-Syaikh ‘Abd al-Ghani al-Nablusi, dalam kitabnya “Al-Radd al-Matin ‘ala Muntaqis al-‘Arif Muhyi’d-Din”
10. al-Wali Muhammad bin Muhammad al-Qadi, dalam risalahnya “'Ithbat Khatam al-Auliya’"
11. Jarkas Zadeh Taufiq Affandi, dalam kitabnya “al-Lawa’ih al-Qudsiyah”.
12. Asy-Syaikh Mulla ‘Abd al-Rahman al-Jami, pensyarah kitab “Fusus”, iaitu “Nafahat al-Uns” yang dalam satu fasar tersendiri beliau menyebut tentang ketinggian darjat dan kedudukan Syaikh Akbar.
13. Asy-Syaikh Isma’il Haqqi, pengarang “Ruh al-Bayan”, menyebut dalam kitabnya “al-Khitab”, banyak manaqib atau keutamaan-keutamaan Syaikh Akbar dengan kewaliannya yang agung dan ketepatan pendapat-pendapatnya.
14. Apa yang disebutkan oleh al-Maqqari dalam “Nafh at-Tibb” dan al-Yafi’I dalam “Mir’at al-Jinan” terdiri daripada dalil-dalil yang menyaksikan martabat rohaniahnya yang paling agung.
15. Semua pensyarah-pensyarah kitab “Fusus al-Hikam” karangan Ibn ‘Arabi menyaksikan istiqamah beliau atas jalan yang hak, ketinggian martabatnya, sejahtera aqidahnya (dalam Ahlis-Sunnah wal-Jamaah), dan mereka itu pengarang-pengarang yang ramai bilangannya seperti Sadr al-Din al-Qunyawi, Mu’ayyidud-Din al-Jundi, al-Jami, Sa’d al-Din al-Farghani, Daud al-Qausari, al-Qasyani, ‘AbduLlah al-Busnawi, Bali Affandi Sufiah Wi, Qurrah Basy Wali, Imam al-Nablusi, Sadr al-Din Barakah, Rukn al-Din al-Syirazi, ‘Afif al-Din al-Tilmisani, Kamal al-Din al-Zamlikani, Bir ‘Ali al-Hindi, Bayazid ar-Rumi, Muzaffar al-Din asy-Syirazi, Mahmud Widadi, Khawaja Parisa, Sayyid ‘Ali al-Hamadani, Muhammad bin ‘Ali al-Qadhi, dan beberapa orang lagi, seperti Muhammad Wazir Ghiyath al-Din, Baba Ni’matu’Llah, Asy-Syarif Nasir al-Din al-Husaini al-Jilani, Fiyadh al-Lahiji, Diya’ al-Din Al-Isfahani, Muhammad bin Muslih al-Tibrizi, Muhammad Qutb al-Din al-Zanbiqi, Ya’qub Khan Kasyghari, dan lainnya, Allah meredhai mereka semua. Amin. Kalau ulama-ulama ini memberi pembelaan kepada Syaikh Akbar, maka selamatlah kita berpegang kepada mereka ini dan bukan kepada individu-individu tertentu yang bukan terkenal sebagai golongan sufiah segi ilmu dan halnya (‘ilman wa halan) yang terpengaruh dengan unsur-unsur negatif dalam kesarjanaan moden.
Beberapa Persoalan Dan Tuduhan Terhadap Ibn ‘Arabi dan Jawapan Para Ulama Muktabar Terhadapnya”
Antaranya yang dinukil oleh ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata (hlm. 8-17):
1. Ada Fatwa dari ‘Allamah Ar-Rum, Ibn Kamal: “seterusnya: Asy-Syaikh Akbar Muhammad bin ‘Ali al-‘Arabi mujtahid sempurna, mursyid yang berkelebihan, ada padanya keutamaan-keutamaan yang menakjubkan (manaqib ‘ajibah), perkara-perkara yang mencarik adat, dan para muridnya diterima di sisi ulama dan mereka yang mempunyai kelebihan, sesiapa yang mengingkarinya, ia tersilap, dan sesiapa yang berterusan mengingkarinya, maka ia tersesat. Banyak karangan-karangannya: “Fusus Hikamiyah”, “dan “Futuhat Makkiyah”, setengah masalahnya boleh difahami lafaz dan maknanya, bermuafakat dengan Suruhan Ilahi dan Syara’ Nabawi, setengahnya terselindung dari pencapaian ahli ilmu zahir (khafiya ‘an idrak ahl al-zahir), tetapi tidak demikian pada ahli kasyaf dan ahli batin, maka sesiapa yang bermutalaah, wajib ia diam tentang maqam itu, berdasarkan kepada firman Allah (maksudnya): “janganlah kamu ikut apa yang kamu tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati atau fu’ad akan ditanya tentangnya…"
2. Dalam jawapan Qadhi al-Qudhah (Ketua Qadhi-Qadhi), Abul-Qasim al-Baidhawi, tentang soalan yang dikemukakan kepadanya berkenaan dengan kitab-kitab Syaikh Akbar Ibn ‘Arabi, adakah boleh dibaca kepada orang lain atau kita membacanya? Jawabnya “Orang yang ini aku beri’tikad bahawa beliau syaikh dalam perjalanan rohaniah secara ilmu dan halnya (‘ilman wa halan), dia imam tahkik secara hakikat dan resamnya, orang yang menghidupkan resam ma’rifah-ma’rifah dengan kelebihan dan namanya ... dan antara perkara-perkara istimewa kitab-kitabnya ialah sesiapa yang selalu menetapi pembacaan kitab-kitabnya dan memikir tentangnya, akan terbuka dadanya membuka kemusykilan-kemusykilan, dan hilang kekusutan-kekusutan.”
3. Dan jawapan asy-Syaikh Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, terhadap soalan yang dimajukan kepadanya oleh muridnya Syams al-Din al-Sakhawi, berkenaan dengan Syaikh Akbar, … “Adapun tentang Hadhrat Syaikh itu, ia laut penuh berombak, yang tidak ada pantainya, …”
4. Dalam kitab tentang “murtad” dalam “Syarah Kitab al-Raud”, karangan Syaikh al-Islam zakariya al-Ansori, “Yang hak sebenarnya, bahawa golongan Ibn ‘Arabi (To’ifah Ibn ‘Arabi) semuanya baik dan benar, dan percakapan mereka berlaku dalam rangka peristilahan mereka seperti ahli-ahli sufi yang lain (yang diakui dalam Ahlis-Sunnah wal-jamaah - ‘Uthman El-Muhammady), dan itu hakikat di sisi mereka pada maksud mereka, dan kalau orang yang selain daripada mereka tidak ada yang demikian itu, dari orang yang beri’tikad secara zahir lafaznya, menjadi kafir, maka orang yang demikian memerlukan pentakwilan, dan lafaz yang diistilahkan tentangnya (mengikut ilmu mereka itu) adalah hakikat pada maknanya yang diistilahkan (pada mereka itu), dan (yang demikian) majaz pada yang selain dari itu, maka I’tikad mereka terhadap maknanya (mengikut istilah mereka) adalah dengan makna yang sahih, dan telah menyatakan darjah kewalian ibn ‘Arabi itu segolongan dari arifin yang mengenal Allah, termaswuk di kalangan mereka itu Syaikh Taj al-Din bin ‘Ata’iLlah, dan Syaikh ‘Abdullah al-Yafi’I, dan tidak boleh mencederakan Ibn ‘Arabi dan mereka yang mengikutnya zahir percakapan mereka yang tersebut, yang lain daripda golongan sufiah (yang betul pada ilmu dan halnya, yang semata-mata berdasarkan pembacaan teks sahaja, tanpa mengikut peristilahan mereka - ‘Uthman El-Muhammady), kerana berdasarkan kepada apa yang kami katakan, dan (mereka yang selain ahli sufiah tidak boleh mencederakan atau menyalahkan mereka itu) kerana kata-kata mereka itu timbul daripada orang yang arif bi’Llah (yang mengenal Allah secara ma’ifah yang sahih) bila ianya tenggelam dalam laut tauhid dan ‘irfan, dengan secara hilang zatnya dalam ZatNya, dan sifatnya dalam SifatNya, (bukan dalam erti hulul dan ittihad pada zahir lafaznya - tr) dan ghaib ia daripada yang selain daripadaNya, ibarat-ibarat yang menyebabkan terasa seperti hulul (masuk zat Tuhan dalam makhluk atau makhluk dalam zat Tuhan), dan ittihad (bersatu Allah dengan makhluk - walhal bukan yang demikian yang dimaksudkan - ‘Uthman), oleh kerana kurangnya ibarat (dalam bahasa duniawi sekarang untuk melafazkan perkara yang diluar alam zahir ini), untuk menerangnkan hal yang berupa peningkatan tinggi kepadanya, dan itu bukanlah sesuatu yang sedemikian, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sa’d al-Din al-Taftazani dan lainnya:
فاذا كنت فى المعارف غرا ثم ابصرت صادقا لا تمار
لا تكن منكرا فثم امور لطوال الرجال لا للقصار
واذا لم ترى الهلال فسلم لانا س راؤه بالابصار
Maka pabila anda tenggelam dalam ma’rifah
Kemudian anda melihat sebenarnya jangan ragu
jangan jadi orang yang ingkar maka di sana itu ada perkara-perkara
yang layak bagi para lelaki yang tinggi bukan bagi para lelaki yang singkat (pencapaiannya)
dan bila anda tidak melihat bulan sabitnya maka serahkanlah
Kepada orang yang melihatnya dengan mata mereka
Kemudian beliau berkata:
Demi Allah, demi Allah, tidaklah beliau itu menulis, Allah meredhainya, melihat apa yang diketahuinya dengan ilmunya, dan tidaklah ia mengetahui melainkan apa yang disaksikannya terdiri daripada bentuk-bentuk “rupa” perkara-perkara yang termaklum mengikut apa yang sebenarnya (‘ala ma hiya ‘alaihi), dan akal menjadi tergoncang kerana mengingkarinya, dan kesimpulannya, keselamatan dan kesejahteraan, adalah aula, khususnya dalam hubungan dengan Syaikh, Allah meredhainya.
5. Imam al-Yafi’I berkata dalam kitabnya “Mir’at al-Jinan”, “(Beliau, Syaikh Akbar) adalah pimpinan auliya segi ilmu dan faham dalamnya, zahir dan batinnya, dan mereka telah memuliakannya dengan kemuliaan yang hebat dan unggul, dan mereka memuji kalamnya dengan pujian yang mulia, dan mereka menyifatkannya dengan ketinggian makam-makam yang tinggi-tinggi, dan mereka memberi khabar tentangnya dengan keterangan yang panjang terdiri daripada karamah-karamahnya.
6. Dan beliau berkata dalam kitabnya “al-Irsyad” “Sesungguhnya Syaikh Akbar bertemu dengan Imam Suhrawardi, lalu kedua-duanya bermuraqabah, kemudian berpisah tanpa berkata apa-apa, kemudian bila ditanya kepada Syaikh Akbar berkenaan dengan Imam Suhrawardi, beliau menyatakan bahawa beliau itu dari tanduknya sampai ke kukunya bersifat dengan sunnah Nabawiyah; dan bila ditanya kepada Imam Suhrawardi tentang Syaikh Akbar beliau menyatakan bahawa ia lautan hakikat. Dan Ibn al-Zamlikani berkata: Sesiapa yang tidak dapat menangkap makna kata-kata Syaikh itu biar ia datang kepadaku supaya aku boleh menghuraikan kepadanya satu demi satu”. (hlm. 10)
Kemudian ‘Abd al-Qadir Muhammad ‘Ata sebagai sarjana moden menyatakan “Inilah penyaksian-penyaksian dari para imam dalam ilmu, Sunnah nabi dan Syariah (dalam Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah - tr) berkenaan dengan Syaikh Akbar, maka apa lagi bagi kita ini, bila orang-orang yang beku dan membatu pemikirannya tidak memahami perkara itu, mengikut zahir kata-katanya, dan setengah daripada keterlaluan-keterlaluan dalam balaghah dan gambarannya, seolah-olah Allah tidak mengurniakan pemahaman yang boleh mencapai ilmu selepas daripada itu, atau tidak menjadikan adanya ilmu bagi orang alim,…”
Antaranya dinyatakan oleh pengarang ini ialah bagaimana adanya sebesar-besar ulama yang membuat tuduhan yang buruk terhadapnya kemudian menyedari keterlanjurannya lalu bertaubat antaranya ialah Siraj al-Din al-Bulqini, Taqiyu’d-Din al-Subki, dan ‘Izzal-Din ibn ‘Abdi’s-Salam.
Syaikh Taqiyu’d-Din as-Subki selepas daripada mengakui keterlanjurannya menyatakan: “Adalah Syaikh Muhyi’d-Din merupakan satu “ayat” daripada ayat-ayat Allah, sesungguhnya kelebihannya pada zamannya mengamanahkan urusannya kepadanya, dan aku tidak mengetahui (yang demikian) melainkan beliau sahaja”.
Syaikh Siraj al-Din al-Bulqini menyesal dan menyatakan “Jaga-jagalah diri kamu daripada mengingkari sesuatu perkara daripada perkataan Syaikh Muhyi’d-Din (Ibn ‘Arabi), kerana beliau itu, Allah memberi rahmat kepadanya, bila beliau mencebur diri ke dalam lautan ma’rifah terhadap Allah, dan pentahkikan hakikat-hakikat, beliau menyatakan hal itu dalam kitab “Fusus al-Hikam”nya, dan “al-Futuhat al-Makkiyyah”, dan “at-Tanazzulat”, daripada perkara yang tidak terselindung daripada orang-orang yang berada pada darjahnya dari kalangan ahli-l-isyarah, kemudian datang orang selepasnya kaum yang “buta” terhadap perjalanannya, kemudian mereka mempersalahkannya bahkan mengkafirkannya kerana ibarat-ibarat itu, walhal mereka itu tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam (ma’rifah) tentang peristilahannya, dan mereka (pula) tidak bertanya kepada orang-orang yang menjalani perjalanan mereka itu untuk memberi penerangan kepada mereka. Itu kerana perkataan syaikh itu Allah meredhainya, disebaliknya ada rumus dan kiasan-kiasan (rawabit), isyarat-isyarat dan kaedah-kaedah (dawabit) dan dibuang apa-apa yang terkait dengannya, ianya dalam ilmunya dan orang-orang yang sepertinya sebagai perkara-perkara termaklum, adapun pada orang-orang selain daripada mereka yang tidak mempunyai pengetahuan seperti itu tidak termaklum. Kalaulah mereka itu melihat kepada kalimah-kalimahnya dengan dalil-dalilnya serta tatbiknya, dan mengetahui natijah-natijahnya dan mukaddimah-mukaddimahnya, nescaya mereka boleh mendapat hasil buah yang dikehendaki, dan mereka tidak menyatakan I’tikad mereka lain daripada I’tikadnya. Demi Allah bohong dan palsulah percakapan mereka yang menisbahkan kepada beliau itu al-hulul (iaitu Tuhan meresap dalam makhluk - tr) dan al-ittihad (makhluk dan Tuhan bercantum menjadi satu), dan aku berterusan mengikuti percakapan beliau itu dalam perkara akidah dan lainnya, dan aku banyakkan penelitian tentang rahasia percakapannya dan kiasan-kiasannya (rawabit) sehingga tahkiklah aku tentang ma’rifah atau pengenalan tentang apa yang hak, dan aku bersetuju dengan semua mereka yang sangat ramai (al-jam al-ghafir) dari kalangan mereka yang percaya dan berpegang kepada kebenaran beliau itu, dan aku bersyukur memuji Allah Azza wa Jalla bahawa aku tidak ada menulis - dalam kalangan mereka yang lalai terhadap makamnya - yang ingkar terhadap kekeramatan dan hal rohaniahnya.” (Demikian kenyataan al-Bulqini – hlm. 13-14 mukaddimah oleh Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata).
Maka bila titik tolak keingkaran mereka yang ingkar itu ialah dalam hubungan dengan sistem peristilahan sufi mereka itu, serta pentakbiran isyarat-isyarat yang khas mereka, dan adalah yang amnya dari kalangan yang ingkar itu mereka yang bermazhab Hanbali dan khasnya dari kalangan para pengikut Ibn Taimiyah, maka kita boleh hadapi mereka ini dengan menghadapi syaikh dari kalangan syaikh-syaikh mereka semua, dan murid dari murid-murid Ibn Taimiyah iaitu Syaikh “Ibn Muflih al-Maqdisi al-Hanbali.”
Beliau itu menyatakan: “Terjatuh dalam hati para ulama sejenis keadaan jaga (yaqazah), dan kalau mereka menyebutkannya, dan hikmahnya, maka menjadi liarlah hati yang lain daripada mereka, walaupun kalangan ulama, dan aku tidak kata orang awam. Misalnya ialah kata-kata Abu Bakar (Allah meredhainya): “Kalaulah tersingkap ‘tabir’ keyakinanku tidak akan bertambah”. Dan sesungguhnya kalau seseorang lelaki itu siuman, dan ia menyatakan kata-kata yang mewajibkan kekufuran pada orang awam, (misalnya) ia berkata: “Aku tidak dapati rasa hendak mengelak diri dan rasa kehebatan terhadap malaikat Raqib dan ‘Atid”, maka kalau diminta fatwa kepada segolongan dari fuqaha nescaya mereka kata: ‘kafir’. Maka yang zahirnya orang ini bukan membenarkan keberadaan kedua malaikat itu, dan ianya mengecil-ngecilkan jagaan dari malaikat Allah terhadap para makhlukNya. Walhal penyingkapan rahsia di sebalik kata-kata itu ialah bahawa ia berkata: ‘Aku dikuasai oleh rasa hebat terhadap Tuhanku, dan rasa malu terhadap Dia yang Menyaksikan daku, maka gugur dariku rasa malu terhadap malaikat yang melihatku, dan aku dapati rasa malu terhadap keduanya itu dengan aku terlalai daripada keadaan siuman yang datang selepasnya, dan yang mewajibkan rasa jaga (yaqazah), hilangnya lalai, ialah bila mendengar (ayat Quran yang bermaksud): ‘Tidaklah memadai dengan Tuhan kamu…’ dan (ayat yang bermaksud): ‘Dan Kami lebih hampir kepadanya daripada kamu’. Maka sesiapa yang menyaksikan al-Haq ianya seperti seseorang yang menyaksikan raja dan bersekali dengannya ialah para sahabat yang berkhabar tentangnya, maka tidak ada tinggal lagi hukum bagi sahabat-sahabatnya dalam hati orang yang menyaksikan raja itu sendiri, kalau tidak, maka itu adalah kekurangan dan kelemahan dalam pengenalannya terhadap hukum raja dan kekuasaannya. Maka hendaklah anda berjaga-jaga daripada terkedepan dalam menuduh dengan perkara yang jahat terhadap para ulama walhal anda tidak sampai kepada makam mereka dan kepelbagaian ehwal kerohanian mereka, sehingga mereka itu dalam hal kerohanian adalah seperti suatu peribadi atau diri, dan dalam hal kerohanian yang lain seperti satu peribadi atau diri yang lain pula; maka sesungguhnya bagi seseorang hamba itu bila terkasyaf kepadanya al-haq (Allah dengan pemandangan batinnya) maka terhapus ia dari dirinya sendiri, dan alam ini hilang dalam pandangan matanya, kerana ini maka orang-orang ahli tasawwuf berkata kepada orang-orang muda: ‘Diserahkan syaikh-syaikh yang besar-besar itu akan hal kerohanian mereka’, walhal kata-kata itu racun yang membunuh bagi mereka mula-mulanya, kemudian bagi orang yang tidak faham kata-kata mereka. Adapun orang yang berkata itu maka ia berkata dengan hukum hal yang dibukakan kepadanya secara khusus, walhal terhijab daripadanya si pendengarnya, maka sesiapa yang mengetahui bahawa para makhluk itu tidak sama dari segi percakapan mereka, juga tidak sama segi halnya, tidak berpegang kepada sangkaan bila sahaja berlaku sesuatu itu, maka jadilah ianya kurang dan cacat.” (al-Adab asy-Syar’iyyah”, 1-214. Lih. Syaikh Ahmad ‘Ata. hlm. 15)
Kata Syaikh Ahmad ‘Ata (hlm 1515): Kalaulah para pengikut Ibn Taimiyyah dari kalangan mereka yang mengingkari golongan sufiah amnya dan khasnya Syaikh Akbar tidak merasa memada dengan penyaksian Ibn Muflih al-Maqdisi, maka mungkin mereka mendapati bahan yang memadai dalam risalah yang terkenal yang dihantar oleh al-Zahabi Ibn Taimiyah (mukaddimah “Sair A’lam al-Nubala’ ” oleh az-Zahabi).
Syaikh Ahmad menyatakan bahawa kalau kita hendak melihat punca-punca kezindikan, ilhad pada mana-mana peribadi, kita dapatiianya boleh diringkaskan berpunca daripada kekusutan akal, sifat tamak kepada ketinggian dalam siasah, dan juga pengaruh hawa nafsu. Bagaimanakah kedudukan Syaikh Akbar dalam hubungan dengan faktor-faktor ini bagi mereka yang menuduhnya sesat dan seterusnya?
Tentang kerosakan akal tidak ada seorangpun dari kalangan seterunya yang menyatakan demikian. Beliau itu berhadapan dengan zamannya mengatasi dan memimpin akal dalam bidang hikmah dan orang terkedepan dalam kerohanian dalam hubungan dengan alam-alam yang tidak diketahui ramai, berserta dengan adanya penyaksian-penyaksian dari pada ahli ilmu dan ahli fikir sebesarnya dari kalangan para ulama yang menyatakan ketetapan dan keteguhan beliau dalam perjalanan fitriah dan akliah. Maka tidak mungkin timbul syak wasangka lagi berkenaan kesejahteraan neraca akalnya dalam mana-mana hal sekalipun. Keadaan demikian jelas, apa lagi bila kita mengambil perkiraan tentang tamaknya beliau itu yang amat sangat dalam menyatakan akidah secara jelas dan menolak serangan terhadapnya serta memperbetulkan penyelewengan mereka yang menyeleweng di dalamnya.
Tentang hasrat mendapat ketinggian dalam siasah tidak ada dalil yang menunjukkan perkara demikian dalam dirinya. Akal beliau yang mengatasi dan kuat ini mampu meningkat tinggi dalam bidang kekuasaan siasah di Andalus kalau beliau kehendaki, tetapi beliau meninggalkan bidang itu dan mengambil bidang ilmu dan ma’rifah. Dan ia juga boleh mendapat ketinggian dalam pimpinan siasah sewaktu ia di Syam bilamana kemuliaannya dan ketinggian prestasinya terkenal baik di kalangan para ahli pemerintah dan pihak pembesar-pembesar negeri itu. Keadaan sedemikian sehingga ia membelanjakan semua harta yang sampai ke tangannya kepada para fuqara dan orang-orang yang berkeperluan, dan ia mensedekahkan rumah yang dihadiahkan kepadanya kepada seorang daripada pembesar-pembesar negeri Syam kerana orang itu tidak mungkin memiliki yang lain lagi selain daripada itu.
Tentang pengaruh hawa nafsu ke atasnya, maka tidak ada pihak yang membuat tuduhan yang sedemikian melainkan setengah daripada mereka yang dangkal dan cetek dalam penyelidikan mereka bila mereka membuat tuduhan berdasarkan kepada “Tarjuman al-Ashwaq” karangannya. Bila timbul kekecohan terhadapnya dari kalangan fuqaha maka ia sendiri mensyarahkan syair itu untuk menerangkan matlamatnya dalam gubahan itu. Ia menunjukkan maksudnya dengan menyatakan:
كل ما اذكره مما جرى ذكره او مثله ان تفهما
منه اسرار و انوار جلت او علت جاء بها رب السما
لفؤادى او فؤادى من له مثل ما لى من شروط العلما
صفة قدسية علوية اعلمت ان لصدقى قدما
فاصدف الخاطر عن ظاهرها واطلب الباطن حتى تفهما
Maknanya lebih kurang:
Tiap perkara yang aku sebutkan dari apa yang berlaku
Yang disebutkan atau yang sepertinya supaya anda faham
Daripadanya ada rahsia dan anwar - cahaya-cahaya rohani- yang hebat bergemerlapan
atau yang berdarjah tinggi nan dibawa oleh Tuhan Pentadbir Langit
Bagi fu’adku atau fua’d orang yang ada baginya
seperti nan ada padaku dari syarat -syarat dari para ulama
sifat kesucian dan ketinggian
yang aku ceritakan bahawa bagi sifat sidikku ada kedudukan
Maka palingkanlah lintasan hati anda daripada zahir kalimahnya
dan tuntutlah yang batinnya hingga anda memahaminya
Dalam hubungan dengan mereka yang suka membuat tuduhan yang negatif terhadap Syaikh Akbar mengatakannya terpengaruh dengan falsafah itu dan ini, kenyataan dirinya sendiri menunjukkan kemelesetan yang demikian.
Kata beliau:
" ولا يحجبك ايها الناظر فى هذا الصنف من العلوم الذى هو العلم النبوي الموروث عنهم صلوات الله وسلامه عليهم , اذا وقعت على مسئلة من مسائلهم قد ذكرها فيلسوف او متكلم , او صاحب نظر فى اى علم كان.فتقول فى هذا القائل الذى هو الصوفى المحقق : ان فيلسوفا قال بهذا ولا دين له. فلا تفعل يا اخى. فهذا قول من لا تحصيل له.ان الفيلسوف ليس كل علمه با طلا, فقد تكون تلك المسالة مما عنده من الحق, ولا سيما ان وجدنا النبى صلى الله عليه وسلم قد قالها, ولا سيما فيما وصفوه من الحكم والتبرؤ من الشهوات ومكائد النفوس. وما تنطوى عليه من سوء الضمائر , فان كنا لا نعرف الحقائق فينبغى ان نثبت قول الفيلسوف فى هذه المسالة, وانها حق, فان رسول الله صلى الله عليه وسلم قد قالها , او الصاحب او مالك او الشافعى او سفيان الثورى , واما قولك - ان قلت - سمعها من فيلسوف, او طالعها فى كتبهم فانك تقع فى الكذب والجهل. واما الكذب فقولك : سمعها او طالعها , وانت لم تشاهد ذلك منه.
واما الجهل فكونك لم تفرق بين الحق فى تلك المسالة والباطل. واما قولك :ان الفيلسوف لا دين له, فلا يدل كونه لا دين له على ان كل ما عنده باطل. وهذا مدرك باول العقل عند كل عاقل, فقد خرجت باعتراضك على الصوفى فى مثل هذه المسالة عن العلم والصدق والدين, وانحرطت فى سلك اهل الجهل والكذب والبهتان ونقص العقل والدين وفساد النظر والانحراف
“Wahai saudara yang membuat penelitian tentang ilmu jenis ini dari cawangan-cawangan ilmu, yang merupakan ilmu nabawi yang dipesakai dari mereka itu, Allah berselawat kepada mereka dan memberi kesejahteraan kepada mereka, janganlah anda menjadi terhijab (daripada apa yang sebenarnya - pent), bila anda bertemu dengan satu daripada masalah-masalah antara sekian banyak masalahnya, yang disebut oleh seseorang ahli falsafah atau ahli ilmu kalam, atau oleh seseorang ahli ilmu dan fikir (sahib nazar) dalam ilmu mana sekalipun, maka anda berkata tentang orang yang berpendapat demikian yang ianya seorang sufi yang muhakkik: “Sesungguhnya seorang ahli falsafah telahpun berkata dengan pendapat demikian itu, walhal ia tidak mempunyai agama”; (dengan itu maka ahli sufi yang muhakkik itu seolah-olah bersalah kerana sangkaan anda itu - pent). Jangan lakukan demikian wahai saudaraku. Ini pandangan orang yang tidak ada hasil ilmu sebenarnya padanya. Sesungguhnya ahli falsafah itu bukan semua ilmunya batil, kadang-kadang masalah yang berkenaan itu ada kebenaran padanya, terutama sekali apabila kita boleh dapati Nabi kita s.a.w. telah menyatakan yang demikian itu, dan terutamanya tentang apa yang dinyatakan mereka daripada kata-kata penuh kebijaksanaan dan hikmah dan kebaikan sifat bersih daripada nafsu-nafsu syahawat, dan penipuan-penipuan nafsu manusia. Dan juga apa yang terkandung di dalamnya tentang sifat-sifat jahat yang ada dalam hati manusia; maka kalau kita ini tidak arif tentang hakikat-hakikat sebenarnya, maka sayugiya kita sabitkan pendapat failasuf itu dalam perkara ini, dan sesungguhnya ianya yang sebenarnya, maka sesungguhnya Rasul s.a.w. telah menyatakannya, atau Sahabat ada menyatakannya, atau Imam Malik atau Imam Syafi’I atau Sufyan Thauri (telah menyakanannya); adapun perkataan anda sendiri - kalaulah anda mengatakannya - bahawa beliau mendengarnya daripada ahli falsafah, atau membaca dalam kitab-kitab ahli falsafah, maka dengan itu anda terjatuh ke dalam perbuatan bohong dan kejahilan.
Tentang bohong itu ialah kata-kata anda: “(Ahli sufi muhakkik itu) mendengar atau menelaah kitab-kitab mereka” walhal anda sendiri tidak ada menyaksikan yang demikian itu daripadanya. Adapun kejahian anda itu ialah keadaan anda tidak membezakan antara yang hak dalam masalah yang berkenaan itu dan yang batil. Adapun kata-kata anda: “Ahli falsafah itu tidak ada agama, maka tidaklah keadaannya tidak ada agama itu menunjukkan bahawa semua yang ada padanya itu batil. Ini adalah pencapaian yang awal akal manusia, di sisi tiap-tiap orang yang berakal. Maka dengan melakukan penentangan anda terhadap ahli sufi dalam perkara seperti masalah ini anda telah keluar daripada ilmu pengetahuan, sifat benar, dan agama, dan anda memasuki medan ahli kejahilan, kebohongan, dan tuduhan palsu, serta kekurangan akal, agama, dan kerosakan pada tilikan ilmu dan kesesatan”.
Dengan nukilan kata-kata di atas (lihat hlm 18-19 mukaddimah Abd al-Qadir Ahmad Ata terhadap “Ibn Arabi-al-‘Abadalah”), kita boleh melihat kesungguhan Syaikh Akbar ini dalam kebebasannya melainkan daripada kawalan-kawalan Syariat; maka ia membenarkan kita mendengar pendapat-pendapat mereka yang berlainan pendapat itu, supaya kita tidak bersikap ta’asub, bahkan wajib kita memutuskan sesuatu mengikut apa yang sebenarnya mengikut yang hak, bilamana adanya kelainan dalam pengalaman rohaniah dan pegangan. (agama-agama).
Kewengangan Latarbelakang Pengajian Shaikh Akbar
Adalah menjadi perkara yang menjadi pegangan bahawa kewenangan kedudukan ilmu dan pemikiran serta pegangan seseorang itu diketahui dan diukur daripada pengajian yang dilaluinya dan para guru yang memberi pendidikan kepadanya. Berdasarkan hakikat ini kita boleh cuba melihat sejarah pendidikan Syaikh Akbar dan para gurunya yang mendidiknya. (mukaddimah ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata. hlm.19 dst):
Beliau mendapat pendidikan tentang qiraat tujuh dari Abu Bakr bin Khalaf, seorang daripada ulama besar Seville, dan beliau membaca kitab Muhammad bin Syarih tentang itu dari Syaikh Abu Bakar, juga ia belajar dengan Syaikh Abul-Qasim asy-Syirat al-Qurtubi, dengan riwayat dari anak pengarang itu sendiri, Abu al-Hasan Syarih, dan dia mendengar Kitab Nasyr fi Qiraat al-‘Asyar dari Syaikh Abu Bakr bin Abi Hamzah dengan riwayat dari bapanya pengarang itu, al-‘Allamah Abu Hamzah al-Dani.
Beliau menerima ilmu naqal dan akal - ilmu wahyu dan ilmu bukan wahyu - dari Abul-Faraj bin ‘Asakir, Ibn al-Jauzi, Ibn Sakinah, Ibn ‘Ulwan, Jabir bin Ayyub, Ibn Zarqun, Syaikh Abu Muhammad ‘Abd al-Haqq al-Isybili al-Azdi, Hafiz Ibn Abi al-Jadd dan Abul-Walid al-hadhrami.
Dan ia menerima kitab-kitab dalam hadith yang ia membicarakannya seperti “al-Muhtadi”, “al-Ahkam al-Kubra”, “al-Ahkam al-Wusta”, “al-Ahkam al-Sughra”, “Kitab at-Tahajjud”, “Kitab al-‘Aqibah, dan ia meriwayatkan dari Imam Abul-Hasan Syarih bin Muhammad bin Syarih kitab-kitab Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Hazm; ia mendengar ilmu daripada ulama-ulama besar dalam hadith zamannya seperti Imam Abul-Qasim al-Khuzistani, dan ia mendengar “Sahih Muslim” tahun 606 dari Syaikh Abul-Hasan bin Abu Nasr, dan ia meriwayatkan hadith dari Imam Abu Tahir as-Salafi dengan ijazah ammah.
Ia mengambil perjalanan sufiah dari Syaikh Abu Madyan al-Maghribi, dan al-‘arif Jamal al-Din Yunus bin Yahya al-Qassar, dan ‘arif Abu ‘Abdullah at-Tamimi al-Fasi, dan ‘arif Abul-Hasan bin Jam’, dan yang selain daripada mereka, dan ia mendapat bantuan rohaniah dalam perjalanan dan keilmuan mereka dengan tawajjuh daripada al-ghauth yang terkenal Maulana Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jili. Adapun tentang perhubungannya dengan Khidir a.s. dan pengambilan khirqah daripadanya itu diterima sebagai hakikat sebenarnya oleh ulama sufiah.
Telah bersepakat oleh ahli ilmu dan ahli kebajikan agama ini bahawa mazhab beliau dalam ibadat dan muamalat menepati Syariat yang zahir dan adab-adabnya; mereka bersepakat bahawa pandangannya yang tinggi dalam I’tiqad kebatinan adalah berupa tawajjuh ke arah hakikat-hakikat yang ada (tawajjuh nahwa haqa’iq al-ka’inat) dan pemikirannya sentiasa tenggelam menyelami gelombang-gelombang pengabdian untuk mengambil isyarat-isyarat daripadanya.
Tentang kaedah pengabdian si murid Syaikh Akbar menyatakan:
“Hendaklah si murid yang salik itu berada dalam tidurnya dalam keadaan hudhur - hadhir hati dengan Allah - dan hendaklah ia palingkan himah atau tumpuan rohaniahnya bagi memperlakukan akalnya dalam hubungan dengan khayalnya dalam keadaan tidurnya, sebagaimana ia memperlakukan akalnya dalam hubungan dengan khayalnya dalam jaganya. Kalau si salik itu berjaya berada dalam keadaan hudhur seperti ini dan jadilah yang demikian itu sebagai tabiat dan akhlaknya (yang sebati dengan dirinya - p) ia akan mendapatkan buahnya dalam alam barzakh. Dan ia akan mendapat faedah yang banyak daripadanya. Maka hendaklah si salik itu menjalani jalan hakikat dan akhirat dan ia menggunakan seluruh upaya dan tenaganya untuk menghasilkan hal yang demikian ini. Faedahnya terlalu amat besar.” Perjalanan ilmu demikian bukannya untuk orang permulaan.
Adapun murid permulaan pula hendaklah ia menumpukan himahnya mengawal akalnya waktu tidurnya. dan ia menggunakannya untuk mengingat dan menyebut Nama Tuhannya, sebagaimana ia berada dalam jaganya.dan hendaklah ia tidur dalam hal ini. Maka sesungguhnya ruhnya akan melayang dengan demikian itu ke alam-alam malakut dan ianya menjadi bersih daripada setiap kekotoran dan penyakit Adapun hal yang dinyatakan oleh Syaikh Akbar ialah apa yang berlaku dalam keadaan berikutnya selepas si salik itu benar-benar menyempurnakan perjalanannya. Pada tahap itu bermulalah limpahan ilmu maknun dalam batin dirinya dan ke dalaman rohnya.
Peribadi yang demikian ini dilihat dari sejarah dan latar belakang keilmuan dan pendidikannya sepatutnya tidak menyebabkan timbulnya sanggahan terhadapnya. Sepatutnya mereka yang hendak menyanggahnya berfikir banyak kali sebelum menyatakan apa-apa yang negatif terhadapnya; dan kalau ada apa-apa yang dirasakan tidak bersesuaian dengan apa yang dirasa oleh pengamat itu sepatutnya ia tawaquf dan mengikut pendirian ahli sufiah dan para fuqaha yang memahami mereka dan bersetuju dengan mereka.
Berkenaan Dengan Wahdatul-Wujud
Golongan sufiah yang awal dahulu itu (qudama’ as-sufiah) menyedari tentang jarak antara golongan mereka dengan golongan lainnya dalam penyaksian keilmuan (mashahid al-‘ilmiah). Maka berkatalah Imam Abu Bakr asy-Syibli dalam memberi gambaran tentang ilmu mereka itu: “Apa sangkaan anda tentang ilmu para ulama yang di dalamnya ada tohmahan”. Dengan kehalusan ilmu yang demikian mereka ini mendapat pendidikan dan peningkatan. Dan mereka ini tidak berpegang kepada konsep kesatuan (“al-wahdah”) sebagaimana yang dianggapkan oleh ahli falsafah akal yang berada di bawah penguasaan penipuan ego mereka sendiri. Konsep Kesatuan Sufiah itu berdiri atas hakikat wujud bahawa wujud yang hakiki itu adalah tidak lain melainkan hanya milik bagi Wujud Zat Allah sahaja. Tidak ada wujud yang hakikat sebenarnya melainkan bagi yang Esa yang Hak itu sahaja. Ini kerana wujud yang hak itu ertinya wujud yang tidak dipinjam daripada wujud yang lain bahkan ianya adalah limpahan daripada hakikat yang wujud itu sendiri. Dan yang demikian itu tidak ada bagi tiap yang ada dalam alam kejadian ini (alam al-khalq); maka tiap yang wujud yang lain daripada Wujud Ilahi ianya adalah wujud yang wahmi atau wujud yang majazi. Dan wujud yang kita boleh kesankan itu - pada yang selain daripadaNya - ianya aadalah sekadar limpahan ain wujud Nya ke atas setiap yang wujud itu. Maka tidak ada lagi sesuatu pun atas muka bumi ini atau yang terlintas dalam hati atau dada makhluk terdiri daripada gambaran maklumat-maklumat melainkan ianya adalah limpahan (‘faidh’) daripada Hadhrat Ilahiah-Hadarat al-Ilahiyah. Kalaulah dikembalikan semua perkara kepada asalnya, tiap-tiap yang disebabkan itu kepada sebabnya, demikian seterusnya sampailah kita kepada Sebab Yang Awal Sekali, Jalla jalaluhu - maka tidak ada lagi yang lain dalam seluruh yang wujud ini melainkan Dia Sahaja. Maka mereka yang mengingkari Wahdah Sufiah hidup dalam alam perpecahan - alam at-tafriqah - dan mereka itu hidup dalam Alam Berhimpun (‘Alam al-Jam’), maka si sufi hidup dalam tajrid tauhid, dan yang lain hidup dalam mutayabih at-tauhid (nisbah pengelamannya - p).
‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata dalam mukaddimahnya itu mengajak kita berfikir tentang api.Katanya bahawa api itu tidak boleh dinafikan lagi bahawanya ia membakar, tetapi kita tidak mungkin beriktidak - dalam I’tikad Ahlis-Sunnah yang sahih - bahawa ia ada sifat membakar itu dari zatnya sendiri. Kalau tidak kita akan mengingkari nas Quran yang menyatakan bahawa ianya “sejuk dan kesejahteraan bagi Nabi Ibrahim".
Kemudian beliau menyebut tentang orang bermain api di negeri Mesir yang mulutnya tidak terbakar walaupun ia menyentuh mulutnya. Ini dalil yang menunjukkan bahawa api itu bukan membakar dengan zat dirinya sendiri bahkan ia mendapat kekuatan dari yang lain; dan beliau menyebut adanya perkara luar biasa dalam kehidupan menunjukkan hakikat yang sedang dinyatakan ini.
Dari situ beliau berpindah kepada seseorang yang berfikir dalam perjalanan ma’rifah tentang sebab awal bagi berlaku pembakaran sesuatu. Sesungguhnya dia dalam keadaan ini dalam hal tercengang. Keadaan tercengang ini adalah satu penyedar bagi ilmu (lit. loceng) yang menyedarkan si salik itu bahawa ia sedang berada pada pintu-pintu pembukaan rohani yang ia akan menyaksikan dengan hati dan rohnya, dan ia tidak mampu menyebutkan dengan lidahnya; bukannya kerana sebab lain, melainkan kerana ianya berupa penyaksian yang menguasai anda dan yang meletakkan anda pada makam keheranan (“maqam al-hirah”); dan bila anda menyerahkan diri anda kepadanya dan menerimanya dan anda mengarahkan tawajuh kepada yang ghaib maka mulalah anda dalam perjalanan mendapat bantuan kekuatan dan limpahan (“marhalah al-istimdad wal-faid”) maka waktu itu disaksikan bagi anda bahawa perjalanan anda dalam kesucian zahir dan batin serta beramal dengan penghayatan syiar-syiar Islam dalam rasa lazat dan kerehatan dan kegembiraan, dan percakapan anda itu adalah yang benar, dan anda berkata-kata tidak lain melainkan yang hak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar